Perhaps

4 1 0
                                    

Setelah menyelesaikan rencana awal mereka. Ralat, rencana Ian yang mengunjungi makam sang kakak. Kini laki-laki itu membeli makanan di supermarket. Membiarkan Lucy menjelajah dan mengambil apa yang ia mau. Bukan tanpa alasan. Akan tetapi alasan itu tidak ia buka ke siapa-siapa.

Lucy yang dasarnya segan, tapi saat bersama Ian semua itu seperti tidak berlaku. Dia benar-benar menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. “Lo ngapain beli beginian?” tanya Ian yang melihat di dalam keranjang milik Lucy terdapat banyak mainan pula.

“Untuk adek gue,” jawabnya enteng. Ian hanya menatap datar. Mau dibilang tidak percaya, tapi ia sadar di hadapannya saat ini adalah spesies gadis aneh dengan nama Lucy Madeline.

“Di kasih hati, minta ginjal.”

“Ka, lo yang nawarin. Lagian orang kaya kok pelit. Mau jadi kayak Qarun lo, hah!” Lihat. Dia yang saat ini sedang bergantung pada Ian karena semua yang dia ambil akan dibayar oleh Ian. Tapi, dia yang lebih marah dari Ian.

Akan tetapi, bukan omelan Lucy lagi menjadi fokusnya. Tetapi satu tumpukan keranjang yang berisi bahan pangan seperti besar, minyak, beberapa kardus indomie, gula, dan banyak lagi. Ada pula beberapa sayuran di sana. Lucy yang melihat pandangan Ian tertuju pada keranjang berisi bahan pangan. “Nyenengin orang tua rezekinya banyak, loh Ian.”

“Ya, ya, ya. Udah belom?”

“Udah.”

Ian mengetahui bagaimana watak seseorang saat dia diberi kebebasan memilih. Bisa saja, Lucy mengambil apa saja yang ia sukai dan hanya untuk dirinya. Tapi, yang Ian lihat Lucy menggunakan pilihan itu dengan memikirkan orang lain dan membeli apa yang cukup untuknya saja. Ya, memang terkesan begitu banyak. Tapi Ian yakin itu hal yang sudah lama Lucy butuhkan tapi tidak sempat untuk membelinya.

Rencana Ian bisa terbilang berhasil tujuh puluh persen. Setidaknya dia sudah tahu jika Lucy bukanlah manusia serakah, egois, dan melakukan apa pun untuk kepentingannya sendiri.

***

Tidak bisa di bilang tempat mewah, tapi Ian cukup terbilang gila juga. Membawa Lucy malam-malam ke danau Cisadane yang jauh dari Jakarta Selatan.

Mereka duduk di tepian danau yang dekat pula dengan jalanan yang tidak jauh padatnya dari Jakarta. Lucy tidak masalah, hanya saja jaraknya membuat sakit kepala.

“Lo mau ngomongin Theo aja, kudu jalan-jalan dulu keliling benua.”

“Waktu reka adegan, Mr. Edgar bilang Theo dateng paling pagi hati itu. Dan lo tahu sendiri, kan.”

“Dia dateng terlambat?” sambung Lucy dengan pertanyaan. Lucy tidak begitu serius kali ini. Dia sekedar mendengar Ian sambil menikmati satu bungkus makanan ringan yang tadi dia beli.

Yes.” Di tengah kebisingan kota, tidak ada yang sadar saat ini ada dua siswa SMA yang sedang beradu dialog membahas soal kematian seseorang yang belum diketahui pembunuhnya.

“Ngapain lo jadi nyari pembunuhnya? Bukannya kalo makin cepet ketemu, masalah lo malah jadi engga kelar?”

Ian terdiam sejenak. Sejauh ini ternyata Lucy sdar jika Ian hanya mementingkan masalahnya saja. Menjadikan kasus pembunuhan sebagai pintu awal yang menjadi pilihan Ian untuk menyelesaikan masalahnya.

“Kalo lo kira gue engga sadar, lo salah. Gimana kalau gue punya kunci dari lo semua?” Lucy semakin yakin, jika saat ini yang benar-benar menangani kasus untuk menemukan si pembunuh hanyalah dirinya seorang.

