Menikmati Konsekuensi

15 0 0
                                    

Bagi Ian sekarang, duduk di kursi sebagai saksi yang bisa saja menjadi tertuduh untuk kapan saja. Bahkan semua bisa berubah kapan saja, agaknya detik berikutnya.

Akan tetapi, Ian sudah tidak menakuti apa yang akan terjadi. Apa yang ia inginkan selama dia hidup, sudah mulai bisa menemui titik terangnya. Hari ini, ia meminta ibunya datang untuk melihat jika apapun keputusan yang sudah hakim berikan atas dirinya, ibunya harus bangga padanya. Tidak hanya itu, dia juga banyak belajar makna peduli, cinta, ketulusan, dan kerja sama. Ternyata memang benar, nilai itu melibihi dari nilai itu sendiri.

Inilah pengabdian terakhir Ian dalam menuntut keadilan atas kakaknya.

Sang ibu, sekarang duduk paling belakang. Memerhatikan pundak sang anak yang tidak gentir dengan pilihannya. Dia merasa sudah berhasil mendidik seorang anak laki-laki yang menjaga keluarganya bagaimana pun caranya. Dia sudah mengenal banyak hal, dari tanggung jawab, dan cara menyelesaikannya pula. Sebagai seorang sang ibu, dia hanya berharap jika Ian bisa tumbuh lebih baik lagi. Tanpa dihantui bayangan sang kakak yang menyiksanya. Karena, saat ini Ian harus menyadarinya jika kakanya sudah tenang di surge sana.

"Baiklah, dengan Saudara Ian. Apa benar jika saat anda datang, korban sudah dalam keadaan sekarat?" tanya Jaksa Afkar.

Ian mengangguk tanpa pikir panjang. "Benar."

"Apa karena dendam anda tentang kasus penyuapan dan kematian Ranny Cooper?"

Kali ini, Ian terdiam sejenak. Itu hanya benang merah yang mereka tarik selama ini. Sangat berbeda dengan penafsiran awal yang harusnya Ian beritahu saja. Bukan menarik diri untuk mengangkat kasus sang kaka. Baiklah, itu adalah sebuah kesalahan yang harus ia perbaiki.

"Saya datang saat kelas sepi untuk mempertanyakan siapa dalang dari semua itu. Itulah yang ingin saya sampaikan. Akan tetapi, beliau sudah dalam keadaan kejang dan seperti kepanasan. Saat itu saya hanya diam. Dengan pemikiran pendek, saya membiarkan korban dalam keadaan seperti itu untuk mengangkat kasus kakak saya yang tidak pernah diproses."

"Apa anda berpikir anda bisa dilindungi dengan undang-undang membunuh seseorang untuk melindungi orang lain? Orang yang telah mati tidak butuh anda lindungi dengan undang-undang. Yang Mulia, Saudara Ian tidak melakukan pembelaan, melainkan pembunuhan secara tidak langsung karena dendam."

Ian sama sekali tidak gentir. Dia masih menatap Jaksa Afkar santai. Berpikir andai saja dia dipenjara, orang yang menuntutnya saat ini, juga akan bernasib sama dengannya. Setidaknya itu sudah dapat dia pastikan.

"Ya, saya mengakui jika saya tidak berpikir panjang untuk melakukannya."

Wartawan mulai riuh dengan pernyataan yang Ian putuskan. Seorang murid yang menjadi salah satu murid terbaik yang School of Ukiyo miliki, ternyata lebih berperan banyak dalam kasus ini. Anak-anak yang awalnya hanya sekedar belajar, namun ambisi dan keberanian mereka yang meluap membuat mereka juga mampu melakukan apa yang mereka inginkan.

Ian menoleh ke arah Mr. Edgar yang ternyata juga sedang memerhatikannya. Ian tersenyum saat gurunya itu mengangkat sebuah kertas yang bertuliskan A ∞. Mr. Edgar harus kembali mengajar karena Ian tahu jika dia guru terbaik yang pernah Ian temui dalam hidupnya.

"Saudara Ian, siapkan pengacara anda. Sekarang, sementara anda dalam pengawasan polisi." Ian membuang napasnya dan mengangguk dua kali. Ia menerima tangannya diborgol dan diamankan oleh kepolisian.

Ian melewati Khai yang menatapnya tidak percaya dengan apa yang baru saja sepupunya itu lakukan. Theo hanya menatap Ian dengan tatapan yang sulit Ian mengerti, tapi mampu membuatnya terkekeh pelan. "See you," ucap Ian sebelum kembali berjalan keluar dari balai sidang.

Worst Class Où les histoires vivent. Découvrez maintenant