22 : Dari 1 Sentimeter

41 9 0
                                    

"Sa-"

"Diem sebentar," kata Saka yang dengan cepat menyela ucapan Aira. "Tolong diem sebentar."

Aira masih dengan wajah paniknya, membatu dalam rengkuhan tubuh Saka.

Sementara dia merasa sesuatu tak berhenti bergerak di sekitar pinggangnya, dan ketika Aira menengok, Saka sudah selesai melilitkan jaket trainingnya ke pinggang Aira.

"Gak nyaman banget, ya, diliatin orang?" tanya Saka setelah dia menjauh beberapa langkah ke belakang, dan seakan dia tahu apa masalah yang Aira hadapi beberapa detik lalu, dia berbicara sambil tertawa untuk mencairkan suasana. "Maaf kalau gue bergerak tiba-tiba dan bikin lo kaget."

"Iya ...," jawab Aira, tidak tahu harus menjawab apa.

Mungkin Aira memang tidak sadar kenapa orang-orang memperhatikan dia. Tapi sebagai pacar palsunya, Saka lumayan peka juga untuk menemukan alasan kenapa orang-orang memperhatikan Aira.

"Ternyata karena rok gue kependekan, ya ...?" tanya Aira, tertawa canggung.

Saka diam sebentar, berusaha tersenyum juga. "Kayaknya begitu." Setelah itu, Saka menggandeng tangan Aira, mengajak Aira jalan ke arah berseberangan. "Kita pulang aja," katanya.

"Kenapa?"

"Gue baru inget kalau ada janji."

"Oh, gitu."

Setelah itu, mereka tidak terlibat percakapan apa pun lagi. Keduanya betah bungkam, tapi tangan mereka masih menggandeng satu sama lain.

Setelah tiba di depan gerbang rumah Aira, Saka melepas genggamannya.

"Makasih," kata Saka.

"Iya, sama-sama," balas Aira kemudian. "Gue kira jogingnya bakalan lama."

"Bukannya lo sendiri yang bilang gak boleh lama-lama?"

Aira tertohok. "Iya juga, sih ...."

Saka tersenyum manis, lalu berkata, "Kalau mau lebih lama, boleh, kok." Membuat Aira langsung memasang raut kaget dan bingung.

"Hah?"

"Kalau mau kencan, bilang aja."

Aira makin mendelik, dia juga berusaha menahan malu. Kalau tidak dikendalikan, dia bisa saja salah tingkah di depan Saka.

Tapi yang namanya Saka itu memang luar biasa. Setelah dengan jelas bisa melihat wajah malu Aira, Saka malah menambahkan kata-katanya dengan, "Oh iya, kalau mau main ke rumah, bilang aja. Nanti gue kasih tau kakak gue kalau pacar gue mau main."

Aira benar-benar tidak tahan. Kalau dibiarkan sedikit lagi, sepertinya wajahnya bisa meledak karena saking panasnya.

"Udah, lo pulang aja," kata Aira, final.

"Oke. Dadah, Aira!" Saka berjalan menjauh sambil melambai lebar, ada beberapa saat sampai dia benar-benar jauh dan Aira langsung masuk ke rumah dengan langkah gusar.

Pembantunya saja sampai bingung dan kaget karena langkah Aira.

"Non Manda cepet banget keluarnya?" tanya pembantu Aira.

Aira masih berusaha meredam malu, jalan dengan bingung di ruang tamu. "Di luar panas banget. Tolong ambilin aku air dingin, Bu," pinta Aira ke pembantunya.

Perempuan yang udah berumur itu langsung melesat ke dapur, mengambil satu gelas air dingin untuk Aira. Tapi ketika air itu sudah di tangan Aira, bukannya diminum, gelas itu malah ditempelkan ke wajahnya.

"Itu jaketnya mas ganteng tadi, Non?" tanya sang pembantu, Aira langsung tersadar. Dia belum mengembalikan jaket Saka.

"Lah, iya juga! Kenapa gak gue balikin tadi!?" tanya dia ke dirinya sendiri.

"Kenapa dipake, Non? Dipakenya di situ pula."

"Tadi banyak orang ngeliatin rok pendek aku, makanya dia pinjemin."

"Baik banget, ya, pacarnya Non Manda. Ibu kira Non dipinjemin jaket karena Non manda tembus," perkataan pembantu Aira membuat gadis itu membeku sesaat, "ini 'kan udah akhir bulan, Non."


Aira langsung lari ke kamar. Dia buru-buru menuju kaca, berdiri di depannya dan menarik bagian belakang gaunnya.

Dan benar saja, ada noda merah di gaun belakang Aira dan itu lumayan banyak.

Aira melotot. "AAAAAAAAA!" teriaknya dengan kaget.

Dia tidak sadar kalau ini sudah masuk waktunya untuk datang bulan.

"Udah sejak kapan?" tanya Aira dengan panik, dia meraba-raba roknya dan nodanya masih basah. Berarti belum lama nodanya tembus ke baju yang Aira pakai.

"Pasti banyak yang ngeliatin tadi," Aira ambruk dengan pasrah. Saking malunya sampai tidak tahu lagi mau berbuat. Belum lagi sama satu hal penting yang hampir dia lupain.

"Berarti Saka juga liat dong? Saka liat??? SAKA LIAT??? MAKANYA SAKA MINJEMIN JAKETNYA. DIA MINJEMIN JAKETNYA KARENA GUE TEMBUS, BUKAN KARENA ROK GUE? GUE SALAH NGIRA ANJIR!!!"

Aira malu sekali, kendati begitu Aira malah tiba-tiba menarik jaket Saka dan mengusap wajahnya dengan bagian yang bersih. Jaket itu bertengger di hidung mancungnya dan membuat Aira terdiam.

"Jaket Saka wangi banget," kata Aira, sejenak terpesona dengan harum parfum di jaket Saka. "Tapi ... bau anyir hueeee~" Tapi sayang bau wanginya sudah bercampur dengan bau darah haid Aira.

Tiba-tiba saja, ponsel Aira berbunyi. Ia segera meraihnya dan mengangkat panggilan yang berasal dari Sephia.

"Halo, Ai."

"Hiks hiks, halo?"

"Lo ngapain? Haks hiks haks hiks kayak y/n?"

Nyali Aira menciut. Baru angkat telpon, sudah terkena omelan.

"Gak ada apa-apa. Mood gue lagi turun aja," jawab Aira, tanpa menceritakan hal memalukan yang baru terjadi padanya. "Ngapain telpon?"

"Mau nanyain yang tadi. Udah putus?"

Aira membatu. Dia baru ingat tujuan utamanya bertemu Saka, tapi yang dia lakukan dari tadi hanya bicara asal ceplos, membuat suasana canggung sama baper.

"Aira? Lo udas putus 'kan sama kak Saka?"


Aira masih diam, tiba-tiba saja jadi tremor seakan-akan dia baru melakukan kesalahan besar.

"Phii ...," kata Aira, dengan suara gugup.

"Ai ...?"

"Phi ...."

"IYA KENAPA? NGOMONG DONG!"

Sephia tidak tahan lagi.

"Phi, gue gak ngomong apa-apa sama Saka. Tadi gue malah nanyain keluarganya Saka ketimbang ngajak dia putus. Sephia, gue lupa ...."

Terpantau Sephia masih diam aja. Cukup lama ia terdiam sampai akhirnya berkata seperti ini ke Aira,

"Udahlah, susah memang kalau elo-nya udah bulol begini."

"Bulol apaan, Phi?"

"BUCIN TOLOL! DAH, BYE GUE MAU NGERUJAK AJA SAMA YUNAN!"

Setelah telepon dimatikan sepihak, Aira berdiam diri, merenung.

Minggu paginya yang damai berakhir tak karuan, semuanya bermula dari pemuda bernama Saka Banyu Sagara.

Jika saja Aira tidak ketemuan dengan Saka, dia tidak akan merasa malu karena tembus dan jadi tontonan orang banyak. Jika saja Aira tidak ketemuan dengan Saka, pasti suasana hatinya bakal lebih baik dari ini.

Dan jika saja Aira tidak ketemuan dengan Saka, dia pasti bisa dengan berani minta putus hubungan tanpa perlu dibuat baper dan berakhir lupa segalanya setelah melihat senyum manis Saka.

"Kok Phia malah marah-marah, sih? Gue kan beneran lupa ...," katanya dengan wajah memelas. "HUEEEE ...!"


Aira berguling di lantai, suaranya yang keras itu menarik atensi lain. Seseorang mengetuk pintu kamar Aira dan membuat gadis itu terdiam seketika.

"Aira."

Mata Aira membuka lebar. Itu bukan suara pembantunya, melainkan suara dari sosok yang paling ia takuti di dunia ini.

"I-iya, Ibu ...?" jawab Aira dengan nada ragu. Ia jadi cemas dan kaget, sebab ia tidak tahu kalau ibunya akan pulang secepat ini.

Apalagi saat wanita paruh baya itu bilang, "Keluar sini, Ibu mau ngomong."

Aira panik; buru-buru ia menarik jaket Saka dan membawanya masuk ke kamar mandi; menumpuknya dengan pakaian kotor lainnya. "Sebentar, Ibu, aku pake pembalut dulu!" ujar Aira, sekalian mengulur waktu.

Ketika ia sudah siap dan berganti baju, Aira membuka pintu; melihat pemandangan wajah dingin sang ibu yang membuatnya mati kutu seketika.

Wanita itu, Eliana Ningtyas, memasuki kamar putrinya sambil menyorot ke sekitar-seolah sedang mencari-cari adakah hal yang mencurigakan yang tidak ia sukai di kamar sang buah hati.

"Kamu habis pergi?" tanya Eliana, membuat Aira tegang seketika.

"Iya ...."

"Ke mana?"

"Ke tempat Sephia bentar, nanyain tugas," jawab Aira, berbohong.

Ucapan Aira membuat langkah Eliana terhenti, lalu menatap lurus ke mata Aira yang langsung dialihkan segera. "Kenapa gak pakai sopir? Apa pak Herman udah gak punya kerjaan lagi di sini? Perlu pak Herman Ibu pecat aja?"

"Jangan, Ibu ...!" Aira mendesah berat, ini adalah salah satu hal yang ia benci ketika sedang bermain kata dengan ibunya. "Tadi 'kan cuma sebentar, jadi gak enak kalau pak Herman bolak-balik. Lagian rumah Aira sama Sephia 'kan gak jauh."

"Kenapa gak lewat pesan aja? HP kamu hilang? Ada yang nyuri?"

"Enggak ... cuma tugas sekolah ya itu praktik dan gak enak kalau diomonginnya lewat HP doang, jadi Aira ke sana langsung."

"Kenapa gak lewat panggilan video?"

Aira menatap nanar ibunya. Ada saja hal yang bisa dikatakan Elina untuk menyanggah alasan Aira.

"Gak enak aja, Ibu ...."

Eliana diam lama, memperhatikan wajah Aira. Ia sedang mendeteksi kebohongan, tapi tiba-tiba dia bertanya sesuatu yang membuat Aira hampir terpancing dengan ekspresinya.

"Kamu gak ketemuan sama pacarmu, kan?"

Aira mendelik tapi segera ia kembali bersikap tenang.

"G-gak punya ...."

"Bagus."

Inilah salah satu alasan mengapa Aira ingin segera mengakhiri hubungan sandiwaranya dengan Saka; sebab ibunya yang memberi aturan ketat untuk tidak berpacaran dengan siapapun. Aira jadi was-was jika saja suatu saat nanti Eliana mengetahui hubungannya dan Saka, apalagi dengan popularitas Saka yang dalam semalam melejitkan nama Aira.

"Dandan yang cantik, Ibu mau ajak pergi."

Belum sempat pergi dari kamar Aira, Eliana berkata demikian, membuat Aira terkejut dan hampir senang. "Pergi? Ke mana?"

"Ketemu sama anak temen Ibu."

Hampir senang sampai kelanjutannya membuat Aira menyimpan kembali senyumnya. Lagi-lagi Elina membahas anak temannya yang sudah lama ingin ia kenalkan pada Aira.

"Anak bos Ibu ...?"

"Siapapun itu, yang penting kamu dandan yang cantik. Kita mau ketemu orang besar ini ...."

Setelah itu, Elina meninggalkan kamar Aira; memberi waktu anak gadisnya untuk bersiap.

Aira hanya menghela napas lalu bergegas mempersiapkan diri. Ia juga lumayan penasaran dengan anak teman ibunya yang sudah lama ingin dikenalkan padanya itu.

Tanpa ia tahu itu adalah titik yang akan membawa warna baru dalam hidupnya. 


THE VIVID LINE OF YOU : Park SeonghwaWhere stories live. Discover now