“Sekarang gue tanya, kenapa lo malah ngomongin si Theo aja? Sedangkan banyak orang yang bisa lo tuduh. Khai? Jujur aja dia aneh hari ini. Gavin? Jelas dia nyuri laptop dan engga mau bersaksi di pengadilan?”

“Dan lo belain Theo?”

Kini urat leher mereka menegang. “Kan, gue nanya.” Mereka benar-benar berdebat. Yang awalnya tampak santai, kini tekanan udara di sekitar mereka mulai menegang. Lucy yang mulai melebarkan pandangannya. Berpikir meluas dengan segala tindakan yang sedang dia lakukan.

Sedangkan Ian, laki-laki itu semakin tahu jika Lucy sudah berperan begitu jauh dari kasus ini.

“Karena Theo kehilangan apa yang udah dipertahankan selama ini.” Lucy kembali terdiam. Kini dia juga semakin memikirkan beberapa aspek yang pasti untuk apa yang Ian katakan.

Sejauh ini, Lucy memang melihat jika Theo benar-benar memperjuangkan apa yang ingin dia gapai. Dia banyak mempertaruhkan waktu, terlalu serius saat berhubungan dengan hal yang penting. Dan dia pula yang mengumpulkan mereka untuk saling membantu dalam menyelesaikan kasus ini.

“Kalau karena perangkingan, kenapa dia engga bunuh gue aja?” tanya Lucy. Berita heboh itu memang masih Lucy ingat. Kala di mana ia mendadak menjadi rangking umum pertama di Ukiyo.

“Bunuh lo? Emang sepenting apa posisi lo? Bukan merendahkan, tapi kalau dia bunuh lo, emang pengaruhnya apa? Engga ada. Theo itu pinter, Lucy. Ibarat dia itu pion catur warna putih, kalau raja pion lawannya masih dijaga, dia bisa dengan cara dia langsung jatuhin rajanya.”

“Jadi kenapa lo ngomongin ini sama gue?”

“Karena gue tahu, setelah ini semua bakal selesai di tangan lo. Dan jangan lalai. Termasuk ke gue.”

“Kenapa dia engga bunuh si OSIS.” Jujur saja, Lucy malas menyebut namanya kala mengingat jika di belakangnya, OSIS itu tidak suka dengan keputusan  jika dia berada di posisi teratas.

“Dia, mah masih kacung. Kepalanya siapa? Sama … lo engga curiga atau mikir gitu ada alasan lain di balik lo tiba-tiba naik ke peringkat atas? Hoki? Jujur aja, hoki juga engga masuk akal kalau naiknya sejauh itu.” Mau sakit hati, tapi ada benarnya juga. Lucy menyampingkan perasaan itu dan memilih untuk mengutamakan berpikir.

“Gue anak beasiswa?”

Perhaps.”

“Jadi, gue anak beasiswa yang berhubungan dengan kasus kakak lo, dan mereka jadiin muka buat rencana Mr. Jacob yang mau bawa Ukiyo masuk ke ranah kampanye anggota dewan. Dan si Theo yang harusnya tetap di peringkat pertama engga terima dan ngelakuin semua untuk bayar semua yang orang lakuin ke dia?”

Ian memgangkat pundaknya. “Kan tadi gue bilang apa. Perhaps. Artinya mungkin tapi penggunaannya untuk kemungkinan benarnya cuma 30% jadi yang harus dicari masih 70%.”

Lucy mencibir kesal. “Tadi lo yang nuduh si Theo!”

“Lah? Mana ada nuduh. Orang gue mau membangun kemungkinan. Lo tahu Rene Decartes gak? Dia pernah bilang kalo mau cari kebenaran itu, sekali dalam hidup perlu meragukan sama semua hal.”

“Halah! Bacot!”

Setidaknya sekarang dapat dipastikan jika Lucy benar-benar akan memeriksa segala hal. Tanpa meletakkan kepercayaan lebih yang akan menjerumuskannya.

 



Worst Class Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt