Mendadak Kembali

5 0 0
                                    

“Apa kabar lo?” Pertanyaan ini sudah tiga kali Luna ulang-ulang, tapi adiknya itu masih memerhatikan wajahnya dan mengusap matanya beberapa kali.

“Gue engga lagi demam tinggi, kan Yan?” tanya Lucy pada Ian yang masih duduk di sampingnya.

Melihat reaksi Lucy, tentu sedikit menimbulkan rasa bersalah dalam dirinya. Sudah begitu lama, sejak ayah mereka meninggalkan rumah, dia pula yang pergi. Luna memilih tidak mengatakan apa-apa dan memilih duduk di samping Lucy saja.

Jika tidak karena Lingga, mungkin Luna tidak tahu jika adiknya sudah sebesar ini. Bahkan dia mampu menampung beban seberat itu untuk mempertahankan sekolahnya. Tapi Luna tidak dapat mengatakan apa-apa.

 “Maaf , ya.” Luna menunduk usai mengatakan ucapan paling tidak berguna. Selama ini banyaknya salah Luna pada keluarganya, jelas tidak bisa dibayar oleh sekedar kata maaf.

Lucy menghela napas. Dadanya menjadi sesak saat menerima kenyataan jika yang berada di sampingnya adalah kakaknya yang sudah lama pergi. “Maaf doang? Sujud lo sana di kaki Bunda, anjing!” pekik Lucy kesal.

“Kak, gue bawa Lucy bentar, ya. Engga enak juga kalau rebut di sini.” Ian menarik lengan baju Lucy persis seperti yang lelaki itu lakukan di pagi tadi. Menyingkirkan Lucy yang sedang marah terlebih dahulu agar tidak membuat keributan.

Sedang di sisi lain, seseorang yang sedari tadi memerhatikan mereka. Menatap kesal atas apa yang tidak sesuai ia rencanakan. Kemapuan Luna menyembunyikan diri dan menampakkan diri dengan gerakan cepat, memang selalu menjadi hal yang paling dinanti tapi di sisi lain sangat tidak disukai.

Kini, satu orang kembali masuk ke dalam permainan.

***

“Lo kenapa bawa gue ke sini sih! Tuh, orang enak aja nampakin diri, dan beringkah seolah engga terjadi apa-apa! DIA ENGGA TAHU BUNDA GUE NANGISIN DIA TIAP MALEM? Gila, tuh orang,” makin Lucy habis-habisan saat Ian berhasil menyeret gadis itu ke rooftop rumah sakit.

“Kakak lo dateng juga pasti ada alasannya, kali Lucy.”  Ian mencoba setenang mungkin untukmenghadapi Lucy yang terlalu berlebihan memberi energinya untuk mengekspresikan apa yang sebenarnya dia rasakan. Wajahnya tidak bisa berbohong.

Lucy mengacak-acak rambutnya. Yang dia inginkan saat ini hanyalah marah. Dia sedang tidak ingin menerima saran dalam jenis apapun. “Lo diem dulu bisa? Daripada lo jadi korban emosi gue, mending lo diem! Gue cuma mau marah!” 

“GUE NAHAN SEMUANYA BERTAHUN-TAHUN! Gue nyaris putus sekolah karena si Luna bawa kabur uang Bunda! Brengsek banget tuh anak anjir! Gue nangis tiap malem, gue bantuin Bunda jualan kue, gue berusaha bantu Bunda rawat adek gue, gue belajar buat beasiswa mati-matian tiap malem karena engga ada uang buat bimbel. SEMUA GUE LAKUIN! TERUS DIA MUNCUL SEOLAH SEMUA BAIK-BAIK AJA?! BAJINGAN!”

Napas Lucy naik turun dengan cepat.  Kenyataannya, Lucy yang selalu mengungkapkan. Mengekspresikan apapun yang dia rasa, ternyata memiliki sisi tersendiri untuk ditutupi. Sekarang, secara harfiah manusia memang menutupi sebagian dari dirinya.

Lucy terduduk, ia menangis sekuat-kuatnya sambil memukul dadanya. “Gue capek! Gue capek! Gue cuma capek! Gue sendirian! Gue nahan semuanya sendirian!” Banyak sekali kekecewaan yang menampar  Lucy hingga dia bisa sekuat seperti saat ini.

Lucy mencoba berdiri sendiri di saat semua menjadikannya tempat berteduh. Di saat dia harus menghadapi badainya sendiri, dia juga harus menghadapi badai orang lain pula. Menghadapi teman-teman yang berbeda kasta. Di saat orang lain bisa melangkah dengan mudah untuk masuk ke kelas khusus untuk meningkatkan kualitas dan nilai mereka. Sedangkan Lucy harus mengetuk satu-satu pintu ruangan gurunya agar diberi tugas lebih untuk meningkatkan nilainya. Menahan lapar jika tidak ada uang dan bersikap seolah baik-baik saja. Semuanya begitu berat.

