Kesalahan Terbaik

6 0 0
                                    

"... Makasih banyak. Cuma itu yang bisa gue ucapin ke lo ...."

Suara Serena yang terakhir kali ia dengar, terngiang begitu pedih di dalam hatinya. Setlah melihat portal berita itu kembali, ternyata Revan benar-benar mengirim video itu ke media. Lucy bersumpah akan menghancurkan hidup Revan sebagaimana Revan menghancurkan Serena.

Tidak pula Lucy lupakan, jika saja ... jika saja Serena tidak membelanya, apakah ini tidak akan terjadi? Tangis Lucy pecah, tubuhnya gemetar dengan begitu hebatnya. Yang Lucy bisa lakukan hanya duduk meringkuk menangis di tepi kolam yang ada di rumah Serena.

Lucy baru saja terbangun dari pingsannya. Dia tidak sanggup melihat darah yang keluar dari tubuh hancur melewati sepatunya kala melihat Serena di depan matanya yang tergeletak di tanah. Tubuhnya hancur, wajahnya hancur, dan Lucy baru menyadari Serena sudah lama sehancur itu hingga bunuh diri menjadi pilihannya.

Sekarang rumah yang menyimpan luka dan betapa kesepiannya Serena selama dia hidup sudah dipenuhi banyak orang yang mengitarinya, memberikan doa padanya. Rumah yang tampaknya tidak pernah hidup, kini sudah begitu terang. Tapi Lucy masih belum berani melihat Serena yang sudah ditutupi kain putih.

"Rumah lo udah rame, Ren. Lo engga sendiri sekarang," ucap Lucy sambil menangis.

Tiba-tiba Lucy merasa seseorang mengusap punggungnya, Lucy menoleh pelan dan melihat Luna yang menatap iba adiknya. "Udah, yuk. Liat Serenanya terakhir kali, yuk. Ikhlas, Cy ikhlas."

Lucy menghempaskan tangan sang kakak dan berdiri di depan sang kakak yang masih dalam posisi jongkok. "ENGGA KAK! ENGGA! HARUS ADA YANG TANGGUNG JAWAB SAMA KEMATIAN SERENA!" Pekikan Lucy membuat semua orang terdiam saking besarnya suara Lucy.

Membuat beberapa orang yang menghampiri Lucy. Ada Ian, Theo, Ibu Serena dengan kekasihnya yang katanya hendak menikah, serta Ayah Serena dengan istrinya. Lucy langsung menatap nanar barisan orang yang ada di hadapannya.

Lucy berjalan perlahan ke arah Theo seraya menunjuk tegas lelaki itu. "Lo tahu? Seberapa berharganya Serena buat gue? DAN PERNYATAAN BODOH LO ITU!" Lucy meneteskan air matanya, dia tidak sanggup melanjutkan ucapannya.

"Dan lo. Kenapa lo engga dateng? Hah? Takut? BEJAT LO SEMUA!" teriak Lucy pada Ian. Kedua lelaki itu terdiam. Mereka tidak perlu menanggapi ucapan Lucy saat ini. Itu hanya akan membuat keadaan semakin gaduh.

"Lucy ...udah Lucy," bujuk Luna. Dia tidak pernah melihat Lucy yang sehancur ini, membuatnya menjadi sangat sedih. Bahkan, saat ayahnya pergi dari rumah, Lucy masih bisa menahan dirinya. Tapi saat ini, Bahkan Lucy tidak menakuti siapa pun.

"Kamu jangan rusuh! Kita lagi berduka di sini." Kini Ibu Serena yang berbicara dengan tangissannya dengan suara lemah yang membuat Lucy tertawa sangat besar.

"Baru sekarang anda nangis? Baru sekarang anda sedih? KE MANA AJA KALIAN HAH?! Ini dia orang yang saya mintai tolong untuk membantu anaknya sendiri tapi menolak? ANDA INGAT ITU TIDAK?" Tidak ada lagi yang bisa membendung Lucy. Tidak ada satu pun yang bisa. Karena sejauh ini, Serena dan Lucy layaknya dua jiwa yang menjadi satu. Tidak ada yang berhak mengehntikan amarah Lucy. Tidak ada, sekali pun orang tua mendiang temannya itu.

"Mereka engga butuh tangisan drama kalian! Dia engga butuh bunga dari kalian! Ke mana aja kalian hah? Di saat dia butuh semua yang kalian lakuin sekarang, KALIAN KE MANA?"

Lucy mengingat bagaimana luka yang harus Serena tutupi entah sejak berapa lama. Dia masih mengingat bagaimana Serena yang berusaha tetap tersenyum demi pekerjaannya. "Setelah ini kalian kembali hidup seolah hari ini engga ada. Tapi saya?" Lucy menggeleng lirih.

"Saya kehilangan satu-satunya teman yang terima saya apa adanya. Saya kehilangan Serena Grace."

***

Saat semua orang sudah pergi dari pemakaman, Lucy memilih untuk tinggal di sana lebih lama. Dia tidak mau Serena merasa kesepian. Sungguh, dia masih memegang janjinya jika akan selalu ada untuk Serena. Tapi, dia tidak bisa membuat Serena merasa lebih baik. Lucy benar-benar kecewa dengan dirinya sendiri.

"Kak Luna ada kerjaan, lo pulang sama gue." Lucy tidak memperdulikan suara Ian yang berasal dari belakangnya.

Ian hanya bisa menghela napas. Lucy memang sedang mendapat banyak tekanan saat-saat terakhir ini. Bahkan kabar dari Lingga, Lucy tetap harus masuk dalam pemeriksaan. Di sekolah mulai benturkan dengan banyak hujatan, dan sekarang temannya bunuh diri. Ian akui, ditinggal seseorang yang berarti itu dunia seperti kehilangan warnanya.

Ian mengalaminya. Dan untuk bangkit saja, sulit sekali mencari alasannya. Lelaki itu memilih ikut duduk di samping Lucy. Jika dulu, Lucy yang menemaninya ke makam sang kakak. Sosok yang berarti untuk Ian. Kini Ian pula yang menemani Lucy duduk di sisi makam Serena. Orang yang bagi Lucy sangatlah berharga.

"Sekarang gue yang temenin lo," ucap Ian.

"Gak perlu. Pergi lo sana!" bentak Lucy sambil mendorong tubuh Ian agar menjauh darinya. Tapi, Ian tidak memilih untuk menuturi ucapan gadis itu. Dia bertahan dengan posisi duduknya.

"Serena coba lo kasih tahu, nih temen batu lo," ucap Ian tiba-tiba seperti berbicara dengan Serena. Seolah Serena bisa mendengar lelaki itu.

Mendadak Lucy terdiam. Ini masih terlalu cepat untuk berpisah dengan Serena. Lucy menangis saat menyadari ucapan Ian tidak mampu lagi Serena jawab. "Udah, nangis lagi aduh."

Ian mengelap wajah penuh air mata Lucy serta menekan hidung Lucy yang sudah penuh dengan lendir ingus menggunakan sapu tangannya. "Kok lo jadi baik ke gue," keluh Lucy yang sudah tidak berdaya wajahnya dikuasai oleh Ian.

"Gue jahat salah, baik salah. Udah ayo, pulang dulu. Budeg si Serena denger lo nangis ke bocil."

"Lo belum bilang ngomong apa ke Serena," tolak Lucy.

Ian mendengus. Dia paling benci berurusan dengan perempuan, karena keras kepalanya batu granit pun kalah. "Di rumah, ya. Ayo jajan dulu, " bujuk Ian seraya menarik tangan Lucy agar ingin pulang.

"Spill dulu."

Lagi-lagi Ian mendengus. Bedanya kali ini dengan mata tajamnya. "Gue engga dateng ke pengadilan karena buat nangkep si brengsek. Puas lo?" Lucy emang tidak bisa diperlakukan dengan baik.

"Yaudah ayo, pulang. Serena, besok gue ke sini lagi, ya. Tenang aja, Revan sialan gua matiin juga abis ini." Buktinya, setelah Ian berkata ketus, dia baru beranjak dari posisi duduknya.

"Lucy bajingan."

"Iya, Sayang," ucap Lucy dengan nada bercanda. Mencoba menghibur dirinya sendiri. Ada benarnya jika dia tidak terlalu larut karena banyak hal yang harus dia selesaikan. Dan semua ini juga memberikan konsekuensi pada orang yang sudah membuat Serena terluka. Itu janji Lucy pada mendiang temannya. Serena Grace.

Selamat jalan, pemilik hati yang tulus. 

Worst Class Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin