The Way The Truth

6 0 0
                                    

Tidak ada bayangan, apalagi sekedar membayangkan jika Lucy berada duduk sebagai seorang yang sedang diperiksa. Ternyata, satu pengadilan lagi terbuka untuknya. Jika ditanya, apakah dia takut? Tentu. Dia hanya orang kecil yang harus melawan orang-orang hebat di sini.

Akan tetapi jika ditanya, apakah dia berani? Dia juga berani. Mungkin ini jalan yang Tuhan berikan atas doa yang selalu ia panjatkan selama ini. Ya, tidak semua jalan itu sesuai yang ia inginkan. Tapi bukan berarti pula, dengan begitu dia kehilangan tujuannya. Untuk mencapai sepuluh, dia tidak harus menambahkan lima dengan lima. Masih banyak angka yang bisa ia padukan untuk mencapai sepuluh.

"Lo siap, kan? Lo inget apa yang kita bicarain kemarin, kan?" Lusy dan Ian datang lebih cepat ke kantor pengadilan untuk mengingat kembali materi yang sudah mereka susun bersama-sama. Hari ini Ian juga akan ikut menjadi saksi.

Bagi mereka, inilah peluru terakhir yang mereka lesatkan setelah berkali-kali melesat. Bahkan mengenai mereka sendiri.

Lucy tidak langsung menanggapi pertanyaan Ian. Dia masih setia membaca surat yang ditulis oleh Mr.Edgar untuknya. Semua ada diambang kehancuran saat ini. Semua sudah harus mereka pertaruhkan. Lucy terus membaca surat itu sejak pagi hingga pagi lagi, setiap ada kesempatan membaca.

Sekolah berubah menjadi neraka selama sebulan dia dalam pemeriksaan hingga berakhir di balai sidang. Lucy jadi lebih banyak menghabiskan waktu seorang diri seraya mendengar hujatan yang terus menghujamnya. Theo yang tampak masih dengan kehidupan normalnya, begitu juga dengan Khai dan Ian. Mereka memang tampak normal di sekolah, tapi tidak di luar gerbangnya. Tapi, selama itu yang ia baca hanyalah surat dari Mr.Edgar.

"Kamu sudah melebihi dari nilai itu sendiri."

Hanya satu kalimat. Ya, itulah yang Mr.Edgar tuliskan untuknya. Satu kalimat yang membuatnya sadar akan sebuah hal.

Lucy menoleh ke arah Ian yang ternyata sedari tadi sedang memerhatikannya juga. "Now, I know one thing," ucap Lucy.

"What?" sahut Ian.

"Nilai itu satu kata yang punya dua sisi koin. One side, Nilai is a score. And one side again, Nilai have the meaning a value. And the value... never you can't counting with the score. Karena dia lebih dari nilai itu sendiri," jelas Lucy yang Ian tahu jika saat ini gadis itu sedang mencoba mencari bagian mana yang harus ia percaya dari dirinya.

Selama ini, yang ada di kepala Lucy hanyalah sebatas jika kau benar-benar berusaha untuk sebuah kebaikan, maka semua jalan akan dipermudah. Ternyata, ungkapan itu jauh lebiuh dalam maknanya dari yang Lucy bayangkan.

"Gue juga dapet pelajaran baru," ucap Ian. Lucy kembali menoleh ke arah lelaki itu, tidak mengatakan apa-apa, mempersilahkan Ian menyambung ucapannya.

"Ternyata ketemu diri sendiri, tahu dunia ini, jadi orang hebat yang orang maksud itu engga dicetak dari orang-orang yang terpenjara di dalam kelas. Dunia lebih luas dari kelas," ucapnya sebelum lelaki itu tersenyum cukup lebar.

"Wow! Lo bisa senyum juga ternyata!" Bahkan hal sekecil itu, bisa jadi hiburan untuk Lucy.

"Gue manusia."

Lucy memukul lengan Ian cukup kuat hingga membuat si korban langsung melayangkan tatapan tak suka. "Lo banyak berubah ih! Merinding gue! Lo kenapa, sih?"

Banyak sudah yang telah terjadi dalam perjalanan hidupnya yang dibuatakan dengan dendam padahal di luar banyak orang yang mau menolongnya. Kini, kasus Ranny telah usa. Jaksa Afkar akan segera menadapatkan ganjarannya setelah semua ini, Anggota Dewan Afkar juga sudah sidangnya sudah dimulai, penerima beasiswa mendapatkan hak dengan kewajiban yang berhak untuk mereka. Semua sudah dalam pemulihan.

Seharusnya, Ian juga demikian. Dia juga harus pulih dari dunia gelapnya. Dan saat ini dia juga punya jawabannya. "Ada mahkluk yang bikin gue sadar kalo dasarnya ... hidup yang dinikmati itu semenyenangkan ini," ucapnya. Lalu Ian langsung beranjak dari posisi duduknya.

Lucy mendongak, ingin bertanya siapa makhluk yang begitu luar biasa dapat merubah seorang Ian Cooper. "Siapa?" tanya Lucy.

"Nanti aja gue jawab. Ayo masuk. Udah jam sepuluh, nih. Bang Lingga katanya dateng jam sepuluh," ajak Ian agar segera pergi dari tempat mereka saat ini.

Akhirnya, Lucy hanya bisa menghela napas dan ikut berdiri. "Kita bisa, kan?"

"Udah, ah nanya itu mulu. Bosen gue," ucap Ian yang langsung menarik tangan Lucy untk segera bergerak.

"Sialan lo!"

***

"Apa semua kesaksian yang Suadara Theo katakan, adalah sebuah kebenaran yang anda lakukan?" Jaksa Afkar menghantam Lucy dengan pertanyaan. Di telinga Lucy, saat dia sendiri yang diajukan pertanyaan, mendadak rasa gugup itu menghantam kepalanya. Dia juga berusaha tidak menatap ke arah Mr. Edgar dan membasahkan bibirnya saking gugupnya. Lucy mentralkan napasnya lalu menangguk mantap.

"Saya akui, saya melakukan semua itu. Tapi dengan alasan untuk melindungi beasiswa saya. Untuk orang kecil seperti saya, bisa bertahan di lingkungan elit sangatlah sulit. Jadi saya melakukan hal itu agar donatur yang akan menggantikan korban bukan orang yang salah. Atau orang yang sejatinya sudah merencanakan ini untuk mendapatkan posisi donatur yang dapat mengatur segalanya. Terutanam pada bagian beasiswa. Dan Suadara Theo mengetahui itu karena awalnya, saya merasa dia adalah teman yang bisa saya percaya untuk menolong saya." Lucy menghela napas berat, sesulit ini ya ternyata bernapas sambilmenahan rasa kecewa.Lucy akui, rasanya menyakitkan.

"Yang Mulia, Saudara Theo mengetahui itu. Tetapi, kenapa dikesaksiannya dia tidak mengatakan hal itu? Dia hanya mementingkan kepentingannya, bukan kebenaran itu sendiri," sahut Lingga dengan mantap.

"Dan, ya saya juga datang lebih pagi hari ini. Lalu ... saat itu mendiang Serena juga bersama dengan saya. Saya ke kantin dan saat itu saya melihat Theo sedang belajar pelajaran kimia di kantin," ucap Lucy seraya mengeluarkan satu buku catatan lumayan tebal, bersampul cokelat yang ia letakkan di atas meja.

"Apa hasil dari lab soal cairan apa yang masuk ke mulut korban? Jika ada silahkan lihat catatan di tanggal yang sama."

Seorang panitera memeriksa satu bukti lagi yang Lucy bawa. Dia tidak mencurinya, tapi kebetulan kancil yang pandai melompat itu bisa terjatuh, jadi dia menemukan buku Theo tertinggal di kelas usai semua orang sudah meninggalkan kelas.

Di belakang sana, Theo menggeretakkan giginya. Keningnya berkerut berpikir dari mana Lucy mendapatkan bukunya, hingga ia teringat jika dia buku itu tidak sengaja tertinggal.

"Bagaimana?" tanya hakim.

"Komposisinya sama Yang Mulia. Asam hipoklorit golongan klorin."

"Bahan seperti itu bisa ditemukan di lab kami. Dan sejauh ini, hanya itu yang bisa saya sampaikan."

Lucy pun diperkenankan untuk undur diri. Yang Lucy rasakan saat ini adalah merasa lega, bersalah, juga kecewa. Rasanya lega jika dia bisa menyelesaikan hingga akhir, rasanya sanagt bersalah jika harus berhadapan dengan temannya sendiri, dan yang terakhir diamerasa kecewa karena sosok itu yang baru saja Lucy sadari, ternyata selama ini Lucy menyukai sosok itu. Sosok Theo Anthony.

Gadis itu langsung berjalan keluar persidangan. Tingkat melihat temannya saja dia sudah tidak sanggup.

"Lucy." Saat Lucy melaluinya, Ian menahan tangan gadis itu.

"Selesain yang harus diselesain, Ian," ucap Lucy tanpa melihat ke arah Ian dan melepaskan genggaman Ian pada tangannya, lalu kembali berjalan keluar.

Saat ia baru saja menutup pintu itu, kaki Lucy luruh. Ia terduduk dan menangis dengan memeluk lututnya sendiri. Kasus ini rasanya tidak akan menjadi semenyakitkan ini jika saja Lucy tidak harus berurusan dengan temannya sendiri. 

Worst Class Where stories live. Discover now