Aroma yang Abadi

3 0 0
                                    

Setelah beberapa hari memilih untuk memulihkan luka-lukanya, Serena meletakkan keberaniannya lagi untuk kembali datang ke sekolah. Hari ini Serena meminta diantarkan oleh seorang supir karena masih dalam masa penyembuhan.

Baru sampai gerbang sekolah, Serena menyerengit heran melihat ada Lucy, Theo, Ian dan Khai yang sedang beridri di depan gerbang.

"Pak, berhenti di sini aja," ucap Serena pada supirnya.

"Baik, Nyonya." Supir itu langsung memberhentikan mobil tepat di depan gerbang. Serena langsung membereskan barang-barangnya yang masih berserakan di mobil ke dalam tasnya lalu menyisir sedikit rambutnya dengan jari agar tampak sedikit lebih rapih.

"Makasih ya, Pak. Nanti engga usah dijemput. Saya pulang sama temen," ucap Serena sebelum keluar dari mobil. Dia ingat semalam jika Radeva mengirim pesan akan menjemputnya ke sekolah. Beberapa hari usai kejadian tak mengenakan itu, membuat mereka semakin dekat. Walau, permintaan Radeva untuk mengangkat kasusnya dengan Revan ke pengadilan belum ia berikan jawaban yang pasti.

"Pada ngapain lo di sini?" tanya Serena yang baru saja keluar dari mobilnya membuat keempat temannya sontak menoleh dengan tatapan yang berbeda-beda.

Ian yang paling biasa karena jelas dia sudah mengetahui kabar Serena kembali ke sekolah dari Radeva. Tatapan Khai yang menyerengit, Serena tidak tahu apa yang gadis itu pikirkan. Jika dia mengingat bagaimana sikap gadis itu pada Lucy, selalu membuatnya dongkol.

"Lo pulang dari rumah sakit, Ren? Kenapa engga bilang? Kan, kita bisa bantu." Ocehan itu muncul dari Theo yang masih bisa ia ingat jika lelaki itu yang siap mau membawanya ke rumah sakit. Serena sudah mengatakan terima kasih, tapi kebaikan Theo selama ini sulit ia balas jika hanya sebatas itu saja.

"Gapapa, kok Theo. Kemaren mama gue udah pulang jadi bisa bantu. Makasih banyak, Theo udah mau bantu gue. Kalo butuh apa-apa kasih tahu gue, ya."

"Santai aja kali. Yang penting sekarang lo bisa sekolah lagi," sahut Theo dengan senyuman tipisnya.

Kini, tatapan Serena tertuju pada seseorang yang ia kira akan jadi temannya yang paling banyak drama karena kedatangannya pagi ini. Ternyata, tidak. Lucy malah tidak mau menatapnya sama sekali dan terfokus pada ponsel walau mata Lucy tidak bisa berbohong.

"Hey, gue udah balik, loh?"

Tidak ada jawabab dari Lucy. Mungkin Lucy jarang sekali menemuinya semasa dia masih dirawat di rumah sakit. Tapi Serena bukannya tidak tahu jika setiap malam, tepatnya pulang sekolah Lucy selalu datang ke rumah sakit dan memerhatikannya dari balik pintu yang terdapat kaca kecil kala itu.

"Ngapain lo sekolah? Baru balik, kan? Istirahat dulu di rumah," jawab Lucy yang masih fokus pada ponselnya. Serena yang geram, langsung menaikkan dagu gadis itu dengan tangannya agar menatapnya.

"Udah liat sekarang, kan? Gue udah sehat."

Lucy terdiam lama. Mencoba menahan dirinya agar tidak menangis. Demi Tuhan,melihat Serena di hadapannya seperti biasa membuatnya mengucapkan ribuan syukur di dalam hatinya. Di lain sisi, masih ada rasa menyesal kenapa di situasi terburuk untuk Serena, dia bisa tidak ada.

"Udah, fokus dulu. Nanti kalian bisa ngomong pas berdua," ucap Ian yang memecahkan suasana haru di antara kedua gadis itu. Lucy langsung menatap kesal ke arah laki-laki itu.

"Fokus." Sontak Lucy mendengus sebal sambil merotasi bola matanya.

"Emang kenapa, sih? tanya Serena yang sejak awal memang tidak tahu apa-apa.

Belum ada yang menjawab, mereka bingung harus memulasi dari mana karena semua ini sudah begitu kacau keadaannya. Lucy hanya memperlihatkan layar ponselnya ke arah Serena. Ya, memang sekacau itu. Terlebih tadi pagi mereka mendapat kabar jika Gavin di drop out tanpa ada penanganan dari pihak sekolah lagi. Mereka hanya memakan informasi dari informasi yang tersebar, lalu Gavin yang tidak masuk sekolah, hingga akhirnya dia dikeluarkan dengan tidak terhormat.

Worst Class Où les histoires vivent. Découvrez maintenant