0,2% Populasi

10 2 0
                                    

Pagi di hari minggu kali ini, rasanya sedikit berbeda. Lucy harus datang ke penjara karena hari ini dia akan mengumpulkan tugasnya. Pagi-pagi buta yang harusnya dia gunakan untuk beristirahat, malah sibuk memilih baju yang tampak sedikit formal karena hal gila akan dia lakukan.

Awal mulanya, pada jam sepuluh malam tepat di saat dia dan Theo sudah kembali dari Senopati. Nomor tidak dikenal tiba-tiba menghubunginya. Saat Lucy angkat ternyata itu adalah Pengacara Lingga Maheswara yang katanya adalah pengacara Mr. Edgar saat ini.

Pengacara itu meminta Lucy untuk datang ke penjara hari minggu di pagi hari. Lucy diminta untuk berpakaian seolah dia sedang dalam program magang sebagai mahasiswi jurusan hukum. Ya, ini adalah hal gila yang pernah Lucy lakukan. Jika bukan karena Mr. Edgar, Lucy tidak akan sudi.

“Mau ke mana, Cy? Pagi-pagi begini?” Lucy yang sedang duduk di depan kaca rias sedang merapikan rambutnya, terkejut saat sang bunda membuka pintunya tanpa mengetuk.

“Hah? Ohh! Mau kumpulin tugas. Bunda tau sendiri, kan.” Sarah sebagai ibu dari Lucy mengerti seberapa sulit putrinya harus menghadapi persoalan yang berat untuk bisa bertahan di sekolahnya saat ini.

“Lagian kamu kenapa sih, Kak mau sekolah di tempat begitu? Susah sendiri, kan? Udah tau orang tua penghasilannya engga seberapa,” gerutu Sarah pada Lucy.

“Ada waktunya nanti aku kasih tau, Bun. Tenang aja. Aku rangking satu loh! Masa bunda engga percaya sama aku?”

Sarah tersenyum. Dia tenang dan bangga jika Lucy tumbuh dengan pribadi yang pantang menyerah. Walau selama dia hidup, sudah banyak sekali masalah yang harus dia hadapi. Lucy yang selalu semangat membuat Sarah lega. Merasa jika dia sudah baik menjadi orang tua tunggal yang bisa memenuhi semua kebutuhan keluarga.

“Yaudah, Bunda tunggu di luar, ya. Sarapan dulu.” Lucy tersenyum tipis seraya mengangguk.

Kehidupan yang Lucy jalani, rasanya seperti berada di dua buku berbeda. Saat di rumah ia berusaha mati-matian untuk tetap bisa bertahan dengan penghasilan yang tidak seberapa. Saat di sekolah ia seperti tokoh tersesat di dalam satu buku yang hanya tercipta untuk orang-orang yang ditakdirkan menjadi orang kaya. Setiap hari Lucy melihat semua itu. Terkadang rasa iri itu timbul, terkadang pula menemukan sudut cerita itu. Di mana mereka menjadi manusia yang kurang menikmati kehidupan, kesepian, dan penuh tekanan.

Bisa Lucy simpulkan, semua memang benar-benar hidup dalam takarannya masing-masing.

***

“Bunda denger ada pembunuhan, ya di sekolah kamu?” Usai sarapan dengan sang bunda dan dua adik kembarnya, tiba-tiba bundanya menanyakan perihal itu.

“Bunda tau dari mana?” tanya Lucy mencoba untuk tetap tenang. Bohong jika dia biasa saja. Karena sejauh ini, dia mulai ikut berenang dalam kasus ini. Ya, semua dia lakukan demi beasiswanya. 

“Udah masuk berita, Kak.”

“Ouh, iya. Udah diurus, kok itu. Bunda tenang aja, ya. Orang kaya mana susah nyari begituan doang, Bun.”

“Kamu hati-hati, Kak! Ouh iya, kamu pergi sama siapa?” Lucy memejamkan matanya, mulai berpikir nama siapa yang harus dia jadikan tumbal kali ini.

“Sama … Sama Theo! Iya, sama Theo. Udah telat, nih Bun. Aku pergi dulu, ya.” Sebelum bundanya bertanya yang macam-macam, ada baiknya Lucy langsung pamit saja. 

Usai izin, Lucy keluar dari rumahnya. Baru saja menutup pintu, dia bisa melihat sebuah mobil sedan hitam terparkir tidak jauh dari rumahnya.Tapi Lucy sudah begitu curiga jika itu adalah Pengacara Lingga. Sejenak Lucy mengintip ke jendela apakah bundanya masih memerhatikannya atau tidak. Lucy langsung memasang senyumnya saat ketahuan mengintip oleh bundanya. Lucy hanya melambaikan tangan dan segera pergi begitu saja.

Worst Class Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang