36 : Hampir Ketahuan

50 10 0
                                    

Aira tak menduga jika tempatnya kencan dengan Tian adalah tempat yang juga Saka pilih untuk menonton dengan teman-temannya.

"Seharusnya gue tanya dulu ke mana dia mau nonton," gumam Aira, kembali ke Tian dengan wajah panik. "Tian."

"Hm? Kenapa?"

"Kita pulang aja, yuk?"

"Pulang?" Tian memberi atensinya pada Aira. "Kenapa tiba-tiba? Bukannya tadi mau nonton?"

"Kayaknya gue mulai capek, deh."

"Capek? Elo sakit?" Tian tampak cemas, tiba-tiba menempelkan punggung tangannya ke dahi Aira yang membuat gadis itu spontan mendidih.

Aira buru-buru menjauhkan diri. "Gue gak sakit, tapi kalau kecapekan, gue bisa sakit. Jadi bisa kita pulang aja sekarang?"

Tian masih sedikit bingung, sebab dia bisa melihat jika Aira hanya sedang beralasan saja. Sampai dia akhirnya mengetahui alasan Aira berbohong untuk segera pulang, dan dalam tenang Tian menahan senyum.

"Ini seru ...."

"Ya udah, kita pulang aja." Tian menggandeng Aira keluar, dia berjalan sambil mengalihkan wajah, sedikit menunduk. Dia berharap tubuh tinggi Tian dapat mengaburkan keberadaannya dari perhatian Saka yang berdiri bersama yang lain untuk memilih film.

Tian melirik Saka yang sejak tadi menjadi kecemasan Aira, dan memikirkan sebuah plot luar biasa sebelum dia mengeksekusinya dengan membuat Aira menginjak kakinya dan membiarkan gadis itu jatuh keras setelah tersandung.

Bruk!

"Aira!" Tian memanggil nama sang gadis dengan keras, terdengar seperti dia cemas dan segera menolong Aira yang terjatuh di depan pintu bioskop. Meski jarak mereka dan Saka sudah lumayan jauh, tapi Aira tetap takut suara Tian akan memancing perhatian Saka sejak pemuda itu memanggil namanya dengan keras.

"Ai, lo gak apa-apa? Astaga, maaf. Gue gak sengaja!"

Yang Aira takutkan menjadi kenyataan; Saka menoleh ke tempatnya berada.

Terima kasih untuk rambutnya yang tak diikat, yang membuat wajahnya tertutup lebatnya surai hitam itu dan bisa membantunya menyembunyikan identitas dari Saka yang kini memperhatikannya dengan wajah curiga.

"Lo bisa berdiri? Duduk dulu, kita liat kaki lo." Ucapan Tian menjadi provokasi untuk lebih tegang, sementara Aira setengah mati menahan sakit agar dia bisa segera pergi dari sana.

"Gue gak kenapa-napa, kita keluar aja sekarang."

"Tapi kaki lo kayaknya sakit banget. Kita duduk dulu, liat kaki lo kalau aja terkilir."

"Gue gak apa-apa, Tian ...." Aira menegaskan. Persetan dengan rasa malu dan perhatian orang-orang padanya. Semua orang bisa memperhatikannya, tapi tidak dengan Saka.

Karena itu, meski sakit di pergelangan kakinya lumayan mengganggu, Aira tetap berdiri tegak dan keluar dari sana dengan langkah cepat agar Saka tidak menyadari keberadaannya. Siapa tahu dia berhasil mengelabui Saka.

Siapa tahu ....

***

Satu gulungan lagi dan kaki Aira selesai diperban. Dia sempat tegang dan jantungnya seperti ritme pacuan kuda, sekarang dia sudah pulang dan situasinya jauh lebih baik. Satu-satunya yang tidak baik hanya kondisi kakinya.

Karena tidak sengaja hampir menginjak kaki Tian, Aira merelakan kaki kanannya berakhir salah pijakan dan terkilir. Sudah begitu, dia yang jatuh di tempat umum menjadi tontonan banyak orang. Bersyukur apa yang terjadi tidak membuat rombongan Saka menyadari keberadaannya.

Aira pikir dia bisa mengatasi rasa sakit di kakinya, dan itu lebih baik daripada ketahuan jalan dengan lelaki lain sementara semua orang tahu dia adalah kekasih Saka.

"Penyelamatan reputasi berhasil," gumam Aira, menghela napas lega sebelum sentilan kecil di telinga dari ibunya membuatnya meringis.

"Penyelamatan reputasi apa! Kakimu bunting, gak masalah asalkan reputasi baik?"

"Hah? Ibu ngomong apa, sih? Cuma kesleo doang, kok!"

Elina tampak kesal; hanya tak menyangka kenapa Aira bisa pulang dengan kaki terkilir.

"Lagian kok bisa-bisanya pulang main kaki cedera begini? Kamu main ke mall apa ke hutan belantara?"

"Ibu percaya kalau Tian ngajak aku main ke hutan belantara?"

Elina diam.

"Lagipula orang 'kan gak bisa nebak sial, Bu. Aku juga gak berencana dapet hasil main yang kayak begini."

Elina duduk di dekat putrinya. "Gimana main sama Tian? Seru?"

"Seru, sih."

"Kok ada 'sih'-nya? Seru apa enggak?"

"Seru, Ibu ...."

"Reaksi kamu juga biasa aja kayaknya."

"Ya memang Ibu berharap gimana?"

Elina cemberut, seperti anak kecil yang kecewa. "Ya Ibu berharap kamu sama Tian udah akrab."

"Menurutku kita udah sangat akrab dari yang seharusnya, lho, Bu. Soalnya aku nggak berpikir cewe dan cowo yang baru kenalan satu minggu bisa langsung pergi kencan begini adalah hal yang normal dilakuin semua orang."

Elina melirik arah lain sambil berkata, "Ibu memang gak mengharapkan sesuatu yang ordinary dari kalian, Ibu maunya yang extra-ordinary."

Aira agak sinis menatap ibunya. "Ibu ... gak berniat jodohin aku sama Tian, kan?" tanya Aira setelah kecurigaannya menumpuk.

"Memang salah kalau kamu Ibu jodohin sama Tian?"

"Ibu ...."

"Tian itu well-mannered, lho, Ai. Itu yang paling penting!" Elina segera memotong protes Aira. "Ibu gak masalah dia kaya atau enggak, kebetulan dia kaya dan itu poin plus. Tapi yang paling penting itu dia anak baik, berpendidikan, dan masa depannya terjamin. Habis lulus SMA dia rencananya mau lanjut kuliah di Amerika, terus bakal jadi pewaris tunggal bisnis orang tuanya."

Elina menatap Aira yang masih terlihat ingin protes.

"Lagian kenapa kamu sewot banget. Kamu udah punya pacar?"

Aira terdiam, sedikit tegang.

"Ibu udah kasih kamu aturan untuk no boyfriend before the highschool ends, kan? Ibu gak percaya anak-anak sini itu bisa memenuh standar sebagai kekasih kamu, apalagi temen kamu yang habis dikeroyok anak sekolah lain waktu itu!" Aira semakin gugup saat Elina membicarakan Saka. "Ibu juga gak percaya kamu bisa cari pacar yang bener. Seharusnya kamu beruntung karena Ibu kasih ijin kamu sekolah biasa, kamu bisa aja sekolah di rumah terus sampe waktunya kuliah tapi kesempatan yang Ibu kasih malah kamu salahgunain. Kamu gak lupa, kan, alasan Ibu harus repot-repot pindah ke Jakarta?"

Aira ingat jelas. Tidak ada tugas dinas, tidak ada alasan pekerjaan. Alasan sebenarnya Elina sampai memboyong Aira pindah dari kota kelahirannya hanya karena Aira jatuh cinta.

"No boyfriend before highschool tapi aku dijodohin," cibir Aira, berusaha berdiri untuk pergi menuju kamarnya di lantai dua.

Elina dengan senang hati membalas. "Karena itu adalah pilihan Ibu! Pilihan Ibu gak pernah salah, termasuk dengan melahirkan kamu!"

"Itu berarti Ibu punya pilihan lain buat gak ngelahirin aku, dong?"

Elina tertegun, sadar akan ucapannya.

"Ah," dia tidak tahu harus beralasan apa sementara Aira lanjut berjalan naik. Meski kesulitan dengan satu kaki yang tidak bisa dia gunakan dengan maksimal. "Butuh bantuan, gak?"

"Gak. Bisa sendiri."

Bohong.Sebenarnya kalau pembantunya ada, Aira akan meminta bantuan untuk naik kelantai dua. Tapi karena pembantunya sibuk, biarkan dia berusaha sendiri. Tenangsaja, dia dibantu gengsi yang tinggi.


THE VIVID LINE OF YOU : Park SeonghwaWhere stories live. Discover now