40 : Sambutan Tak Terduga

27 8 2
                                    

Aira benar-benar panik, dia tidak pernah selama ini tidak menghubungi ibunya dan tidak pernah pula pulang malam kecuali dia sudah mengabari sang ibu.

Karena lelah, dia tertidur pulas di rumah Saka, dan ketika dia bangun, hari sudah malam. Dia khawatir hingga merengek untuk diantar pulang pada Saka yang sengaja tidak membangunkannya.

"Maaf, ya, mobil cuma ada satu di rumah dan mbak Jennar baru banget pergi dinas ke luar kota sebelum lo bangun. Maaf karena nganternya pake motor," ucap Saka sambil memacu motor hitam kebanggaannya dengan kecepatan tinggi.

Aira berpegangan erat, sudah tidak peduli mau diantar dengan motor, mobil, atau anjing ras Alaska Malamut sekalipun. Yang penting hanya, dia pulang!

"Gak masalah. Gue aja yang ceroboh banget gak ngasih tau nyokap gue dulu; dia pasti khawatir banget."

"Lo udah telpon nyokap?"

"Gue udah kirim pesan dan bilang lagi perjalanan pulang, tapi gue gak lihat balesannya karena gue ngirimnya pas banget sebelum naik motor." Aira terdengar panik, sampai dia tak sadar mengendurkan pegangannya dan membuat Saka menggenggam tangannya agar tetap melingkari perut Saka. "Gue bego banget! Mana udah jam setengah tujuh!"

"Lo gak pernah pulang malem, ya?" tanya Saka.

"Dulu kalo ada kegiatan yang berhubungan sama sekolah, gue bisa pulang sampe jam tujuh malem paling mentok. Itu pun pas nyokap gue lagi berhasil gue bujuk, kalo enggak, biasanya dia nyari alasan sama guru supaya gue gak ikut kegiatan itu."

"Wow. Tapi gimana kalo kegiatannya penting banget? Kayak semua siswa wajib ikut, gak boleh enggak?"

"Dia bakal ikut juga, nemenin gue atau lebih tepatnya; memantau."

"Nyokaplo strict juga, ya?"

Aira menjawab dengan lesu. "Yah ... gitu, deh. Namanya juga anak perempuan, satu-satunya pula."

"Tapi itu artinya dia sayang banget sama lo ...."

"Iya ... tapi kadang nyebelin juga."

Berkat kecepatan dan kelihaian Saka dalam mengendarai motornya, Aira tiba di rumahnya sebelum pukul tujuh pas. Dari kejauhan, dia melihat ibunya duduk di depan pagar rumahnya, menunduk seakan putus asa sebab menunggu kepulangan putrinya.

Tapi saat lampu motor menyorotnya begitu silau, dia berdiri tegak menyambut Aira dengan tatapan cemas.

"Aira ...." Suara yang lembut dan tegas, biasanya Elina keluarkan saat dia sedang kalut dan biasanya memang selalu tentang sesuatu yang berhubungan dengan Aira. "Bi Lilis, tolong bantuin Aira!"

Pembantu mereka tak lama datang, membantu Aira dengan kaki yang masih diperban, untuk turun dari motor tinggi Saka. Aira merintih sedikit, sebab sakitnya terasa samar saat dia berusaha turun dengan kakinya sendiri. Mungkin akan berbeda jika Saka menggendongnya turun, seperti yang dia lakukan saat membantu Aira naik ke motor.

Setelah itu, Saka ikut turun, hendak membantu Aira untuk berjalan ke rumahnya sebelum dia dihadang Elina di langkah pertama, dan tamparan keras menyapa pipi kirinya dengan suara lantang.

PLAK!

"Ibu!" Aira terkejut, tidak menyangka Elina akan menghadiahi Saka sebuah tamparan setelah apa yang Saka lakukan untuknya. "Ibu ..."

"Jadi ini berandalan yang berusaha bawa kabur anak orang?"

"Ibu! Ibu ngomong apa?"

Elina tidak menggubris Aira, tatapannya tajam menyorot Saka sementara pemuda itu tidak melakukan apa pun selain menunduk penuh sopan.

"Kamu pikir yang kamu lakuin itu keren? Bawa kabur anak orang yang lagi sakit ketika seharusnya dia jadi tanggung jawab guru dan sekolahanya. Kamu pikir kamu siapa, hah?" Elina mendorong bahu Saka berulang kali, meluapkan frustrasinya. "Apa niat kamu? Apa yang kamu mau dari anak saya!?"

"Ibu, stop!" Aira berusaha menghentikan ibunya. "Saka gak berniat buruk sama aku!"

