Kebenaran dan Pembenaran

6 0 0
                                    

Di waktu seperti biasanya, kini mereka bisa masuk dalam penjara dengan adanya bantuan dari Lingga. Kecuali Luna yang ternyata harus menghadiri sidang kasus penyuapan yang masuk ke laptop Mr.Edgar yang tercantum namanya. Ian juga membantu Luna untuk kasus Jaksa Afkar.

"Kak Lingga, udah sejauh apa Kak Lingga bedah kasusnya? Bentar lagi udah sidang," ungkap Lucy yang ingin mengetahui perkembangan kasus yang Kak Lingga sudah bedah.

"Kalian kenal Andina Abimanyu?" tanya Lingga.

"Abimanyu?" tanya Lucy dan Ian nyaris serentak. Sejak bersekolah di School of Ukiyo, mereka lebih terfokus dengan nama belakang orang. Sedangkan Mr.Edgar, masih diam dengan raut wajah yang seperti berpikir.

Lingga mengangguk. "Saya tahu ini dari beberapa jejak digital Anggota Dewan Dewangsa yang dua tahun lalu selalu mempromosikan nama seorang perempuan Andina Abimanyu. Tapi saat kasus ini terbuka, dia menghilang."

"Seharusnya Theo tahu dia siapa. Dulu Ibu Theo sebelum meninggal, pernah kerja di kantor Dewan," ungkap Ian yang dihadiahi tatapan kesal dari tiga orang lawan bicaranya.

"Kenapa lo engga kasih tahu dari kemaren, sat! Kan. Bisa cepet kelar!" maki Lucy yang sudah bisa mewakili dua pria yang hanya terdiam dengan tatapan kesalnya.

"Kan, gue engga tahu kalo ada sangkut pautnya sama itu!"

"Mikirlah! Kan anggota dewan salah satu target kita, anying!" Lucy sejak awal sudah memperingati jika di luar sekolah dan di dalam sekolah dia adalah orang berbeda. Begitu wajar rasanya jika gadis itu lebih sering berkata kasar kalau di luar sekolah.

"Kenapa sejak Mr.Davidson dan Ms.Grace tidak lagi aktif sekolah, kalian jadi tidak kompak lagi?" Pertanyaan Mr. Edgar membuat Ian dan Lucy sontak menoleh ke arah gurunya.

Dari mana Mr.Edgra tahu jika sejak Gavin dan Serena tidak aktif lagi di sekolah, mereka mulai terpisah? Mungkin seperti itu tatapan kedua remaja itu berbicara.

"Mohon maaf, Mr. Edgar, ini di luar pembahasan."

"Kalian kira, saya akan diam saja jika karena kasus ini, murid-murid saya sudah tidak bekerja sama lagi? Ini pertama kalinya kelompok kalian gagal dalam mengerjakan tugas," ungkap Mr. Edgar. Ya, alasan utama Mr. Edgar membawa mereka ke dalam kasus ini adalah untuk melihat seberapa erat kerja sama yang terjalin di antara mereka. Ternyata tidak.

"Ternyata kalian gagal di pelajaran memaknai diri sebagai manusia. Kalian hanya manusia pekerja atau robot yang hanya bisa untuk dipekerjakan saja." Ungkapan Mr. Edgar membuat kedua remaja itu terdiam.Sedangkan Lingga hanya mengurut batas hidungnya. Lagi-lagi Mr. Edgar membuka kelas.

"Tidak," ucap Lucy tiba-tiba.

"Berikan alasan anda," sahut Edgar cepat dengan suara sedikit membesar dan penuh penekanan. Menurut sang guru itu, intonasi suara seperti itu membuat muridnya semakin menguatkan dirinya serta membangkitkan cara berpikir lebih cepat.Ya, Edgar saat ini memang dalam mode mengajar.

Dia ingin muridnya terbiasa untuk tetap belajar walau di luar ruang kelas. Agaknya di dalam tahanan sekali pun.

"Saya yakin, jika memang sejatinya semua sudah terbentuk seperti ini sebelum tragedi terjadi. Saya melihat banyaknya rencana yang tidak dipikirkan matang hingga membuka topeng mereka yang sebenarnya. Orang-orang kelas atas­­­ ­­­­­–"

"Memiliki banyak kepentingan," potong Ian yang sudah tahu ke mana jalan bicara Lucy Madeline. Karena kesal setiap saat Lucy selalu menyinggung hal serupa.

"Jadi apa kepentingan anda di sini? Orang kelas atas? " tanya Mr. Edgar yang beralih kepada Ian.

Shit. Ian mengumpat dalam hati. Dia masih terdiam bingung memikirkan dalih apa yang harus dia keluarkan. Memang seharusnya dia harus berpikir terlebih dahulu sebelum berbicara. Lucy hanya tersenyum tipis. Meraka puas jika hal yang selama ini hanya rahasia bagi mereka, ternyata Ian sendiri yang tidak sengaja membongkarnya.

"Kepinteran sih, lo," bisik Lucy yang tepat berada di samping Ian.

"Karena ... Kakak saya. Saya ingin menuntut keadilan dari apa yang sudah mereka lakukan pada kakak saya, Ranny Cooper," jawab Ian seolah saat ini dia sedang melakukan pembelaan terhadap apa yang menurutnya sudah benar.

"Dengan cara membuat Mr.Jacob sekarat? Anda tahu apa hukuman yang sedang menunggu anda? Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kematian," sahut Lingga.

Ian terdiam. Sepertinya sejak awal ajakan Lucy, itu memang sudah jebakan. "Gue engga kasih tahu apa-apa. Tapi Kak Lingga yang minta lo dateng hari ini," ucap Lucy yang sudah tertebak jika Ian mulai kesal dengan tawaran datang yang ia ajukan kemarin.

"Lalu bagiamana dengan KUHP dan RKUHP 2022?" Memang sedikit berbeda. Ian malah menantang Lingga.

"Orang yang telah mati tidak perlu dilindungi. Kecuali anda melindungi Ranny Cooper saat kejadian. Dan sejauh ini Saya dan Luna juga sedang berusaha untuk kakak anda selaku teman kami. Masalah tidak akan semakin buruk jika anda tidak melakukan hal itu, Ian Cooper," ucap Lingga dengan nada tinggi dan penuh emosi.

Pada hakikatnya, satu tetes air saja bisa memecahkan batu. Sudah seharusnya, hal remeh tidak bisa biarkan begitu saja. "Walau bukan anda pembunuhnya, dengan keadaan pelaku belum ditemukan, anda bisa menjadi tersangka kedua," ungkap Lingga.

"Pikirkan lebih matang lagi, Ian Cooper. Selama ini anda melakukan kebenaran atau hanya pembenaran," ucap Mr. Edgar.

Lucy hanya terdiam. Sekarang dia sadar, jika dirinya juga pasti akan dihantam masalah lain karena hal yang seperti ini jelas juga mengganggu kepentingan orang lain. Apalagi jika pembunuhnya tahu perihal apa yang ia lakukan saat ini.

Kini, Lucy sadar, realita tidak sesempit ruang kelas. Walau ruang kelasnya besar, tapi kelas tidak bisa menampung masalah realita yang ada.

***

Di rumah yang sepi ini, kedua insan masih terdiam menikmati langit sore dengan embusan angin yang menyapa wajah mereka.

Ini pertama kalinya Khai datang ke rumah Theo. Rumahnya sangat sepi, bahkan tidak ada pembantu yang mengurus rumah sebesar ini. Kata Theo, dia sendiri yang mengurus rumahnya. Walau sikapnya masih sama, kaku dan dingin, Khai akui jika dia merasa sangat beruntung bisa sedekat ini dengan Theo.

"Lo pernah ngajak Lucy main ke sini, gak The?" tanya Khai yang berusaha memecahkan sunyi di antara keduanya.

Pertanyaan Khai membuat Theo menoleh ke arah gadis itu. Lalu tersenyum dan menggeleng pelan. "Gue engga pernah ngajak, cuma dia pernah ke sini minta satu kelompok sama kita," jawab Theo.

Khai berdecih, "Gatel banget."

Sontak Theo tertawa seraya mengusap kepala Khai yang tampak sebal mendengar jawabannya. "Udah, jangan dipikirin lagi, ya?" Khai mengangguk pelan.

"Lo tahu, gak sih kenapa kita jadi pecah begini?" tanya Khai yang sedikit resah saat mengetahui jika Lucy ternyata memegang beberapa kunci kasus yang masih saja menggantung ini.

Theo tidak langsung menjawab. Dia menatap langit yang sudah bewarna jingga, warna yang ia percaya sebagai warna perpisahan. "Karena kita sama-sama melindungi apa yang berharga buat kita. Lo gitu juga, kan?"

Khai mengangguk. "Gue lakuin ini demi keluarga gue. Gue mau menghapus kutukan yang udah terlalu lama melekat di keluarga gue, The. Dan emang seharusnya virus kayak gitu harus dimusnahin, kan?"

"Gue cuma takut, kalau memang dugaan kita kalo Mr.Edgar memang pembunuh dan dia deket banget ke Lucy sama Ian, bisa aja mereka tertuduh gimana? Kalo nama kita kebawa-bawa gimana?" Theo mempertimbangkan kedekatakannya dengan kedua anggotanya yang ternyata dekat dengan Mr.Edgar.

"Ian itu juga sama jahatnya," ungkap Khai yang sudah tahu alibi Ian sejak awal.

"Berarti wajar, kan gue ngelakuin ini, Khai?" tanya Theo seraya melihat mata Khai. Mencari ketulusan yang Khai miliki terhadap dirinya.

Khai tersenyum dan mengangguk pelan. "Gue percaya sama lo," ucapnya sambil memeluk leher Theo.

"Gue sayang sama lo, Khai." 

Worst Class Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang