30 : Plester Untuk Saka

62 11 0
                                    

Aira merasa tidak nyaman karena terus memikirkan Saka.

Selama seminggu mereka tidak saling berkomunikasi, dia memang terus kepikiran tentang ucapannya terakhir kali pada Saka—yang menjadi alasan mereka saling diam seperti pasangan yang sedang bersitegang sungguhan.

Tapi malam ini benar-benar.

“Apa gue harus hubungin Saka duluan?” tanya Aira dengan bimbang, memegangi ponselnya sejak tadi tanpa tahu apa yang harus dia lakukan. “Gue harus minta maaf duluan soal omongan gue seminggu lalu. Gue udah berlebihan, pasti karena gue lagi haid jadi sensian. Tapi kenapa harus sama Saka …? Kenapa harus dia yang gue jadiin pelampiasan?”

Aira sangat gundah, merasa tak karuan.

“Saka pasti mikir gue ini cewe aneh. Udah jelas-jelas cuma pacar bohongan, tapi lagak ngambeknya udah kayak pacar beneran. Kenapa gue harus ngomong begitu, sih, kemaren? Bikin malu aja!”

Aira berguling di kasurnya. Dia ingin menghubungi Saka, tapi takut menghadapi rasa malunya sendiri. Harusnya dia mengerti jika itu adalah satu-satunya konsekuensi yang menunggu, tapi rasanya seperti dia tak kuasa—dan hal seperti ini sudah terjadi sejak malam di mana Aira melakukan hal memalukan itu di siang harinya.

Rasanya melelahkan terus merasa seperti ini selama semingguan, tapi rasa malu selalu menyendat langkah Aira. Lagi-lagi membawanya membuka tirai kamarnya dan menatap langit malam dan lampu-lampu perumahan dengan isi kepala yang tak karuan. Sampai ponselnya berdering lebih dulu dan membuatnya hampir melonjak kaget.

Bukan lelucon semata, Aira hampir melonjak karena yang menelponnya saat ini adalah Saka.

“Sa-Saka!? SERIUSAN?”

Aira hampir tidak percaya. Setelah satu minggu tidak melihat nama itu terpampang di layar ponselnya, akhirnya malam ini Saka benar-benar menghubunginya—lebih dahulu!

Aira sejenak menahan diri; menetralkan napasnya yang sempat memburu. Dia menyiapkan mental lebih dulu sebelum menerima panggilan itu dengan suara lembut dan berusaha bersikap biasa saja.

“Halo, Saka?”

Halo, Aira!

Tapi itu bukan suara Saka.

Halo! Ini Aji, temennya bang Saka.

“O-oh … iya. Kok elo nelpon pake HP-nya Saka. Saka-nya man—”

Kata bang Saka di sini deket rumah lo, jadi gue suruh nelpon elo. Tolong lo dateng ke minimarket depan Jalan Kemunging, dong! Bang Saka habis dihajar sama anak sekolah lain, nih! Bonyok di depan minimarket.”

“H-HAH!? KOK BISAAAAA …?”

Gue juga nggak tau, gue juga kaget. Lo bisa ke sini, nggak, bantu gue nolongin bang Saka?

Aira melesat tanpa pikir panjang menuju tempat yang dikatakan Aji.

Dengan masih memakai setelan baju tidur bermotif kelinci merah muda dan kardigan abu-abu panjangnya, Aira berlari menyusuri jalanan komplek sampai dia tiba di tempat yang dikatakan Aji.

Minimarket di depan Jalan Kemuning, Aira langsung mencari sosok Saka di depan toko yang sepi itu dan mendapati seorang lelaki terduduk dengan kepala tertutup tudung jaket hitamnya. Dari jaketnya saja Aira sudah tahu jika itu adalah Saka.

Segera Aira menyeberangi jalanan, berlari secepat mungkin menuju Saka.

“Saka!”

Saka, pemuda itu mengangkat kepala saat namanya disebut. Matanya langsung melebar melihat kedatangan Aira, yang saat ini berdiri tepat di hadapannya—dengan tangan mengepal dan gemetaran, serta kening yang mengernyit tajam.

Untuk sejenak, Saka merasa tenang dan senang. Dia tersenyum.

“Hai, Ai,” ujarnya, menyapa.

“Bisa-bisanya!” Tapi reaksinya berbanding terbalik dengan Aira yang tampak menahan kesal. “Bisa-bisanya muka lo dibikin begini?” tambah gadis itu, menatap nanar wajah Saka yang terlihat memar di bagian sudut bibir. Pipi atas sebelah kirinya tampak bengkak, dan mata kanannya sedikit lebam. Aira makin merasa kasihan saat melihat mata kanan Saka yang terlihat memerah, pasti efek dari luka lebamnya.

Tak tahan, Aira sekonyong-konyong menangkup wajah Saka dengan kedua tangannya. “Ya ampun, jahat! Jahat banget!”

“Ah ….”

Saka merasa sedang dimarahi.

“Jahat banget yang udah mukul elo sampe begini! Jahat banget …!”

“Eh, Ai … ja-jangan nangis!”

“Hue~”

Bukannya berhenti, tangis Aira malah semakin keras dan Saka benar-benar merasa buruk saat melihat gadis itu meneteskan air mata untuknya yang sudah berbohong itu.

Ya, ide cemerlang dari Wino benar-benar dipakai. Sayangnya, ide keji tanpa perasaan milik Yasa juga dipakai. Saka harus menerima beberapa pukulan dari teman-temannya hanya agar dia benar-benar terlihat seperti orang sakit.

Rasanya benar-benar sakit, Saka masih bisa menahannya, tapi dia tidak menyangka jika akan lebih sakit rasanya melihat Aira yang menangisi pembohong sepertinya. Sehingga saat ini Saka terlihat bingung dan tidak tahu harus melakukan apa untuk membuat Aira berhenti menangis.

“Kenapa elo dipukulin begini?” tanya Aira, sambil menangis.

“E … gak tau.”

“Kok gak tau!? Elo ngajak berantem?”

“Enggak! Mereka aja yang lagi pengen mukulin gue.”

“Nggak masuk akal banget! Mukulin orang kok kayak orang ngidam seblak, modal lagi pengen?”

“Udah … jangan nangis,” ucap Saka, berusaha menenangkan tapi dia saja tidak berani menyentuh Aira.

“Kasian banget, muka lo yang ganteng jadi bonyok.”

Saka terdiam sejenak.

“Emang gue ganteng, ya?”

“Menurut lo?”

“Kakak gue bilang, sih, gue mirip monyet.”

“Parah banget kakak lo.” Aira perlahan berhenti menangis, tapi dia masih merasa kasihan melihat Saka. Alhasil, gadis itu masuk ke minimarket untuk membeli plester, air mineral dan tisu basah.

“Lo beli apa?” tanya Saka begitu Aira kembali.

“Pasti sakit, ya? Kalau dikompres pake ini, mendingan, nggak?” tanya Aira, memberi air mineral dingin pada Saka.

“Kayaknya.” Saka menerima itu dan menempelkan pada luka lebamnya. Rasanya lebih baik, sebab sejak siang tadi, teman-temannya melarang Saka melakukan sesuatu pada lukanya agar terlihat lebih natural dan segar. “Makasih, ya.”

Aira tidak membalas. Gadis itu masih sedikit sesegukan, sambil membuka tisu basah dan Saka memperhatikannya.

“Gue nggak tau tisu basah bahaya atau enggak kalau dipake buat basuh luka, tapi sejak ini tisu basah buat bayi, jadi kayaknya lebih suci daripada buku catetan pahala gue,” ujar Aira, entah berniat bercanda atau tidak—dia membuat Saka tersenyum. Sampai gadis itu berdiri di hadapan Saka dan menyingkap rambutnya yang sedikit menutupi dahi. Saka tertegun.

“Tahan dikit, ya?” Gadis itu meminta izin sebelum dia mengusap wajah Saka, terutama pada bagian lebam dan lukanya dengan tisu basah.

Dia meminta Saka untuk menahan sakitnya sejenak, tapi Saka bahkan sama sekali tidak merasa demikian sejak fokus mata dan otaknya hanya tertuju pada sosok Aira di hadapan muka. Sangat dekat, sampai sang adam bisa merasakan kulit wajahnya tersapu napas Aira yang berembus hangat.

Setelah selesai membasuh luka, Aira menempelkan plester di bagian yang terluka. “Kalau lebamnya dikompres aja lagi di rumah nanti. Atau elo mau ke dokter?”

“Emang masih ada yang buka?”

“Rumah sakit ‘kan konsep kerjanya nggak kayak koperasi sekolah, Saka, pasti buka 24 jam. Mau ke sana?”

“Enggak usah, nanti pasti sembuh kalau udah dikompres lagi. Makasih, ya.”

“Hm.” Aira melihat Saka secara diam-diam, pemuda itu terlihat sangat santai padahal baru saja dikeroyok. Sikap santai Saka membuatnya sekali lagi sadar jika pemuda itu benar-benar sosok yang susah untuk Aira terka. Aira jadi teringat dengan perkataannya seminggu lalu. “Oh iya, soal omongan gue minggu lalu.”

Saka langsung menatap Aira.

“Gue minta maaf ….”

“Untuk apa?”

Karena rasa cemas dan kasihan, Aira jadi bisa melawan rasa malunya untuk bicara. “Karen ague udah bersikap kelewatan.”

“Kelewatan? Dari mananya?” tanya Saka, bingung.

“Gue cemas sama lo kayak pacar beneran, dan ngomel sama lo kayak pacar beneran. Gue nggak seharusnya ngomong kayak kemaren, tapi gue kelepasan karena … mungkin karena gue lagi haid, jadi emosi gue gampang kesulut. Gue bener-bener minta maaf.”

Saka tidak langsung menjawab, membuat Aira melirik dengan raut cemas—takut jika Saka akan mengungkapkan isi hatinya yang sebenarnya. Isi hati yang Aira prediksi sendiri.

Tapi pemuda itu tersenyum pada Aira, matanya melukiskan rasa senang dan ucapannya membuat Aira terdiam. “Gue malah seneng kalau elo cemas sama gue.”

“H-hah?”

Ujian hati Aira memasuki babak baru.

THE VIVID LINE OF YOU : Park SeonghwaWhere stories live. Discover now