"Oh, jadi nama kamu Saka? Siapa orang tuamu? Kasih tau saya nama mereka supaya saya bisa cari tau; orang tua mana yang mendidik anak laki-laki mereka dengan begitu serampangan begini? Sampai anaknya gak punya sopan dan santun!"

"Maaf, Bu ...," ucap Saka, lembut dan tunduk, tapi itu hanya membuat perasaan Aira semakin buruk dan dia kembali menarik ibunya mundur.

"Ibu udah salah paham, jangan ngomong begitu sama, Saka."

"Kamu gak perlu belain anak kurang ajar ini, Aira; kamu juga gak perlu takut untuk ngadu sama Ibu. Ke mana dia bawa kamu pergi dan ...," suara Elina ditelan rasa kaget saat melihat pakaian anaknya sudah berganti; semakin murka dirinya hingga kembali menyerang Saka dengan dorongan dan teriakan. "Kamu apain anak saya? Kenapa bajunya ganti? Ke mana baju sekolahnya?"

"Ibu, Ibu, stop! Tolong, Ibu tenang dulu."

"Ibu gak bisa tenang! Anak Ibu sakit, maksa buat pergi ke sekolah cuma untuk bikin ibunya denger kabar dia jatuh di kantin, dibawa ke UKS, tapi pas mau dianter pulang—dia malah dibawa kabur sama laki-laki gak jelas yang gak punya sopan ini. GIMANA BISA IBU TENANG!?"

"Ibu, Saka gak ngelakuin hal buruk apa pun sama aku. Tolong, Ibu~"

"Stop belain berandalan ini, Aira!"

Elina menepis Aira yang terus menariknya menjauh dari Saka; begitu kuat sampai Aira hampir terjatuh jika Lilis tidak memeganginya. Saat ini Aira menyadari bahwa ini adalah pertama kalinya Elina tidak bisa mengendalikan emosinya, sampai dia tidak memedulikan Aira yang terus memohon.

"Kenapa, sih, kamu ini? Sejak dulu, Aira, sejak dulu! Kamu selalu aja bodoh dalam bergaul. Kenapa kamu seneng banget berteman sama para berandalan? Kamu bahkan dengan cerobohnya jatuh cinta sama anak nakal yang bisa bikin hidup kamu hancur! Sekarang pun sama, kenapa kamu belain dia yang udah jelas-jelas salah? Kamu suka dia? Apa berandalan gak tau sopan ini pacarmu? Orang yang bikin kamu keluar rumah malem-malem dengan alasan bantu temen yang dikeroyok sekolah lain itu? Temenmu malem itu, anak ini, kan?"

Aira sampai tak bisa berkata-kata. Lidahnya kelu dan air matanya berbicara. Ibunya saat ini tampak sangat mengerikan, sampai dia gemetar dan tak kuasa membela Saka ketika dia dipojokkan sekali lagi.

"Saya benci banget sama anak sekolah yang gak punya akreditasi, tapi gayanya sok keren! Kamu pikir kamu tokoh utama novel remaja sampe kamu bisa ngelakuin hal tanpa berpikir konsekuensinya begini, hah!?"

"IBU, UDAH!"

Aira sempat gentar, tapi jika dia tak bergerak, Elina bisa saja lebih menyakiti Saka dengan kata-katanya dan kebencian yang tak Aira mengerti dari mana sumbernya.

"Saya harap anak saya gak pernah bersikap bodoh lagi sehingga berakhir punya teman berandalan aneh kayak kamu, tapi kayaknya saya masih harus mendidik dia. Pergi kamu sekarang."

Saka mundur; bahkan setelah kemarahan verbal dan non-verbal yang Elina lontarkan padanya, dia tidak mengalihkan wajah ataupun pergi dengan marah. Dia masih menundukkan pandangannya, menghormati seorang ibu di hadapannya.

"Saya minta maaf, Bu." Setelah mengatakan itu, Saka pergi tanpa sempat berpamitan pada Aira. Hanya kontak mata yang begitu singkat sebelum dia menghilang bersama kuda bajanya. Sementara Aira yang masih syok akan kemarahan membara sang ibu, masih di sana tanpa tahu apa yang harus dia katakan selanjutnya.

"Ibu ...."

"Masuk."

"Ibu, kenapa Ibu—"

"Masuk, Aira!"

Elina lebih dulu masuk, sementara Aira menyusul dengan Lilis yang membantunya berjalan.

Sampai di depan pintu rumah, Elina berbalik.

"Bi Lilis, bantu Aira ganti baju dan anter dia ke ruang tamu. Ada temennya Tian yang mau ketemu dia."



























Muk peluk saka TT

anyway, baca work baru pumgoldie dengan judul The Second Choice yak! Atau work baru Yunho dengan judul Boy of Perceus!!!

THE VIVID LINE OF YOU : Park SeonghwaWhere stories live. Discover now