Perspektif Mata Burung

3 0 0
                                    

"Keren juga lo," puji Ian sembari menyodorkan sekaleng kopi yang baru saja ia beli di kantin sekolah. Lucy mengambil kaleng itu dengan tatapan bingung karena ia merasa tidak melakukan hal hebat semacam terbang, atau menyelamatkan nyawa seseorang.

"Keren apaan? Perasaan dari tadi gue diem aja, deh." Selepas itu, Lucy membuka kaleng minumannya lalu menghabiskan isinya hingga tandas setengah.

"Jawaban lo waktu ditanya soal lo mau jadi apa tadi di aula." Lucy terdiam sejenak. Mengulik kembali ingatan saat dia dipanggil ke depan untuk menjawab pertanyaan yang salah satunya adalah pertanyaan mengenai, ingin jadi apa dia nanti dan jurusan apa yang menurutnya mendukung keinginannya itu.

Lucy langsung tertawa saat mengingat jawabannya yang menurutnya adalah hal terlucu yang sudah ia lakukan dua kali selama berada di School of Ukiyo.

"Soal perspektif mata burung?" Pertanyaan Lucy diangguki pelan oleh Ian.

"Dulu gue suka menggambar. Dari hobi gue, ada hal yang gue pelajari namanya sudut pandang saat menggambat perspetif. Ada namanya perspektif mata burung." Lucy seketika menatap langit yang tidak terlalu biru tapi tetap membuatnya selalu mendambakan kebebasan yang selalu ia ingat kala dia masih suka menggambar. Terlebih saat menggambar dengan perspektif mata burung yang dominan dengan gambar bangunan.

Saat menggambarnya, Lucy selalu berimajinasi bagaimana jika dia bisa melihat hal dari atas sana sambil terbang layaknya burung. Mengelilingi etensi yang ingin ia kulik sambil terbang bebas membelah angin.

"Jadi apa hubungannya perspektif mata burung sama jurusan hukum?" tanya Ian kembali karena merasa tidak puas dengan jawaban Lucy.

Lucy menggeleng pelan. "Awalnya gue engga sampe kepikiran sampe ke sana. Gue bingung harus jadi apa. Balik lagi dari hal yang engga gue sangka-sangka kayak ... guru gue dibunuh sama orang yang sampai sekarang gue engga tahu, guru gue masuk penjara tapi kalo kasih tugas rajin, Serena dianiaya pacarnya, lo dengan kegilaan lo, Khai yang bikin pusing, Theo ... I don't what he want."

"Semua kayak puzzle yang harus gue susun. Semua alasan kalian terasa benar sampe gue engga tahu membedakan yang mana yang salah. Dan gue inget teknik gambar itu. Ada perspektif mata manusia, mata burung, dan cacing. Gue kira saat kita tarik garis horizon lurus, sama halnya kayak ngegambar perspektif mata manusia, semua bakal kelihatan jelas dan mudah. Ternyata engga," sambung Lucy.

"Mata manusia bisa dimanipulasi," ujar Ian yang mulai mengerti jika cara berpikir Lucy saat ini adalah seorang seniman yang menggunakan metafora dalam menjelaskan sesuatu. Sejauh ini, Ia baryu menyadari jika Lucy ternyata manusia yang komplek. Sosok yang terkesan tidak pantas untuk bersanding dengan rangking satu, ternyata dia memiliki warna yang mencolok untuk beberapa orang yang melihatnya dari dekat.

"Bener. Kalo gue pake perspektif mata cacing, gue bakal balik ke diri gue yang lemah. Karena kalau pakai perspektif itu, semua bakal kelihatan besar dan gue adalah hal yang terendah. Perasaan rendah diri, itu engga bakal menyelesaikan apapun."

"Tapi dengan perspektf burung, gue bisa terbang bebas, melihat secara keseluruhan dari atas. Kadang terbang lebih tinggi atau lebih rendanh untuk mastiin gue engga salah liat, atau berkeliling ke objek untuk lihat keseluruhannya. Gue butuh hal itu untuk cari kebenaran, bukan pembenaran. Dan itu semua secara tegas tersusun di hukum," sambung Lucy.

Entahlah, Lucy juga tidak mengerti apa yang membuatnya bisa berpemikiran seperti itu. Berbeda dengan sang kakak yang ingin masuk hukum karena ingin menciptakan penegak hukum yang bijak. Sedangkan Lucy, dia tidak tahu. Tapi dia hanya merasa jika suatu saat nanti dia bisa masuk jurusan hukum, dia akan menjadi sosok yang lebih baik.

"Jadi, menurut lo gue salah?" tanya Ian.

Lucy hanya menaikkan bahunya. "Di hukum semua ditimbang. Dan konsekuensi yang lo dapatkan bakal setara dengan apa yang lo lakukan. Itu baru keadilan. Apa lo merasa langsung tertuduh bersalah? Engga, kok. Kalo yang keliatan awalnya salah tapi langsung ditertuduh tanpa pengadilan, itu salah. Lo kira pengacara bisa milih klien yang kelihatannya tertindas doang? Makanya itu, pake perspektif mata burung. Terkadang, mungkin aja dia baru liat mata lo yang rasanya pengen ditusuk itu, sebelum liat yang lain. Iya, kan?"

Ian terdiam. Dia kembali menyadari hal baru jika manusia kekomplek itu. Tidak ada kata cukup untuk memahami sosok manusia. Termasuk saat ia melihat Lucy Madeline. Dia masih saja gadis bodoh yang ia kenal di dalam kenal, tapi dia memiliki kebijakan yang tidak berlaku di kelas. Akan tetapi di dunia realita.

"Semua orang punya kepentingan, dengan pikiran lo yang begitu lo punya kepentingan apa?" tanya Ian yang sedari tadi menatap Lucy walau sedari tadi pula gadis itu tidak menatapnya. Hanya menangkup kedua tangan di depan perut dengan tatapan lurus ke depan.

Lucy tertawa pelan. "Gue cuma orang kecil, Ian. Sekedar bisa makan, jajan, setiap hari aja syukur. Gue engga punya kepentingan apa-apa, tapi terkadang ada aja hal ngedorong kita untuk kelakuin sesuatu. Maybe this is how I was created."

"Beda hal kalo orang sekelas lo yang udah punya segalanya. Saking punya segalanya, they are crossed the line and forgot for what they created. Simpelnya, manusia yang jauh dari menusiawi. Is it?" Lucy kini menoleh ke arah Ian yang sepertinya memikirkan apa yang baru saja ia katakan.

"Theo pacaran, ya sama Khai?" Pertanyaan yang baru saja Lucy tanyakan membuat Ian sedikit terkejut.

Seperti rahasia umum yang tidak perlu disebutkan tapi semua sudah tahu. Khai memang sudah menyukai Theo sejak lama. Hanya saja sikap arogansinya, menutup mata Khai untuk mengejar lelaki yang ia sukai. Berbeda dengan Lucy yang sejatinya memang mudah berteman. Memilih untuk menghilangkan perasaan dengan Theo yang kebetulan dekat dengannya.

Jangan tanya siapa yang membuat Ian mengetahui itu semua. Sumber berita semacam ini di kelompok mereka, hanya Serena yang dapat membawanya.

"Pake pelet kayanya," jawab Ian yang menbuat Lucy tertawa.

"Jahat banget lo sama sepupu sendiri. Syukur, deh tuh cewek bisa gila cowok juga selain cowok belajar. Ngeliat dia aja kepala gue kayak kembang."

"Lo gapapa?" Lucy langsung terdiam saat mendengar pertanyaan Ian. Jelas ia tahu menjurus ke mana pertanyaan itu.

Lucy akui ada sudut hatinya yang sakit. Walau selama ini, dia sendiri yang terus mencoba agar hubungannya dengan Theo hanyalah sebatas teman. Sakitnya saat ini adalah moral dari bentuk ceritanya.

"Gapapa, kok. Gue mau pacaran sama Mark NCT aja," gurau Lucy. Tetapi tidak berlangsung lama sampai ketika Ian menyodorkan sebuah surat pada Lucy.

Lucy mengambil selembar kertas itu ragu. "Ini apa?"

"Hasil pemeriksaan badan forensik soal bahan kimia yang ada di tubuh Mr.Jacob sebelum meninggal dunia. Kita harus bagi fokus sekarang, Cy. Bang Dev mau angkat kasus Serena ke pengadilan."

Lucy tidak mampu lagi mengeluarkan keluhannya. Yang hanya bisa dia lakukan saat ini, hanya menghela napas dan mengangguk pelan. "Besok lo ikut, ya ketemu Mr.Edgar bareng kakak gue sama Kak Lingga."

Ian mengangguk. "Bentar lagi persidangan kedua. Kali ini gue jadi saksi." 

Worst Class Where stories live. Discover now