31 : Malam Minggu Minimarket

55 12 0
                                    

“Elo peduli sama gue, gue seneng. Gue nggak masalah kalau elo cemas, dan gue bahkan mikir gimana caranya supaya elo nggak ngambek sama gue lagi. Ternyata gue salah ngomong, ya, kemaren?”

“Salah ngomong gimana?”

“Karena gue anggep kecil sesuatu yang elo anggep serius, padahal itu bentuk peduli lo ke gue. Gue nggak peka, ya?”

Aira tidak menjawab, rautnya cemas. Memang semula Aira merasa seperti itu, tapi itu sebelum dia bisa kembali berpikir logis dan tidak egois hanya karena perasaannya sedang sensitif. Aira tidak menduga Saka akan berpikir dari sudut pandangnya, dan sedikit—itu membuatnya senang.

“Tapi nggak seharusnya gue marah nggak jelas sama lo, udah kayak pacar beneran aja. Bikin malu.”

“Nggak masalah, kok, kalau lo ngambek sama gue,” balas Saka, kembali membuat Aira menatap heran, “gue punya banyak cara buat ngebujuk dan bikin elo maafin gue.” Saka bertopang dagu, tersenyum begitu manis pada Aira.

Saat ini melihat sosok Saka dari dekat, dengan senyum semanis dan wajah setampan itu … Aira bisa saja kehilangan akal sehat dan dengan tidak tahu dirinya berharap dia dan Saka bisa menjadi pasangan sungguhan. Karena itu, segera Aira sadarkan dirinya dengan mengalihkan muka.

“Jangan asal ngomong, dong. Gue ‘kan udah pernah kasih peringatan,” ucap gadis itu, setengah gugup. “Nanti kalau gue jatuh cinta beneran gimana?”

Saka tidak menjawab, hanya tertawa kecil menanggapi perkataan dan sikap Aira yang dianggap sangat lucu olehnya.

Saka harus merasa bersyukur, sebab usahanya untuk mendapat perhatian Aira sehingga ia bisa meluruskan kesalahpahaman seminggu lalu, membuahkan hasil yang memuaskan. Mungkin Saka harus berterima kasih pada Wino nanti, tapi dia akan berpikir lagi untuk berterima kasih pada Yasa.

“Oh iya, tadi kayaknya temen lo yang namanya Aji yang nelpon gue. Dia di mana sekarang?” tanya Aira, teringat Aji.

“Aji? A-ambil motor … soalnya motornya gue tinggal begitu dikeroyok tadi.”

“Oh …,” Aira mengangguk-angguk, lalu memperhatikan wajah Saka sekali lagi. “Tapi syukur deh karena elo nggak bonyok-bonyok banget. Gue pikir elo babak belur sampe nggak bisa dikenali lagi mukanya, soalnya suara si Aji kayak cemas banget.”

Saka melirik miring dengan senyum hambar. Dia pikir akting Aji sangat bagus.

“Ya … gue bisa berantem, cuma karena dikeroyok, gue jadi kena dikit-dikit.”

“Meski dikit, serem juga, ya, hidup lo ….”

“Enggak juga, sih … gue pikir genre hidup gue lebih ke komedi, komedi putar.”

Aira tertawa mendengar lelucon Saka, dan untuk sejenak Saka merasa senang—akhirnya dia bisa melihat Aira tertawa lagi padanya.

“Elo … nyesel?” Saka bertanya, membuat Aira menatapnya dengan sorot bingung.

“Nyesel kenapa?”

“Karena berurusan sama gue. Kata lo hidup gue serem.”

“Dari pada nyesel … gimana kalau gue sebut ini adalah konsekuensi? Gue duluan yang dengan lancangnya bikin elo terikat sama gue; gue nggak kenal elo sebelumnya, nggak pernah liat muka lo tapi tiba-tiba mendeklarasikan diri sebagai pacar lo. Berhubungan sama lo, tau sedikit tentang hidup lo atau sedikit terlibat di dalamnya itu adalah konsekuensi dari tindakan lancang gue. Jadi ketimbang nyesel, gue ngerasa kayak … ya udah, jalanin aja, terima aja, namanya juga konsekuensi.”

Mendengarkan dengan saksama, Saka tersenyum setelahnya. “Gue harap elo nggak nyesel kenal gue.”

“Gue malah mikir elo yang nyesel karena kenal gue.”

“Kenapa gue harus nyesel kenal elo?”

“Karena gue ini ‘kan cewe asing yang tiba-tiba ngaku sebagai pacar lo, pasti lo kesel dan anggep gue ini cewe rese, tukang ngaku-ngaku dan kecentilan, kan?”

Saka menggelengkan kepala. “Enggak, sih.”

“Ha? Enggak?”

“Karena gue tertarik, gue pengen liat secara langsung cewe yang ngaku-ngaku jadi pacar gue.”

“Dan pas elo ngeliat gue …?”

“Gue tetep tertarik.”

Aira menghela napas, mengalihkan muka sekilas sebelum menatap Saka dengan raut cemas. “Jangan bikin gue salah paham, dong!”

“Gue ‘kan udah bilang, ketika gue liat elo rasanya kayak akhirnya bisa minum air anget setelah main hujan-hujanan.”

“Kalau gitu rasanya kayak lega dan seneng gitu, dong?”

“Ya … begitu, deh.”

Aira tidak berkata lagi, sibuk menerka-nerka maksud ucapan Saka. Rasanya masih ada sesuatu yang belum selesai dia cerna, padahal Saka sudah menjelaskan dengan baik dan tuntas. Mungkin ini karena Aira perempuan; merasa curiga karena didorong perasaannya yang super sensitif, pada hal yang sudah jelas-jelas tidak ada kelanjutannya apalagi untuk disembunyikan.

Tidak ada lagi hal untuk dibicarakan. Aira masih ingin duduk bersama Saka, tapi tentu saja tidak bisa sebab Saka harus pulang dan menyembuhkan lukanya, sementara Aira harus kembali sebelum ibunya menyadari ketidakberadaan-nya di rumah.

“Kalau gitu, gue pulang dulu, ya?” Aira pamit pulang, membuat Saka spontan ikut berdiri mengikuti Aira.

“Gue anterin.”

“Jangan!”

“Kenapa?”

“Elo ‘kan lagi sakit, mending tunggu Aji terus langsung pulang dan obatin lagi luka lo. Rumah gue deket, gue pulang sendiri juga bisa.”

“Iya, sih … tapi gue mau nganterin elo dan gue nggak ngerasa keberatan. Apalagi elo keluar rumah malem-malem buat nolongin gue.”

“Gue nggak masalah, kok! Gue ikhlas, jadi gue pulang sendiri aja.”

Aira sudah berusaha menolak, tapi Saka malah merangkul pundak kecilnya dan membuatnya tersontak, sambil berkata, “Gue juga nggak masalah, kok! Gue ikhlas, jadi biarin gue nganter elo sampe depan pintu rumah lo.”

“Aduh … sampe pintu gerbang aja cukup.”

“Oh, rumah lo ada gerbangnya, ya?”

“Ya ada lah!”

“Oke, sepakat.”

THE VIVID LINE OF YOU : Park SeonghwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang