Luna Madeline

7 0 0
                                    

Pagi hari setelah Mama Ian mau menemani Serena selagi mereka pergi ke sekolah. Lucy memilih membersihkan badannya di rumah sakit dan meminja seragam Khai yang dia paksa datang ke rumah sakit sekalian menjemputnya untuk pergi ke sekolah bersama.

Sedangkan Luna berniat untuk pulang ke rumahnya dahulu. Akan tetapi, dia mendadak ragu setelah mengingat apa saja yang dikatakan Lucy. Sudah jelas terlalu besar luka yang dia tinggalkan pada sang bunda.

Luna menghela napasnya, memilih duduk sejenak di lobi rumah sakit masih dengan koper miliknya. Mendadak Luna bingung harus bagaimana. Jika diapergi ke hotel dulu, bisa-bisa Lucy datang dengan bara api atau sejenis bom untuk menghancurkannya beserta dengan hotel yang ia tempati.

Dia memang tidak bisa menghindar terus.

“Nunggu siapa, Mbak?” Seseorang yang tiba-tiba duduk di sebelahnya membuat Luna bangkit dari renuangannya yang masih belum tahu titik terang untuk keresahannya saat ini.

“Ngeselin banget, sih lo.” Luna menatap Lingga kesal karena membuatnya terkejut. Sedangkan sang oknum malah tertawa pelan. Sudah lama hubungan mereka sebagai sepasang kekasih kandas, lalu Luna yang memilih pergi. Lingga masih tidak percaya jika sosok itu sudah ada duduk di sampingnya saat ini.

Sebagai seorang teman yang sudah lama tidak bertemu.

“Mau ke rumah? Ayo gue anterin,” ajak Lingga yang memang niatnya kemari untuk mengantar Luna kembali. Selama Luna di Indonesia, dia siap menemani Luna ke mana saja. Sepertinya sudah ketahuan siapa yang belum hilang perasaannya.

Luna menghela napas. Dia bisa saja pergi bahkan tanpa Lingga. Tapi di sini bukan itu permasalahannya. “Gue takut diusir,” ucap Luna seraya terkekeh. Walau terkekeh, terlalu banyak nada sendu yang keluar hingga kekehan itu tidak membuat kesedihan Luna semakin tampak.

Siapa yang tidak sedih jika membayangkan dirinya diusir dari rumahnya sendiri oleh sang ibu, atau mungkin dimaki mati-matian. “Demi Tuhan, Ga. Gue sanggup dihina sama orang lain. Tapi engga kalo keluarga gue. Tingkat Lucy aja semaleman gue engga tidur.”

“Ini pilihan lo dari awal. Dan demi kebaikan mereka juga. Engga ada salahnya dateng. Kalo emang engga ada ruang buat lo jelasin, just let go. Inget, kan kata gue apa?” Tidak bisa Luna elak jika Lingga masih menjadi orang yang selalu memberinya rasa tenanbg dikala keadaan yang membuat Luna harus kebingungan.

Luna menatap mata penuh tenang itu dengan tatapan yang tidak kalah dalam. “If you wanna live easier, let’s enjoy the consequences,”  kata Luna yang kembali membuka lembaran using bersama dengan Lingga Maheswara.

Lingga tersenyum. Si pengacaar kaku itu ternyata bisa tersenyum. Dia menepuk pelan dua kali kepala Luna dan langsung bernajak untuk membawa koper gadis itu. “Yaudah ayo, sarapan dulu. Hari ini kita main-main sebelum besok ketemu Mr.Edgar,” tenang Lingga sebelum pergi meninggalkan Luna yang akhirnya mengikuti dari belakang.

Luna hanya bisa tersenyum tipis. Lelaki itu ternyata masih menjadi yang selalu putih untuknya. Semoga juga dengan bundanya.

***

Usai sarapan, Luna kembali menjadi takut karena ditambah salah satu perihal yang membuatnya berpikir ulang untuk masuk ke dalam rumah.

“Lah? Diem lagi.” Lingga masih begitu  ingat jika gadis di sebelahnya ini hanya bisa terlihat begitu penakut saat dengan orang-orang yang kiranya sangat berpengaruh dalam hidupnya. Karena itu Luna bukanlah gadis yang asal menyukai lelaki. Karena itu bisa melemahkannya. Dan Lingga termasuk yang beruntung karena dia berhak.

Buktinya, sampai sekarang dia masih bisa berhubungan baik dengan Luna serta masih membantu gadis itu walau hubungan mereka berakhir karena kerasnya kepala mereka. “Lo sadar apa engga kalo lo cowok?”

Lingga teridam sejenak hingga sadar akan satu hal yang seketika membuatnya tertawa. “Gara-gara lo engga pernah bawa cowok ke rumah? Kita udah gede loh Luna,” ucap Lingga dengan kekehan tipis.

“Ya…kan?”

“Udah. Ayok. Adek lo aja berani sekarang di anter sama cowok. Pernah juga dijemput cowok malem-malem. Itu beda cowok, ya.” Mendengar ucapan Lingga, seketika Luna melotot tak percaya. Bagaimana pun, sebenarnya Luna sedikit bodoh perihal hubungan. Bahkan ketertarikan awal Luna pada Lingga saja itu karena mereka pernah ada di lomba debat yang sama sejak Sma dan mereka masih menjadi satu tim hingga lulus kuliah.

“Lo tahu dari mana?”

“Lo kira selama lo engga ada di sini, gue engga bakal jagain keluarga lo? Tetep gue jagain, Luna. Walau dari jauh.” Benar. Itu adalah janji Lingga saat terakhir kali mereka bertemu. Dan laki-laki  itu masih menepatinya sampe sekarang.

Luna tersenyum sambil menepuk dua kali pundak Lingga. “Gak salah gue pernah satu tim sama lo,” puji Luna.

“Rekan tim atau mantan?’ Luna mendengus sebal. Dia agak kesal dengan yang satu ini.

“Bacot.” 

Merasa belum puas, Lingga kembali menggoda Luna. “Masih ada jatah balikan, nih!” pekik Lingga seraya mengikuti Luna dari belakang.

“Bacot lo! Gue engga mau sama pengacara!”

“Gue pengusaha juga tau! Mau mode yang mana Mbak Luna?”

“Nikah sama bunda gue aja sana!” Pekikan mereka saling bersautan tanpatahu malu. Padahal berada di pinggir jalan.

“Mau sama anaknya aja!” 

Worst Class Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang