06 : Pertemuan

39 11 1
                                    

Pelajaran olahraga dimulai. Anak-anak kelas 11 IPS 2 bersiap untuk memulai praktik setelah selesai pemanasan.

"Hei, anak baru!" Aira yang baru menuntaskan pemanasannya, menengok tepat setelah Jakson memanggilnya.

"Saya, Pak?"

"Iya kamu, Aira Mandala Keins. Ambil bola voli deh, di gudang." Aira terdiam sejenak. Dia tidak masalah jika disuruh, masalahnya adalah; dia tak tahu letak gudang tempat anak-anak biasa menyimpan peralatan olahraga.

"Saya gak tau gudang di mana, Pak!" tutur Aira, jujur.

"Kamu sudah dua bulan di sini tapi gak tau gudang di mana!?"

"Gak tau, Pak. Saya 'kan belajar di kelas, bukan di gudang," jawab Aira, "lagian yang biasa ambil alat olahraga 'kan anak cowo, Pak."

Jakson hanya menghela napas, tak sampai hati ia ingin memarahi Aira jika melihat wajah kecil dan mata besarnya itu.

"Gak apa-apa kalau gak tau, bisa tanya. Jangan males-males banget lah berusaha. Jalan sekarang!"

Tapi sebab wajahnya yang mengasihani pun masih tampak garang di mata Aira, gadis itu tidak berani membantah lagi. Ia akhirnya dengan segera pergi menuruti keinginan sang guru; bergegas mencari letak gudang yang ia temukan segera setelah ia bertanya pada tukang kebun yang ada.

"Makasih, Pak Jali."

"Pintunya udah gak dikunci, Neng. Habis ambil bola, ditutup lagi, ya, pintunya ...."

"Siap, Pak!"

Aira masuk ke gudang yang berdebu dan sedikit gelap. Baru masuk saja, kakinya udah menabrak ujung kotak bola basket.

"Ya Tuhan, kenapa di setiap sekolah, gudang selalu dibuat minim ventilasi dan penerangan? Memang sengaja atau pas bikin gudang, dananya udah gak ada?" oceh Aira sambil mencari letak bola voli disimpan.

Setelah menerawang ke seluruh ruangan, akhirnya Aira menemukan letaknya. Tetapi dia malah menghela napas, bahunya turun dengan lemas.

"Besok lagi gue marahin, deh, yang nyimpen bola voli di atas lemari!" ujar Aira, lalu berjalan gusar mendekati lemari tempat bola voli diletakkan di atasnya. Aira tidak mungkin mengambilnya begitu saja sedang tingginya saja tak sampai untuk menyentuh ujung lemar. Alhasil, tidak ada cara lain selain memakai bantuan peninggi seperti tangga atau kursi.

Dia langsung menyerah dan mencari alternatif, ketimbang buang-buang waktu untuk hal yang sia-sia. Namun, belum sempat dirinya mengangkat kursi yang ada di ujung gudang, sebuah suara berat mengagetkannya.

"Kursinya udah rapuh, jangan dipake." Aira tersentak, jantungnya lompat satu nada. Seketika ia menoleh ke sumber suara, tapi yang didapatinya hanya seseosok adam dengan paras rupawan; berdiri di depan pintu gudang sembari menikmati kesusahan yang Aira alami.

"Ng-ngagetin, lo!" ujar Aira dengan kesal, dan pemuda itu hanya tertawa tanpa minta maaf.

Aira memperhatikan sosok tampan itu dengan tatapan kesal, tetapi pemuda itu tampak tak peduli dan tetap maju untuk membantu Aira mendapatkan bola voli yang sudah dikumpulkan dalam sebuah kotak besar.

"Harusnya kursinya gak ditaruh di sini, bisa bikin orang celaka nanti," ujar pemuda itu, lalu menyerahkan kotak yang dibawanya pada Aira. "Bisa gak bawanya?"

"Bisa. Makasih."

"Gak mau kenalan dulu?" Aira berhenti padahal sudah bersiap pergi. Ia melirik pemuda berparas tampan itu, sempat mempertimbangkan tawaran untuk berkenalan.

Pemuda itu sedikit aneh ... tapi dia tampan sekali.

"Gak, lain kali aja. Gue udah ditunggu guru." Aira pun memilih untuk menolak, atau jual mahal lebih tepatnya.

Bukan mengapa, Aira hanya malas berurusan dengan pemuda tukang gombal di sekolah ini. Tak peduli meski setampan ini yang dia tolak. Toh, pemuda yang mendekatinya juga kebanyakan tampan, tapi tak ada yang benar dari segi kelakuan.