Sekarang dia kembali dilanda sebuah masalah yang membawanya pada masalah-masalah lain. Sepertinya dia sendiri yang meruntuhkan susunan domino kehidupannya.

Ian hanya memerhatikan dari belakangan. Walau tampak tenang, sebenarnya dia juga berandai jika suatu hari nanti dia bisa berteriak seperti Lucy tanpa takut pada apapun. Andai saja dia bisa seberani Lucy yang mengeluarkan apapun yang membuat kepala dan hatinya berisik.

I just wanna say, abis ini bakal lebih sulit. Lo capek? Silahkan. Supaya nanti lo bisa menghargai keberhasilan lo. Dan, jangan larut,” kata Ian.

“Gue tinggal dulu. Cepet turun, ada yang mau gue kasih lihat dan kakak lo nungguin lo. Serena juga. Bertahan untuk apa yang lo sayang itu gapapa,” sambung Ian sebelum ia berajak pergi.

“Tapi ada gak yang sayang sama gue?” Pertanyaan Lucy membuat langkah kaki Ian seketika berhenti.

Pertanyaan yang kala itu juga pernah ia tanyakan pada diri sendiri dan mempelajarinya dari mendiang Ranny. Dan dia sudah memiliki jawabannya. “Lo bakal ngerti pertanyaan lo sendiri, kalau lo udah tanya ke diri lo sendiri dengan pertanyaan itu. Do you love youeself? Yes or nah? The world always makes you thinking Lucy. Be focus.”

***

Serena sudah dipindahkan ke ruang inap setelah menjalani beberapa pemeriksaan yang nyaris satu hari penuh. Bahkan gadis itu baru bisa dilihat saat hari sudah pagi. Tepatnya di jam 00.30 dini hari.

Lucy tidak bisa mengatakan apa-apa saat melihat kondisi Serena yang buruk. Setengah badannya diperban akibat patah tulang rusuk serta memar, hidungnya harus diberi alat agar bisa meluruskan batang hidung yang telah patah. Matanya membengkak, bahkan hanya terlihat sedikit bola matanya. Kepalanya juga diperban karena mengalami benturan pelan yang membuatnya cedera otak ringan.

Saat terbangun, Serena sejenak lupa semua hal. Dia diberi waktu untuk beradaptasi dan Lucy sata itu bersembunyi di dalam kamar mandi saking takutnya melihat Serena. Dan sekarang, dia tidak bisa mengatakan apa-apa.

“Gue kira lo bawa Richeese atau apa, kek. Laper gue,” ucap Serena yang lebih terdengar seperti bergumam karena bibirnya yang masih dalam proses pengobatan.

Lucy hanya bisa menghela napas, lalu menarik napas kembali sebisanya. “Lo jangan banyak bercanda, deh Ren. Lo yang kritis, gue yang kayak mau mati! Tau gak?” kesal  Lucy.

Gadis itu tidak kesal hanya karena perkara Serena yang bisa-bisanya masih bisa bercanda. Padahal pagi tadi, Lucy sudah mengira jika Serena nyaris mati karena keadaan yang sangat buruk. Sulit untuk Lucy berpikir jernih, terlebih tentang apa yang Mama Serena tentang rencana mereka untuk menyelesaikan masalah Serena yang tentu berkaitan dengan Revan, anak dari anggota dewan Dewangsa.

Serena tersenyum kecil. Tersenyum sebisanya, yang terpenting saat ini dia ingin tersenyum. Tapi senyuman itu meruntuhkan kekuatan Lucy untuk tidak menangis. “Bahkan lo bisa senyum di saat-saat begini, Serena sialan,” ucap Lucy seraya mengusap air matanya.

“Ren, sini bagi sakit lo ke gue. Gue engga bisa liat lo sakit sendirian, Serena sialan!”

Serena ikut menangis karena dia belum pernah merasa seberuntung ini. Di mata  ada orang yang begitu tulus tanpa pamrih  berjalan bersamanya, bahkan ingin berbagi luka yang dia sendiri tahu bahayanya. Dari semua yang Serena miliki, dia merasa paling beruntung memiliki Lucy di sisinya. “Lucy, kalau ada kehidupan selanjutnya. Ayo ketemu lagi. Gue engga bisa apa-apa tanpa lo, Cy. Tolong, terus sama gue, ya? Janji ya, Lucy?”

“Lo kuat, Serena. Gue lakukan apapun buat lo. Gue janji. Kalau orang tua lo engga bisa ada buat lo, inget gue, ya. Inget gue, Serena.” Lucy memeluk tubuh Serena sambil menangis sekuat-kuatnya. Terlalu banyak kekurangan Lucy yang harus Serena terima, tapi dia masih ada di sisinya. Lucy berjanji akan menyelesaikan ini. Dia berjanji untuk Serena Grace.

“Semoga kita ketemu lagi di situasi yang lebih baik ya, Cy. Gue cuma mau mikir makan doang.”

Worst Class Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang