09 : Hari Pertama Jadi Pacarnya

43 10 0
                                    




Keesokan harinya menjadi hari pertama Aira menjalani hari sebagai 'pacar' Saka setelah kesepakatan antara kedua pihak.

Harusnya Aira bisa menjalani harinya dengan lebih tenang, dia bisa saja menyebut keadaannya saat ini aman. Tetapi tetap saja hidup sambil menggenggam kebohongan itu tidak benar. Aira bahkan masih belum bisa tersenyum dengan baik jika ada orang lain yang menyapanya sebagai kekasih dari Saka Sagara, atau jika saja ada kenalannya yang menanyakan kebenaran tentang keberadaan Aira dan Saka di lapangan kemarin sore.

"Ngapel, ya ...?" gumam Aira, berjalan lesu sambil mengingat perkataan teman-teman yang menyebut kalau pertemuannya dengan Saka kemarin adalah apel pacar. Padahal bukan seperti itu.

Meski begitu, Aira ingin bersikap bodo amat. Ia ingin hari ini berjalan lebih baik dari hari sebelumnya ... jika saja tidak ada seseorang yang mengejutkannya dari belakang.

"Pagi ...!" Aira terkejut sampai bahunya terangkat, pasalnya sapaan barusan terdengar tepat di samping telinganya, membuat Aira buru-buru menengok dan melihat Saka sudah sedekat itu dengan wajahnya.

"Saka ...!" Aira memekik sambil mundur ke beberapa langkah. Tentu akan berbahaya jika melihat wajah pemuda tampan dari jarak sedekat itu.

Saka hanya tertawa, meski kini beberapa atensi mulai tertuju ke arah mereka yang kedapatan jalan beriringan memasuki area sekolah.

Ada yang langsung heboh, ada yang terlihat patah hati, dan pastinya ada juga yang menatap benci. Tetapi Aira akan bersikap tidak peduli untuk sekarang.

"Bales dong, aku 'kan udah nyapa." Saka merengut ketika Aira tidak membalas sapaannya.

"A-aku!?" tanya Aira, kaget dan heran. Beberapa detik berpikir, Aira baru ingat kalau memakai panggilan 'aku-kamu' adalah syarat yang Saka beri ke dia kemarin.

Aira hanya tertawa canggung. "Pagi ... haha." Gadis itu terlihat malu. "Tumben masuk?" tanya Aira kemudian, sambil berjalan beriringan dengan Saka.

"Tumben masuk ...?" Saka balas bertanya dengan raut heran, "aku sekolah di sini."

"Maksudnya, 'kan biasanya jarang-jarang masuk. Tumben masuk?"

Saka merotasi matanya, menatap langit selagi berpikir alasan dia masuk sekolah hari ini. "Gak tau. Mungkin karena aku pengen ngeliat kamu."


Ucapan Saka langsung membuat Aira menatapnya, lama, selagi isi kepala gadis itu berkecamuk.

"Kenapa?" tanya Saka.

"Jangan sering-sering ngomong begitu, ya ...." begitu jawab Aira, masih sambil berjalan dan melihat tepat ke wajah Saka.

Saka memasang raut bingung. "Ada yang salah sama omongan aku?" tanyanya lagi.

"Gak salah. Cuma kalau lo yang ngomong, jadi masalah buat gue."

"Eh ...? Mana 'aku-kamu' nya-eh, Ai!"


Belum sempat Aira membalas ucapan Saka, dan pemuda itu langsung memekik kuat ketika Aira tiba-tiba saja jatuh karena satu kakinya terperosok masuk ke selokan di depan mereka.

Sambil meringis dan menahan malu, Aira juga masih harus menahan tangis ketika ia melihat orang-orang mulai memperhatikannya dengan mulut terbuka.

Inilah yang Aira sebut masalah untuk dirinya.

-
-
-


Rasanya Aira sudah seperti akan memikirkan sekolah mana yang ingin ia masuki setelah ini, sebab rasa malu tak tertahankan yang ia alami meski masih pagi hari.

Bayangkan saja, kakinya terperosok jatuh ke lubang parit, tulang keringnya menatap tepat ke ujung parit yang kasar dan kotor. Aira jatuh di depan sekolah, tempat di mana banyak siswa berbondong-bondong masuk. Aira memakai rok yang lumayan pendek dan di depan orang banyak ia jatuh dengan memalukannya, terlebih lagi ... di depan Saka.

"Bajingan!"

Alfin dan Harun langsung menengok dengan raut kagetnya ke arah. Mereka berdua sepertinya baru pertama kali mendengar aira mengumpat. Maka dari itu ketika Aira mengangkat kepala, dia juga heran kala melihat Alfin dan Harun menatapnya demikian.

"Lo berdua kenapa?" tanya Aira.

"Aira barusan tadi ngomong kasar?" Alfin balik bertanya.

"Iya ...." Jawaban Aira membuat keduanya makin tercengang.

"Tapi 'kan Aira orang Bandung ...?" kata Harun, Aira tampak kehilangan kata-kata.

"Ya memang orang Bandung gak boleh ngomong kasar?" Aira jadi agak emosi, tanpa sadar nada bicaranya jadi meninggi.

Alfin membalas, "Ya boleh ... tapi kalau cewe secantik Aira yang bilang, Akang Alfin jadi kaget." Mendengar Alfin menyebut dirinya 'Akang' membuat Harun seolah mual. Apalagi Alfin masih melanjutkan gombalannya. "Dari pada ngomong kasar, mending ngomong sayang aj-" dan langsung Harun meremas bibirnya dengan kesal, "-jing ...!"

"Udah punya cowo bego! Lo mau dijadiin bango origami sama cowonya?" Harun berkata, mengingatkan.

"Lah iya, kak Saka cowonya. Serem ...."

Sebenarnya ada kurang dan lebihnya Aira menyandang status sebagai pacar Saka. Lebihnya, Aira bisa sombong karena kekasihnya tampan dan populer, ya ... meski hasil dari menipu.

Kurangnya, seperti sekarang. Karena selain tampan, Saka juga memiliki stigma sebagai tukang tawuran yang pastinya cinta kekerasan di sekolah. Aira merasa dengan jelas kalau teman-temannya segan karena takut dengan Saka.

Sedikit menyeramkan, sih ... haruskah Aira meluruskannya?

"Saka gak se-nyeremin itu, kok," kata Aira pada akhirnya. Dia berkata begitu bukan demi Saka, tapi karena dia tak mau dijauhi teman-temannya hanya karena pacaran dengan Saka.

Alfin sama Harun pun melongo. "Serius?" tanya mereka berdua, dan Aira mengangguk sebagai jawaban.

"Saka gak se-nyeremin itu, jadi lo berdua gak perlu takut bergaul sama gue. Dia anaknya demen senyum, gue aja sampe gak kuat nahannya."

"Yah, itu mah karena lo cewe dia."

"Tapi emang kenyataannya begitu. Gak ada yang lucu, tapi dia senyum mulu tiap ngomong sama gue. Jadi lo semua juga jangan takut sama gue, bersikap biasa aja lah kayak kita sebelumnya."

Alfin tersenyum, lalu tiba-tiba ia bangkit dari kursinya sambil merentangkan tangan; bersiap memeluk Aira.

"Eh ... mau ngapain lo!?" cegat Harun sambil menarik Alfin kembali ke kursinya.

"Katanya bersikap kayak biasa? Gue mah biasanya pengen meluk Aira."

"Gak gitu juga, tolol!" seru Harun yang agak kesal, Alfin hanya cemberut.

Hening sesaat, tiba-tiba Harun buka suara; bertanya. "Emang gimana, sih rasanya punya pacar kayak Saka?"

Alfin dan Aira kompak membisu, mata mereka mendelik menatap Harun yang bertanya. Berbeda dengan Aira yang panik karena tidak bisa menjawab, Alfin malah langsung maju dengan pertanyaan tajam. "Anjir, lo homo!?" serunya dengan mata membola, "ngapain lo nanya begitu anjir ...!?"

"Gue nanya doang, njir!?" balas Harun tak kalah mendelik.

"O-oh ... ya udah."

"Tangan lo punya otak sendiri, ya? Kayak gak ada rem-nya pas mau nampol orang?!"

"Gue reflek, Bro. Gue kirain lo beneran homo."

"Kalo gue homo, nanti dek Diana gak ada jodohnya."

"Bah! Pacar orang lagi yang kau embat?"

"Berisik lo!"

Harun dan Alfin selesai berdebat, dan kembali ke Aira. "Jadi, gimana nih, Ai?" tanya Harun, mengungkit pertanyaan tadi.

Aira hanya nyengir canggung, soalnya tak tahu akan bilang apa. Iya ... Aira tahu kali ini ia harus bohong lagi, tapi berbohong agar kelihatan natural juga butuh teknik tersendiri, dan masalahnya Aira masih amatir dalam hal itu.

"Ya ... gitu." Begitulah jawaban Aira.

"Ya gitu gimana? Lo bisa bikin kita mikir yang aneh-aneh tau, Ai?"

"Itu mah elonya aja yang engas!" sahut Alfin, merespons ucapan Harun barusan. Lalu ia menatap Aira lebih dekat. "Emang gitunya gimana, Ai?" bertanya hal yang senada dengan ucapan Harun dan membuat Harun hanya menghela napas sambil menahan diri untuk tak memukul Alfin.

"Ya, pokoknya Saka baik sama gue. Suka senyum dan sering ngajak gue jalan bareng."

"Baik?" tanya Alfin, rada gak percaya.

"I-iya. Baik. Tuh, kaki gue aja jadi lecet-eh-kaki gue aja diobatin sama dia tadi." Aira memperlihatkan ke Harun dan Alfin bekas lecet yang dia dapat dari selokan tadi. "Lagian apa yang mau lo pada tau, deh? Gue pacaran sama Saka pun belum ada sebulan!"

Ketimbang bohong lebih jauh, Aira mempersingkat kalimatnya dengan kata-kata jitu. Dia dan Saka pun memang belum lama kenalnya, terlebih, Aira benar-benar tidak pernah mengenal Saka sebelum pertemuan mereka kemarin.

"Okelah, kalau udah ada sebulan, kasih tau, ya lo udah ngapain aja sama dia?" Aira langsung melotot ke Harun. Alfin cepat-cepat menyentil bibir si Harun yang terus berkata ngawur sejak tadi. "Ma-maksud gue, kasih tau gue rasanya jadi pacar ketua geng tawuran, Ai ... itu aja, kok!"

Aira masih melihat Harun dengan muka waspadanya. "Buat apa?" tanyanya kemudian dengan nada curiga.

"Bu-buat testimoni."

Alfin tak kuasa menahan diri lagi, dia langsung menarik Harun keluar kelas; menjauh dari Aira. "Testa testi, murid sekolah apa sales krim whitening lo?"

Bersambung.

THE VIVID LINE OF YOU : Park SeonghwaWhere stories live. Discover now