Dan Aira pun berpikir sama untuk pemuda yang satu ini.

"Lah? Yakin gak mau? Gue ganteng loh!"

Aira sudah menggeleng, tetapi malah diikuti sampai keluar gudang.

"Gue gak sempet, mau pelajaran."

"Kalau gitu, habis pelajaran aja, gimana?" Pemuda itu masih mengikuti Aira, berjalan di sampingnya dengan senyum yang tak luntur.

"Gue gak bisa! Lo ngapain, sih, rese banget!?" Sampai akhirnya, Aira kesal dan membentak si pemuda. Mereka berhenti dan saling berhadapan, tapi Aira tak menatap mata pemuda di hadapannya.

Seolah itu adalah hal kecil yang menarik, pemuda itu tak pikir panjang dan langsung menundukkan kepalanya agar ia bisa melihat mata Aira yang terus melihat ke bawah. Alhasil, hal itu mengejutkan Aira, ia hampir menjatuhkan keranjang bola jika saja pemuda itu tak dengan sigap menangkapnya.

"Ahhh! Lo rese!" sungut Aira lagi, "tapi kayaknya gue gak pernah lihat muka lo di sekolah. Lo anak baru juga?" tanya Aira setelah dia menyadarinya.

"Gak juga sih. Gue emang jarang ke sekolah."

"Sibuk lo?"

"Sibuk, mind my own business."

Aira melirik dengan wajah sedikit jijik melihat narsisme yang pemuda itu peragakan dengan wajah tampannya. Aira lalu menggeleng, sadar ia sudah buang-buang waktu; ia memilih untuk meninggalkan siswa itu tetapi ketika ia ingin mengambil keranjang bolanya, sang adam menolak. "Gue aja yang bawa." begitu katanya.


Gadis dengan rambut lurus itu menghela napas, muak diganggu. "Lo pasti punya urusan sendiri, urus urusan lo dan biarin gue pergi."

"Gue lagi nggak sibuk, nih. Lagian tujuan gue masuk juga cuma buat ketemu sama cewe gue, agak exciting soalnya baru pertama kali," ujar pemuda itu, dengan tiba-tiba dan tak nyambung dengan perkataan Aira.

"O-oke ... gak ada hubungannya sama gue. Bawa sini keranjangnya."

"Tapi lo harus mau kenalan sama gue dulu." Aira menghela napas, dengan kesalnya ia berjalan begitu saja, meninggalkan siswa menyebalkan di belakang sana.

Dan menyebalkannya, pemuda itu masih mengikuti Aira; berlari sembari kesulitan membawa keranjang bola.

"Kok gue ditinggal!? Gue 'kan nawarin baik-baik buat kenalan!"

"Gue gak mau!"

"Kenapa gak mau!? Karena lo udah punya pacar?"

"Iya, gue udah punya pacar!"

"Siapa namanya?"

"Bukan urusan lo!"

"Nama pacar lo Saka, bukan?!"

Aira berhenti berjalan saat itu juga. Pemuda di belakangnya menarik senyum miring, terlebih begitu Aira langsung menoleh sesaat setelah kakinya berhenti melangkah.

"Jadi elo yang namanya Aira?"

Aira mematung, jantungnya berdegup kencang. Rasanya seperti di depan sana ada bahaya yang kini terus mendekatinya, dan dia tidak bisa berlari ataupun menggerakkan kakinya barang selangkah.

"Ka-kalau iya, kenapa?" tanya Aira, sok berani kendati suaranya agak gemetar dan gagap.

Pemuda itu tampak semakin senang, dia masih sesekali tertawa sembari melangkah ke hadapan Aira. "Kebetulan, nih, nama pacar gue juga Aira ...," ujarnya, membuat Aira makin keringat dingin, terlebih ketika ia berkata, "gue masuk sekolah karena mau ketemu sama lo, dan cari tau motif apa yang lo punya sampe pakai nama gue sebagai pacar lo."

Saat ini, Aira merasa seperti nyawanya tinggal di ujung tanduk. Pemuda yang berdiri di hadapannya ini sudah pastilah sosok Saka Sagara yang selama ini ia pergunakan namanya, dan kini si pemilik nama ada di depannya dengan tatapan tenang yang dingin dan menusuk.



Bersambung.


THE VIVID LINE OF YOU : Park SeonghwaWhere stories live. Discover now