05 : Gangguan Pertama

46 10 1
                                    

Tanpa pergerakan apa-apa, satu minggu berlalu seolah kebohongan itu adalah hal yang nyata. Sampai hari ini, Aira Mandala Keins masih menyandang status sebagai pacar dari Si tukang tawuran, Saka Sagara. Tentunya status itu adalah hasil pemberian dirinya sendiri, karena sampai sekarang pun Saka tak bisa dihubungi untuk diajak kooperasi.

Aira pun ketar-ketir, galau setiap malam. Yang ada dalam bayangannya selalu Saka yang tiba-tiba datang ke sekolah dan menampik isu tentang dirinya di depan siswa-siswi lain. Kalau itu sampai terjadi, maka Aira harus sudah bersiap mencari alasan pindah sekolah untuk dikatakan pada ibunya.

"Sebenernya Saka itu masih siswa sini gak, sih?" tanya Aira setelah ia meletakkan tasnya, di dalam ruangan kelas yang hanya ada dirinya dan Sephia. "Gue udah chat dia berulang kali tapi gak di bales. Dilihat aja enggak! Padahal gue yakin kekirim."

Sephia yang setengah tidak peduli, hanya merespons dengan, "Lagi sibuk kali dia ...."

"Sibuk ngapain?"

"Tawuran," jawab Sephia, membuat Aira jadi merinding, "atau mungkin mempersiapkan cara buat bikin elo malu semalu-malunya di depan sekolah."

Yang satu itu malah semakin membuat merinding.

"Sephia jangan ngomong gitu, dong! Lagian pacar lo 'kan kenalannya Saka, elo gak nanya sama dia gitu kira-kira gimana respons Saka setelah denger berita dia punya pacar?"

"Gak ... Yunan gak gue minta buat ngapa-ngapain," balas Sephia, "dan lagi, gue sama Yunan gak pacaran!"

Sephia terlihat tidak peduli dan hanya membaca buku-buku pekerjaan rumahnya-mengeceknya kembali. Berbeda dengan Aira yang kini merengut lesu di tempat duduknya, mengikuti Sephia yang duduk sejak dia datang.

Aira tidak menginginkan respons pasif seperti itu, tetapi wajar saja jika Sephia bersikap demikian sebab hidup gadis itu bukan harus selalu tentang membantu Aira. Ada kalahnya Aira harus menyelesaikan urusannya tanpa bantuan dari sang sahabat, tapi tentu itu bukan hal yang mudah mengingat selama di Jakarta, Sephia-lah yang paling banyak membantunya untuk beradaptasi dan bersikap.

Sephia melirik Aira yang hanya bertopang dagu dengan wajah masam di tempat duduknya, lalu tak lama ia berkata, "Nyokap lo gimana?" tanyanya pada Aira.

"Nyokap gue? Baik ...."

Sephia mendesah lelah. "Bukan kabarnya yang gue tanyain, bego! Udah tau belum dia soal elo punya pacar?"

Ditanyai seperti itu, Aira tak kunjung berkata-kata. Dirinya hanya mengalihkan muka sembari menghela napas berat. "Untungnya, nyokap gue belum tau," jawab Aira dengan suara pelan, "dan gue selalu berusaha untuk nahan supaya hal ini gak sampai ke telinga nyokap."

Sephia hanya mengangguk-angguk; mengerti perasaan Aira. "I see ... bisa bahaya juga kalau nyokap lo tau. Bisa diasep hidup-hidup elo nanti!"


Sephia hanya bercanda, Aira tahu itu. Namun, entah mengapa seperti itu akan terjadi sungguhan, apalagi Aira mengerti dengan baik seperti apa ibunya dalam menyikapi hal semacam ini. Karena itu juga menjadi tekanan lain untuk Aira, rasanya ingin marah saja pada sosok Saka Sagara yang sampai tujuh hari berlalu tapi sama sekali tidak membaca pesannya.

"Sebenernya si Saka itu ngapain deh, sampe bisa terkenal begini?" ujar Aira. Gadis itu jadi kesal kalau mengingat tentang betapa dinginnya sikap Saka terhadapnya. "Padahal omongan gue itu harusnya bisa dibiarin aja, tapi malah jadi besar begini sampai satu sekolah ngira gue pacar Saka beneran. Gue yakin masalahnya bukan di gue, tapi di Saka dan popularitasnya yang hampir nandingin artis Korea!"

Buk!

"Aw ...!" Aira meringis kesakitan ketika Sephia memukul pelan kepalanya dengan buku bendahara miliknya. Meski pelan, dipukul dengan buku folio seperti itu tetap saja sakit. "Kenapa gue dipukul, Phi?"

"Habisnya gue gemes sama kebodohan lo!"

"What ...?"

"Jangan nyalahin kak Saka kalau sebenernya yang salah itu elo! Kak Saka memang populer, tapi kalau mulut nyablak lo itu gak asal bunyi, masalahnya gak bakal jadi besar begini!" Aira tidak membalas, hanya mengalihkan muka dengan raut kesal tapi tidak bisa berbuat apa-apa. "Makanya jangan sembarangan ngomong. Siapa yang tau kalau orang yang lo ucap namanya itu anak artis, atau bahkan anaknya presiden?"

"Iya ... iya ... salah gue."

Aira dan Sephia berhenti berbicara; keduanya sibuk dengan masing-masing. Lalu beberapa saat setelahnya, kelas mulai ramai; anak-anak mulai berdatangan dan terlihatlah sosok Alfian Sukma yang baru saja masuk ke kelas dan sempat bertukar pandang dengan Aira.

"Pagi, Ai ...," sapanya sembari tersenyum, lalu pergi menuju bangkunya.

Aira tentu saja terheran-heran. Biasanya Alfin tak tenang sehari saja kalau tak menggoda Aira, tapi barusan dia hanya senyum tipis lalu pergi begitu saja?

"Alfian mental tempe! Kasian banget gak bisa godain Aira lagi!" Sephia yang melihatnya pun lantas mencibir demikian, sementara Alfin tidak membantah atau berkata yang lainnya. "Anyway, hari ini jadwal bayar uang kas buat minggu ini. Jangan pada amnesia dadakan, ya, para penghuni kelas yang durhaka!" lanjutnya dengan suara lebih lantang setelah dirasa penghuni kelas sudah lengkap.

"KIW MANA NIH YANG KATANYA PACAR SI SAKA SAGARA!?"

Satu kelas tersentak kaget, ketika dikala hening mulai mendominasi suasana, dan tiba-tiba saja seseorang datang sembari memukul pintu dan berteriak ke dalam kelas. Seluruh anak kompak diam, mencerna situasi. Lalu tak lama mereka mulai melirik ke arah Aira secara serempak, bak lampu sorot yang menunjukkan di mana si pelaku berada.

Aira hanya diam kebingungan, ada sedikit gurat cemas di wajahnya ketika siswi yang mencarinya itu kini perlahan mendekatinya. Bukan tanpa alasan, Aira tentunya tahu siapa sosok yang berjalan dengan lagaknya ini.

Ibarat kata, kalau sekolah ini adalah Pantai Selatan, maka Deandra Lexa adalah Roro Kidul-nya.

"So, she's the girl ... anak baru yang berhasil meluluhkan Saka Sagara," ujar gadis yang biasa disapa Lexa itu, sambil memajukan tubuhnya agar Aira tersudut. "Aira ...?"

"I-iya Kak..."

"Bagi tutorial dapetin Saka dong," kata Lexa, membuat Aira melotot bingung.

Disaat seperti ini Aira ingin bersumpah; di kehidupan selanjutnya nanti, dia berjanji tidak akan sembarang memakai nama orang apalagi sampai mengaku-ngaku sebagai kekasihnya.

"Tutorial, Kak?"

"Iya," jawab Lexa, singkat dan cepat, "katanya lo baru dua bulan atau berapa bulan di sini, ya? Tapi bisa nyalip gue yang tiga tahun sekolah bareng Saka."

Aira menelan ludah. Baru ia tangkap situasi bahwa sudah pasti gadis di hadapannya ini adalah satu dari sekian banyak orang yang menyukai Saka Sagara. Ah, Aira jadi penasaran setampan apa sosok Saka itu sampai gadis secantik Lexa bisa menyukainya selama ia dan Saka bersekolah.

Tapi bukan itu masalahnya. Di sini Aira bukanlah pacar Saka, jadi dia sudah pasti kebingungan mencari jawaban. Mau jawab apa sementara Aira saja tak tahu seperti apa rupa seorang Saka Sagara?

Aira melirik ke sekitar, tidak ada yang tampak berniat untuk menolongnya. Baik Sephia, atau Harun ... bahkan Alfin dengan santainya nonton dari mejanya sambil ngemil santai gorengan milik siswa lain.

"Ada apa ini rame-rame!?"

Untunglah tak berselang lama, penyelamat datang. Sosok guru olahraga yang akan mengajar di jam pertama, datang dengan galaknya dan membubarkan anak-anak yang sempat menonton.


Dialah ... Jaka Soni Sudarwan, atau yang kerap dipanggil dengan pak Jakson.

"Aduh, Lexa ... kamu ngelabrak anak lagi? Kamu ini ... semua anak kok dilabrak?!" Jakson berjalan masuk sembari mencibir Lexa, sementara gadis itu menyikapi dengan santai.

"Saya gak ngelabrak, Pak! Orang nanya doang ...," begitulah sanggahnya enteng.

"Udah, pulang ke kelasmu. Saya mau ngajar!" Karena gusuran paksa dari Jakson, anak-anak berangsur bubar, begitu pula dengan Lexa dan geng yang dibawanya.

Saat itulah, Aira merasa amat bersyukur. Dia belum pernah merasa sesenang ini hanya karena kehadiran guru ke kelas.

"Ya Tuhan, mau mleyot~"


Bersambung.

THE VIVID LINE OF YOU : Park SeonghwaWhere stories live. Discover now