17 : Dilabrak Saka

42 8 0
                                    

Tiga hari setelahnya, Aira berangkat ke sekolah dengan kehebohan sebagai sambutan.

"Aira ...!" teriak Gina dari kejauhan. Aira tak tahu dari mana Gina dapat kekuatan, sehingga larinya jadi secepat cheetah hanya untuk mengajak Aira lari dari depan tangga menuju lantai tiga; tempat kelas para senior berada.

Aira tentu saja kebingungan. Dia baru datang dan langsung diajak olahraga menaiki dua lantai.

Tapi begitu sampai di lantai tiga, Aira tahu alasan Gina seheboh ini.

"Anjir! Kak Saka!"


"Pacarnya si Aira Aira itu bukan, sih?"


"Eh, tapi kok mepet cewe lain?"

Aira mendelik, buru-buru memecah kerumunan untuk melihat apa yang terjadi di depan sana.


Begitu melihat, Aira melongo saking kagetnya.

Di depan sana ada Saka, berdiri tegap sementara di depannya ada empat siswi yang waktu itu datang mengganggu Aira.

Sekarang, Saka ada di depan ketua geng itu. Gadis dengan mulut paling berani waktu itu, kini tampak gemetar bersandar pada tembok dengan wajahnya yang dekat dengan wajah lawan.

Aira benar-benar bingung; ia berusaha mencerna apa yang terjadi dan apa yang Saka lakukan di hari pertamanya masuk sekolah setelah absen satu minggu lebih.

"Kemaren lo pakai raut muka kayak gini buat gangguin cewe gue?"

Aira mendelik sekali lagi. Dia tak percaya Saka bertanya seperti itu pada orang-orang yang mengganggunya kemarin. Dari mana Saka tahu sedangkan Alfin bahkan tak Aira beri tahu.

Adegan yang terjadi di depannya kini makin terlihat seperti sebuah drama.

"Coba kalian ngomong lagi yang jelas apa yang kalian omongin sama cewe gue kemarin, gak boleh ada bagian yang diubah, harus sama!" Keempat gadis itu tampak terpojokkan, sementara mereka juga menahan malu sebab ada banyak orang yang menonton mereka. "Cepet, gue mau denger."

"Sa-Saka ... gue-"

"Yaelah, takut gini. Gitu katanya kemaren garang banget pas ngejekin cewe gue, beneran gak, sih, informasinya?" Saka mengalihkan tatapannya dengan malas, dia melirik sosok Sandrio yang digadang sebagai informannya untuk menanyakan keaslian informasi yang dia berikan. Pemuda dengan pipi tirus itu hanya mengangguk, tapi kini Saka malah terkejut dan bingung ketika ia sadar akan sekelilingnya. "Ini kenapa pada nontonin?" tanya dia dengan raut tak habis pikir.

Saka merasa dirinya tak sedang membuka pameran. Kenapa harus sebanyak ini yang menonton?

Tapi pertanyaan Saka tadi malah berbalik membuat siswa-siswa yang menonton jadi bingung. Seperti jargon dari acara komedi di TV; pelakonnya bingung, penontonnya lebih bingung.

Akhirnya Saka berhenti menatap empat gadis itu dengan mata mengintimidasinya. Setelahnya, dia menghela napas sambil berkacak pinggang. "Males, ih, banyak yang nonton," kata Saka dengan muka kesal dan tak lagi berselera.

"Malah asik kalau banyak yang nonton, Bang!" sahut Sandrio.

Tapi tetap saja, Saka malas kalau ditonton orang banyak, padahal niatnya hanya menegur empat gadis yang sudah berbicara yang tidak-tidak pada Aira. Tapi karena sudah ramai seperti ini, sebaiknya Saka pergi.

"Gue alergi keramaian," katanya sambil berjalan meninggalkan kerumunan manusia itu.

Tapi sebelum pergi, Saka sempat berhenti. "Gue lupa kasih tau lagi. Ini terakhir kali gue bilangin langsung, ya ... gak usah sibuk ngurusin gue sama Aira," katanya sambil menengok ke tempat gadis-gadis itu berada. Wajah dingin mengintimidasi miliknya kembali seolah empat gadis itu belum diizinkan untuk tenang.

"Leave her alone then I'll leave you wisely."


Setelah itu, Saka benar-benar pergi. Diikuti Sandrio dan Wisnu di belakangnya.

Sementara Aira masih ada di tempat yang sama, berada di antara kerumunan itu tanpa Saka sadari kehadirannya. Dia menatap punggung Saka yang berjalan menjauhi titiknya, dengan tangan yang menggenggam erat kotak susu stroberi seolah akan menghancurkannya.

"Ai, liat cowo lo tadi? Romantis banget, anjir!" kata Gina dengan heboh; membuyarkan fokus Aira. Kerumunan mulai bubar, dan herannya tak ada yang sadar kalau Aira ada di antara mereka.

Kecuali satu presensi.

Saat pandangannya beralih, Aira bertatap mata sama Lexa di seberang kerumunan. Gadis dengan tatapan dingin itu terus memperhatikan Aira, tanpa suara atau raut muka yang bisa Aira artikan apa maksudnya.

Karena cuma seperti itu, Aira tak berpikir itu hal yang serius dan dia putar balik. "Gue duluan," pamitnya pada Gina. Aira berjalan menjauhi Gina yang hendak kembali, dan syukurlah Gina tak ngotot untuk ikut ke mana ia pergi.

Sebab saat ini Aira bertujuan untuk menemui Saka, dan membicarakan atas tindakan pemuda itu tadi.

Aira tidak marah, tidak juga merasa terbantu. Tapi kalau Saka sampai melakukan itu ... rasanya Aira yang bukan pacar sungguhannya ini jadi terbebani.

Tiba-tiba, Aira berhenti.

Entah apa alasannya, dia tiba-tiba teringat akan bagaimana kerennya Saka tadi. Dengan sorot yang dingin, bahasa tubuh yang jelas, dia sedang memperingati.

Aira termangu untuk beberapa saat, dan satu tempat di hatinya tiba-tiba terasa hangat.

Rasanya seperti sudah lama sekali Aira tak mendengar suara Saka, atau melihat wajahnya. Aira tak menampik, dia merasa lega karena bisa melihat Saka di sekolah hari ini dan sempat ia berpikir akhirnya hari ini ia bisa memberikan kotak-kotak susu yang sudah Aira kumpulkan seminggu lebih di lokernya.

"Eits!" Aira segera sadar, kepalanya digelengkan beberapa kali. "Gue gak punya hak buat baper sama Saka!" ungkapnya sebelum lanjut berjalan; mencari Saka.

Di antara banyaknya tempat di area sekolah, Aira sudah datang ke tempat-tempat yang biasa didatangi Saka. Terutama kelasnya.

Tapi ketika dia sudah buang-buang waktu sampai bel masuk berbunyi, Aira yang bahkan belum menaruh tasnya itu tetap tak bisa menemukan keberadaan Saka.

"Ngumpet di mana, sih?" tanyanya dengan nada kesal.

"Aira?" Tiba-tiba seseorang memanggil namanya; membuat Aira langsung menengok.

Itu temannya Saka. Pemuda dengan pipi tirus dan tatapan tajam yang tadi sempat bersama Saka. Kebetulan sekali.

"Iya?"

"Gue Sandrio, temennya bang Saka," kata pemuda itu, mengulurkan tangan sekaligus memperkenalkan diri.

Aira menyambutnya dengan senyum ramah. "Gue Aira. Salam kenal."

Sandrio tersenyum tipis. "Nyariin bang Saka?" mata Aira mengerling.

Dia mengangguk kecil. "Iya."

"Bang Saka udah pulang," jawab Sandrio, meruntuhkan harapan Aira dalam sekejap.

"Hah?"

Memang dia tak berharap Saka akan rutin masuk minimal selama seminggu. Tapi apa hal seperti ini juga lumrah bagi Saka?

Sepertinya orang tua Saka memang pemilik sekolah ini; seperti yang dikatakan rumor.

Sandrio melihat tatapan kecewa dari Aira, buru-buru ia menambahkan ucapannya. "Kata bang Saka, gak usah worry sama anak-anak yang gangguin lo. Semua bakal dia beresin." Setelah itu, Sandrio putar badan. "Gue duluan!"

Sementara Aira hanya bisa membatu. Dia tak tahu harus memberi respons apa, yang jelas tindakan Saka membuatnya bingung.

"Kenapa dia malah kayak pacar beneran gini?"

Aira memilih untuk kembali ke kelasnya, kemudian tiga hari berlalu ....


THE VIVID LINE OF YOU : Park SeonghwaWhere stories live. Discover now