Propaganda

6 1 0
                                    

Keadaan makin runyam. Benang yang Lucy coba untuk tarik satu per satu agar masalah ini segera selesai, ternyata banyak menimbulkan dampak lain. Yang awalnya Lucy kira permasalahn utama di sini adalah pembunuhan Mr.Jacob yang sebenarnya hanya permulaan dari semuanya.

Sidang pertama diakhiri dengan jaksa yang ajukan banding kepada hakim dan itu disetujui karena satu dokumen terkait yang terbongkar begitu saja di sebuah sidang. Ini seperti membuka kasus di dalam kasus.

Lucy langsung pergi dari persidangan dan menenangkan diri dalam perpustakaan sekolahnya. Hari masih sore. Lucy tidak bisa pulang dulu karena ini masih jam belajar. Dan memutuskan untuk berdiam diri dengan isi kepalanya yang nyaris pecah ini.

“Harus dari mana gue kelarin ini,” lirih Lucy yang sudah menidurkan kepalanya di meja. Di depannya masih laptop yang terbuka dan banyak kertas yang sudah ia coret-coret sebelumnya. Tidak lama dari situ ia menegakkan kepalanya, melihat kekacauan yang ada di hadapannya.

“Ini gak bakal beres melayang gitu aja, kan? Harus gerak nih, gue buat beresinnya?” Lucy menatap sebal laptop dan lembaran kertas yang ada di hadapannya lalu berteriak frustasi seraya mengacak-acak rambutnya.

“Ms. Madeline, ini perpustakaan. Dimohon agar tidak membuat keributan.” Lucy langsung ditegur oleh seorang penjaga perpustakaan.  Sontak gadis itu langsung berdiri dan menunduk beberapa kali, menyesali perbuatan impusifnya.

“Maaf, maaf. Saya tidak akan ulang lagi.” Setelah penjaga perpustkaan itu pergi, Lucy menghela napas lega dan saat dia berbalik, hendak duduk kembali. Lucy dikejutkan dengan seseroang yang sudah duduk di seberang mejanya.

“Astaga! Ya Tuhan, gue hampir teriak anjir!” Kebetulan Lucy tidak duduk di ruangan belajar privat. Dan membuat siapa saja bisa duduk bergabung dengannya. Tapi ekspresi Khai yang begitu menyeramkan, membuat Lucy mengira yang duduk di hadapannya adalah makhluk astral. Walau untuk Lucy, Khai memang sedikit mirip dengan makhluk-mahkluk tak kasat mata itu, saking menyebalkannya.

Khai masih bungkam. Lucy pun masih belum mau membuka suara. Dia membereskan mejanuya yang sedari tadi diperhatikan oleh Khai. Merasa tidak nyaman, akhirnya Lucy menatap Khai tidak suka. “Ngapain lo ke sini?”

“Gue tahu, lo yang meriksa semua kejadian, kan? Buat Mr. Edgar?” Pertanyaan yang trdengar seperti dorongan memaksa agar Lucy menjawabnya dengan cepat.

“Apa urusannya sama lo?”

'

Lucy sukses dibuat tertawa pelan oleh jawaban seorang yang menurutnya selalu memaksakan apa yang dia inginkan saja. “Lo aneh. Tapi kalau dipikir-pikir, ngapain lo sampe nyamperin gue gini? Udah merasa terancam? Makanya lo bikin gue seolah engga ada di bagian kelompok belajar? Atau … lo cemburu sama gue?”

“Lucy, you crossed the line,” ucap Khai memberi peringatan.

“Gue ingetin sama lo Nyonya Khai Whitney, kita udah di dalam bom waktu. Cepat atau lambat semua yang busuk ini bakal kecium. And you must to know … sikap lo sendiri yang bakal hancurin lo. Sebelum jadi super pinter, mending lo baca balik bab sikap orang berilmu. Lo suka suasana serius, kan? Ini gue kalo udah ngikutin yang lo suka, Khai.” Ini pertama kalinya Lucy mengatakan hal seserius itu. Berbeda dengan sebelumnya yang di mana Lucy hanya menyampaikan kekesalannya.

Tapi kali ini, Lucy menyerang titik lemah Khai yang sebenarnya Lucy masih belum tahu apa yang ditutupinya. Sedangkan Khai saat ini dia sudah meremat tangannya kesal. “Gue udah anggap semuanya temen. Tapi apa yang gue kasih, emang engga pernah balik ke gue. Sekarang, terserah lo.”

Lucy memutuskan untuk pergi dari perpustakaan, meninggalkan Khai seorang diri.

***

Sedangkan di sisi lain, kini Ian sedang berhadapan dengan Jaksa Afkar yang memanggilnya ke ruangan pria itu. Sudah lima menit mereka duduk berhadapan, tidak ada percakapan yang tercipta di antara keduanya. Ian hanya memerhatikan Jaksa Afkar dengan wajah kacaunya saat ini.

Sudah beberapa kali pria itu bolak-balik dengan telepon dari banyak orang yang berbeda, yang selalu mengganggunya. Namun, bukan berarti hal tersebut menganggu Ian pula. Dia sangat menikmatinya bersama dengan segelas americano yang hampir tandas.

“Saya sibuk, Pak Afkar.” Ian membuka suara. Membuat Jaksa Afkar langsung menoleh kea rah laki-laki itu.

“Oke, kita persingkat saja. Saya tidak akan mengajukan surat tahanan untukmu tapi—“

“Tidak mengangkat kasus kakak saya?” potong Ian yang sudah dapat menebak apa yang akan Jaksa Afkar sampaikan.

Jaksa Afkar yang merasa sudah tertebak hanya terdiam. “Jangan lupakan jika saya masih memiliki urusan dengan kasus Mr. Edgar.”

“Kalau begitu, saya akan selesaikan urusan Mr. Edgar tapi jangan angkat kasus itu.”

Awalnya Ian masih menghormati sosok Jaksa Afkar yang sudah ia tetapkan  sebagai seorang jaksa senior yang cukup membuat Ian harus berpikir lebih keras saat di waktu ini terjadi. Waktu di mana ia harus berhadapan langsung. Akan tetapi, hari ini Ian mampu tertawa. Ternyata tidak semenyeramkan itu. Atau memang, dendamnya yang lebih menyeramkan hingga membuat Ian tidak menakuti banyak hal. “Saya punya sedikit kutipan untuk anda agar bisa berpikir lebih baik.”

“Manusia itu binatang yang bisa menawar.” Ian seketika tersenyum lebar. Untuk kali ini, senyuman itu adalah senyuman yang paling merekah yang pernah Ian tampilkan seumur hidupnya. Dan senyum ini akan lebih merekah jika dendamnya atas sang kakak sudah mendapatkan bayarannya.

“Saya pamit.” Ian dengan santai keluar dari ruangan jaksa senior itu dengan kaki yang ringan. Sedikit demi sedikit, Ian akan melihat mereka hancur secara perlahan.

“Brengsek!” Ian kembali tersenyum senang saat dia mendengarkan makian itu hingga keluar ruangan.

Saat sampai di depan gedung persidangan, Ian langsung menghubungi Lucy. Tidak perlu menunggu lama, Lucy langsung tersambung. “Lo di mana?”

Ketemu orang, bentar. Kenapa Yan?” Ian menyerengit saat mendengar suara Lucy yang sedikit terdengar berbeda. Tapi Ian akui, saat ini Lucy harus banyak memikirkan banyak hal dari dampak pembunuhan ini.

“Tadi ketemu gue. Lo atur aja.”

“Mau ngapain lagi, sih?” Dibandingkan suara kesal yang biasanya Ian dengar setiap hari, kali ini Lucy lebih condong seperti sudah frustasi. Apakah Ian peduli? Tentu tidak. Semua orang memang memiliki sakitnya masing-masing, dan mereka berhak merasakan sakit itu. Dunia berputar bukan hanya untuk kita. Karena itu, Ian lebih memilih mencoba ribuan kali ketimbang menghabiskan waktu untuk menangisi banyak hal.

Dia adalah tokoh utama dalam ceritanya. Dan sampai akhir, dia pula yang harus menyelesaikannya.

“Omongin soal Theo. Hari reka adegan, Mr. Edgar bilang dia dateng paling pagi. Dan lo juga begitu, kan?”

Tapi di hari itu, Theo terlambat masuk kelas. 

Worst Class Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora