20 : Menarik

31 10 0
                                    

Sekonyong-konyong gadis itu terkejut, sampai bahunya terangkat dan matanya menutup ketika mendengar Saka berseru dengan lantang di depan wajahnya.

Susah payah Aira berusaha mengendalikan rasa terkejutnya, tapi melihat mata Saka yang berbinar seperti ada konstelasi bintang di dalamnya itu membuat Aira jadi sedikit kesal.

"Kenapa ...?" tanya Aira, "kenapa tiba-tiba teriak?"

Tanpa merasa bersalah, Saka menjawab, "Ada minimarket." Saka menunjuk minimarket di belakang Aira, cukup mengherankan kalau Saka baru sadar ada minimarket sebesar itu di jalan yang sudah mereka lewati tadi.

Namun, Aira tak punya waktu untuk berkata apa-apa ketika Saka tiba-tiba berjalan menuju ke minimarket itu sambil berkata, "Ayo, traktir susu stroberinya," yang mana itu bukan juga kalimat ajakan melainkan perintah atas sesuatu yang sudah sepatutnya Aira lakukan.

Tanpa bisa memarahi Saka yang sudah membuat jantungnya lompat satu nada, Aira pasrah mengikuti langkah Saka dan mereka memasuki minimarket untuk membeli susu stroberi. Susu stroberi itu adalah syarat yang Saka berikan pada Aira, tetapi pemuda itu sebenarnya berniat untuk sarapan di sana dengan mi instan.

Saka menyeduh mi instannya sendiri setelah menolak bantuan Aira. Pemuda itu kembali dengan mi yang tinggal menunggu jadi sebentar lagi. Dan ketika mi itu sudah siap makan, Saka tak menunggu lama untuk menyantap mi instan rasa kari ayam kesukaannya.

Aira mendesah berat, di hadapannya terlihat sosok Saka yang amat bahagia hanya dengan menyantap mi instan di emperan minimarket seperti ini. Sebenarnya Aira masih merasa sedikit kesal akan tindakan Saka yang mengejutkannya seperti tadi, tetapi memperhatikan bagaimana pemuda tampan itu makan dengan tenang dan sesekali tersenyum senang, Aira sedikit bisa melupakan rasa kesalnya.

"Lo kayaknya suka banget sama mi instan," ucap Aira, mengomentari Saka tanpa mengalihkan pandangannya dari pemuda itu.

Saka menjawab santai. "Mi instan itu penolong banget di saat keadaan genting begini."

"Genting dari mananya?"

"Ya ... laper. Itu keadaan yang cukup serius dan harus cepet-cepet ditambal pakai makanan, kan? Dari pada nunggu lama, mending makan mi instan yang tinggal seduh doang."

"Jadi itu alasan lo suka mi instan?"

"Hm ... gak ada alasan yang krusial, sih, sebenernya. Emang gue aja yang doyan makan makanan instan begini." Saka menatap Aira, melihat bagaimana gadis itu yang kurang mengapresiasi makanan instan kesukaannya membuat Saka bertanya, "Elo ... gak suka mi instan?"

Aira sedikit terkejut ketika Saka balik bertanya padanya. "Gak benci, sih ... tapi gak biasa aja. Jujur mi instan enak, kok, cuma gue aja yang gak dibiasain makan makanan instan termasuk mi kayak gini sama nyokap-jadinya gak doyan banget."

"Oh ...." Saka mengangguk-angguk.

"Nyokap gue ketat banget kalau soal makanan yang mau gue makan, bukan makanan aja, sih ...," ucap Aira, melanjutkan kata-katanya sebelumnya.

"Oh, iya, gue paham." Tapi respons Saka membuat Aira jadi tercengang.

"Elo gitu juga?"

Saka menggeleng. "Enggak. Tapi gue ngerti sama ketatnya nyokap lo dari ucapan lo tadi yang nanya jogingnya sampe siang atau enggak. Elo gak boleh kelamaan keluar rumah, ya?"

Aira terdiam, ucapan Saka tepat sekali sesuai fakta pada dirinya.

"Elo ada sifat cenayang juga, ya?" ucap Aira, bergurau dalam maksud membenarkan tebakan Saka.

"Gue udah pernah ketemu orang tua yang ketat begini ke anaknya; bukan soal makanan aja tapi sampai ke aktifitas pribadi si anak juga diatur ketat sama orang tuanya," ungkap Saka, menambah topik baru ketika makanannya sudah habis dilahap.

Aira tentu saja jadi tertarik untuk mendengar lebih. "Oh iya?"

Aira berkata demikian, tapi Saka termenung dengan bertopang dagu beberapa saat sebelum membalas perkataan Aira.

"Iya. Gue gak nyangka gue bakal ketemu anak yang bernasib sama kayak dia juga."

"Siapa, tuh?"

"Ada deh, kenalan gue."

"Apa gue bawa ingatan buruk karena gue anak strict parent? Elo kelihatannya gak nyaman ...."

Saka spontan menggeleng sembari tertawa. "Enggak, lah! Gak ada hal buruk yang lo bawa dan gue nyaman aja, tuh," jawabnya atas pertanyaan Aira. "Gue cuma keinget dia aja karena kita temen baik, dan sekarang, pacar gue ternyata anak strict parent juga kayak dia."

Aira hendak larut dalam suasana, tersenyum santai seperti Saka. Tapi hal itu terasa mustahil ketika otaknya menebalkan dua kata yang Saka ucapkan kepadanya tadi.

Saka jelas-jelas menyebut Aira dengan 'pacar gue' tanpa berpikir lebih dulu, tentunya dia juga tidak berpikir pengaruh apa yang akan berdampak pada Aira atas perkataannya.

Namun, Aira jadi takut ... ia merasa jika dia berada di posisi yang sedikit berbahaya dan jika Saka terus mendorongnya, dia mungkin akan benar-benar jatuh.

Jadi Aira mengalihkannya dengan percakapan baru. "Ngomong-ngomong, lo gak pake panggilan aku-kamu lagi?" ucap Aira, bertanya dengan maksud mengalihkan fokusnya dari ucapan Saka tadi.

Saka meliriknya, pemuda itu menikmati susu yang Aira belikan untuknya. Kemudian ia menggeleng. "Nggak, ah," jawabnya singkat, "elo keliatannya gak nyaman."

Aira mengerutkan bibirnya, merasa sedikit tersindir padahal Saka jelas-jelas tak sedang menyindirnya. "Tapi itu 'kan syarat yang lo kasih ke gue."

"Dan gak lo lakuin juga, 'kan?"

Aira tertegun, menatap Saka tanpa bersuara. Omongan Saka memang benar, tapi entah kenapa dia merasa tak karuan.

Rasanya seperti ia sedang disindir, membuatnya tak enak hati dan kecewa, mungkin?

Aira tak bisa mendeskripsikannya dengan baik, gadis itu hanya diam sampai berselang beberapa saat setelah itu, Saka menaruh kotak susunya yang belum habis dan menatap Aira.

"Gak usah dipikirin, Ai. Gue ngomong begitu beneran karena berpikir lo gak nyaman. Kalau lo gak nyaman, gue juga jadi gak nyaman," kata Saka, beranjak kursi dan hendak pergi membuang sampah. Tapi sebelum itu, ia berkata pada Aira, "Lagipula, sesama rekan kerja, kita harus merasa saling nyaman, 'kan? Biar kerjaannya beres dengan hasil menguntungkan!"

Aira hanya terdiam dan mencerna ucapan Saka, tapi sang pemuda yang sudah pergi meninggalkan emperan minimarket menyadarkan Aira dan membuatnya segera menyusul.

"Tapi Saka, memang keuntungan apa yang lo dapet dari gue?" tanya Aira setelah bisa menyamai langkah Saka.

Saka hanya diam, kelihatan seperti dia tidak menyangka Aira akan bernanya seperti itu di saat seperti ini.

"Kayaknya cuma gue aja yang 'aman' di sini, sedangkan lo gak tau jelas apa tujuannya mau menjalani hubungan palsu begini," ucap Aira lagi, masih belum selesai. Mereka berhenti di pinggir jalanan yang ramai kendaraan, di bawah terik matahari yang bergerak naik, tangan Aira masih menahan tangan Saka dalam genggamannya. "Gue penasaran, sebenernya apa motif lo?"

"Pfft ...!" Saka tiba-tiba saja tertawa dan membuat Aira kaget. Spontan gadis itu melepaskan genggamannya. "Motif ... lo kira gue ini tukang batik apa gimana? Nanyain motif gue ... haha!"

"Saka, gue gak lagi bercanda," kata Aira dengan nada serius. Dia sama sekali tidak mengerti mengapa Saka sempat menertawai pertanyaannya.

Melihat ekspresi serius sang gadis, Saka langsung bungkam, menarik kembali senyumnya. "Maaf," katanya.

"Jadi ...?"

"Itu bukan alasan yang besar sampe lo harus bersikap waspada sama gue, Ai," jawab Saka, menyangkut pertanyaan Aira yang sebelumnya. "Iya ... gue memang bukan cowo baik, tapi gue gak berniat jahat sama lo."

Aira memperhatikan Saka dengan lekat-lekat, seakan sedang mendeteksi apakah Saka sedang berbohong atau tidak?

Hasilnya pun berakhir abu-abu. Entah si pemuda lihai menyembunyikannya atau memang tidak ada; Aira tidak melihat hal mencurigakan di sana.

Apalagi ketika Saka tiba-tiba tersenyum lebar, membuat niat Aira langsung ambyar dan mengalihkan wajah dengan segera.

"Gimana kalau gue bilang ... lo itu menarik?"

THE VIVID LINE OF YOU : Park SeonghwaWhere stories live. Discover now