Kamu Pembunuhnya? #2

10 2 0
                                    

“Lucy, kali ini gue minta tolong lo jangan bercanda dulu, ya?” Theo yang melihat wajah santai Lucy saat mengetahui pelaku dari penyembunyian laptop itu adalah Gavin, mencoba untuk tidak gegabah dan lansung percaya begitu saja.

Lucy hanya menghela napas saja seraya merotasikan bola matanya malas. Entah kapan dia bisa diakui di sekolah ini. Dan Lucy tidak punya banyak energi untuk menjelaskan.  “Udah lo periksa ulang? Bisa lo tunjukin kita biar kesannya engga saling tuduh?” tanya Ian. Hanya dua laki-laki itu yang mampu berbicara kali ini.

Serena masih terdiam akibat dirinya yang sudah terlanjur syok. Selama ini Gavin di matanya adalah pria baik. Malahan, jauh lebih baik dari pada kekasihnya sendiri. Serena benar-benar mengakui itu. Tapi, dia jadi kembali berpikir ulang, apakah dia sudah salah menilai Gavin selama ini?

Kata benar-benar mengenal seseeorang, nyatanya adalah hal yang tidak akan kunjung selesai.

Sedangkan Khai, dia memilih untuk diam walau awalnya dia juga ikut terkejut. Khai hanya menunggu penjelasan Lucy dan Gavin usai, lalu menarik kesimpulan, apa yang harus mereka lakukan setelah ini. Makin lama, citra kelompok belajar terpintar ini seperti kumpulan pembunuh. Kecuali Lucy dan Serena. Mereka bnar-benar payah di mata Khai.

Gavin yang tertuduh, dia hanya membeku. Dan mulai memikirkan banyak kemungkinan apa yang akan terjadi setelah semuanya sudah keluar dari ruangan ini. Yang jelas, ada 90% kemungkinan buruk menimpanya.

“Oke, gue udah kotak-katik dari mulai email yang masuk dan apa mungkin yang ambil laptop ini itu pak email lain di  laptop Mr. Edgar, juga apa aja yang udah dibuka atau diubah, semua itu udah dimusnahin. Gue rasa, laptop itu juga udah dibobol sebelum dipake secara langsung alias dibopong pulang.”

“Nah! Dari situ gue celah gue masuk. Ternyata laptop itu pertama pernah disambungin ke Bluetooth, dan GPS-nya nyala. Bluetoothnya gue coba aktifin lagi untuk disambungin satu-satu dan semua sinyalnya jelek kecuali satu. Usernya Blue Jack. Siapa yang engga kenal Blue Jack, sih di sini? Parah kalo engga tahu karena salah satu dari kita member gamer mereka.”

Lucy menatap semuanya malas. Karena terlihat dari raut wajah mereka yang tidak mengenal Blue Jack. Patut jika sejauh ini Gavin tampak santai. Tapi penilaian Gavin tidak untuk Lucy. “Orang kaya, kok nolep.” Kali ini tidak ada yang bisa membantah. Walau terasa sulit ditelan, Lucy tidak salah.

“Blue Jack itu salah satu tim gamer Indonesia. Kebetulan gue join juga. Lo kenal  Sessy, kan Bang Gavin? Kenal, dong masa engga. Gue gabung gabung di sana sebagai member anonym marksman di Sessy. Makanya gue kenal Black Jack.” Mereka hanya mengangguk mengerti karena sejauh ini mereka tidak mengerti perihal dunia game.

“Ohh eh? KOK LO ENGGA PERNAH KASIH TAU GUE LO ITU GAMER?!” pekik Serena yang merasa terkhianati karena tidak tahu jika teman dekatnya itu adalah seorang yang memiliki profesi gamer.

“Gue kasih tahu juga, lo nggak bakal ngerti. Oke, back to topic. Gue hanya sekedar mencari laptopnya itu di mana. Kita engga bisa nuduh Gavin gitu aja. Sekarang, dari pada masalah makin larut, Gavin. Mending lo jelasin ke kita. Kita bisa bantu.”

“Gue engga bisa,” sahut Ian. Lucy sontak menoleh, menatap Ian tidak bersahabat. Sepertinya laki-laki itu saat pembagian nurani, dia sedang tertidur atau sejak masih menjadi ruh, kerjanya Ian hanya belajar dengan wajah masamnya itu.

“Lo engga bisa pake perasaan kalo emang lo mau nanganin kasus ini, lo harus berpikir logis,” sambung Ian.

“Lagian emang mungkin Gavin pembunuhnya? Kita aja engga tahu siapa yang punya jejak kaki yang engga terdeteksi,”sahut Serena.

“Ian, Gavin juga temen lo! Jangan karena ... arrghhh!” Lucy jadi frustasi sendiri. Di sisi lain dia harus menyimpan rahasia Ian juga.

“Tenang, sekarang kita dengerin penjelasan Gavin dulu,” ucap Theo mengambil alih diskusi. Semuanya akhirnya mulai tenang dan memusatkan perhatian mereka pada Gavin. Menunggu lelaki itu menjelaskan.

“Gu-gue pertama mau minta maaf sama kalian. Maaf udah gabung ke sini buat gue sembunyi dari masalah gue. Sebenarnya gue terlalu takut kasih tahu, tapi keadaan yang ngedesak. Di perangkingan tahun ini, gue bener-bener anjlok dan terpaksa gue harus bawa laptop Mr. Edgar buat tahu  apa aja ujian selanjutnya. Sekali lagi, gue minta maaf.”

“Lo laki-laki, lo jauh lebih paham perihal tanggung jawab, right?” Saat Khai sudah membuka suara, kini tidak ada yang terlihat ingin menyela.

Gavin terdiam. Dia tahu Khai merasa semua keadaan ini tidak adil untuknya. Ya, pasti dia mengalami banyak penekanan saat dirinya harus terjun tanpa tahu kapan semua ini akan selesai.

Sorry, Gavin. Gue engga percaya hati nurani. Seribu kemungkinan bisa terjadi di sini. Engga ada yang tahu. Ketimbang kita bantu buat nutupin masalah lo dan jerumusin gue, Theo, Ian. Mempersulit Lucy, bikin bingung Serena, gue ada satu saran buat lo.”

“Apa, Khai?” Walau ragu, Gavin tidak tahu apa dia sanggup nantinya.

“Ikut kita jadi saksi sidang Mr. Edgar minggu lusa nanti. Siap gak siap, gue pastiin lo keluar dari Ukiyo. Entah jadi pencuri soal atau pembunuh, this is a consequence.” Khai langsung berdiri dari tempat duduknya dan beranjak pergi meninggalkan ruangan.

Khai memang tidak banyak bicara, tapi dia langsung menyelesaikan ini dalam untaian beberapa kalimat saja.

***

Sebelum diskusi dimulai

“Ngapain lo nyari soal beasiswa Ukiyo?” Setelah menyeret Lucy ke tempat yang lebih amat untuk berbicara perihal yang menurut Ian, untuk saat ini jangan terlalu tersebar.

“Semalem kepikiran aja,” jawab Lucy seadanya. Belum saatnya Ian tahu jika ini adalah tugas yang Mr. Edgar berikan. Lucy sudah menyadari jika saat ini dia dijadikan mata oleh Mr. Edgar selama beliau berada di penjara. Merepotkan sekali.

“Lo tahu sendiri gue mau terjun ke masalah ini karena pertahanin beasiswa. Gue semalem baca-baca artikel soal beasiswa di Ukiyo dan itu sudah banget. Dan terpaksa gue nge-hack.” Lucy sudah bersumpah tidak akan menggunakan keahliannya untuk hal yang tidak baik dan sekedar kepentingan sepele saja. Tapi kali ini, Lucy benar-benar membutuhkannya.

“Lo dapet apa?” tanya Ian yang menatap intens Lucy. Pria itu duduk di hadapan Lucy dengan siku yang ia sanggah dengan pahanya, menyatukan kedua tangannya dan sedikit mendongak unttuk menatap Lucy.

Kali ini Ian benar-benar tampak menyeramkan. Bukan keren.

“Ternyata, soal beasiswa ini udah booming dari beberapa tahun yang lalu. Dan yang ada di berita publik itu beda. Bisa dibilang, gue angkatan pertama beasiswa, Yan. Tadi gue kalo engga salah denger, lo sebut kakak lo. Emang kakak lo yang ngajuin progam ini?”

Ian mengangguk dua kali. “Dia juga penyuntik dana dua tahun yang lalu. Sebelum ditemuin meninggal di rumahnya. Mr. Jacob salah satunya. Dan ada beberapa lagi yang harus gue bongkar. Untuk saat ini, itu dulu. Kita enggak punya banyak waktu ngomong di sini. Nanti pulang bareng gue.”

Seorang Ian yang tampak begitu fokus saja, ternyata memiliki hal kelam yang harus ia bongkar. Intinya, itulah kepentingannya yang tidak Lucy ketahui, apa tujuan yang akan Ian ambil.

Lalu, kepentingan apa yang anggota kelompoknya pikirkan hingga mau terjun ke masalah ini?

Worst Class Donde viven las historias. Descúbrelo ahora