11 : Bus Berdua

56 11 0
                                    



"Naik bus ...?"

"Ho'oh."

Aira terdiam, menatap Saka lama. Sementara pemuda itu mengalihkan tatapannya dengan canggung. Aira teringat hal lain; waktu Saka meminta Aira untuk pulang bersamanya pertama kali pun, tidak ada motor yang pemuda itu bawa.

Alih-alih segera pulang dengan Saka, Aira malah berakhir menunggu bus sampai hampir petang hari itu. Benar-benar hampir gelap!

"Nah, kamu tadi ke sini naik apa?" tanya Saka.

"Naik bus juga."

"Ya udah, kita naik bus aja sama-sama. Kayak kemaren."

"Tapi ...." Aira ingin mengeluh, tetapi ia urungkan niatnya setelah berpikir dua kali.

Namun, Saka rupanya peka. "Tapi kenapa?" tanya Saka, "bilang aja."

"Gue gak betah naik bus umum," jawab Aira dengan terus terang. "Ini bukan bossy habit tapi gue memang kurang nyaman kalo naik bus umum sama orang-orang, mungkin karena nggak terbiasa, ya? Gue jadi gak suka berdesak-desakan, gue gak suka sama perasaan dikelilingin banyak orang di tempat yang sempit. Apalagi jam segini bus yang lewat udah pada penuh diisi sama orang-orang kerja."

Saka hanya diam, tampak berusaha mengerti keinginan Aira. "Jadi mau pakai taksi online aja?" tawar Saka, "aku pesenin."

"Jangan," cegat Aira dengan cepat.

"Kenapa? Kamu 'kan udah ke sini karena aku, masa aku gak tanggung jawab?"

Aira tertawa geli. "Tanggung jawab ...," ucapnya dengan nada setengah mengejek, lalu tak lama matanya melihat presensi dari kejauhan; sebuah bus umum yang melaju menuju arah pulangnya. "Itu ada bus! Ayo pulang!" seru Aira, lalu menarik Saka untuk segera mencegat bus yang datang.

Mereka berdua akhirnya pulang dengan memakai bus umum, kendati Aira agak menyesal setelah memasukinya, sebab keadaan bus yang benar-benar ramai. Banyak orang menaikinya dari berbagai kalangan, dari remaja sampai orang dewasa, dari anak SMP sampai yang berseragam kerja.

Aira menghela napas berat, ia mungkin benar-benar menyesal terlebih ketika tidak ada tempat lagi untuknya dan Saka selain berada di dekat pintu, dekat kernet sekaligus dekat dengan kematian. Bagaimana Aira bisa menyebutnya dekat dengan kematian?

"Ujung banget, ya ...? Kalau sopirnya ugal-ugalan, bisa jatuh, nih!" ucap Saka, mengalihkan sejenak atensi Aira yang tampak tegang sambil berpegang kuat pada tiang.

"Tenang aja, sopirnya udah berpengalaman," jawab sang kernet.

"Pengalaman dalam hal ugal-ugalan?" balas Saka agak menyindir.

"Ya, mau gimana lagi? Bukannya seneng kalau cepet sampai rumah?"

"Rumah yang mana dulu, nih? Rumah dunia apa Rumah Allah?"

Sang kernet tertawa, tetapi tampak menahan kesal juga. "Kalau gak mau kayak gini mending naik mobil taksi aja, kayaknya lo gak melarat amat buat pesen taksi?"

Saka hendak menjawab, tetapi Aira menahan dengan menarik sedikit seragamnya. Gadis itu menggeleng, lalu kembali berusaha tenang sambil masih berpegangan kuat. Saka memperhatikan ketakutan yang Aira perlihatkan dari gerak-geriknya, dia terus melihat aspal yang terlihat dari pintu, tampak mobil melaju dengan cepat seolah tak terhentikan.

Saka mengerti akan kegelisahan itu, dan ia mengulurkan tangan untuk berpegangan pada pintu; seolah membuat batas yang akan membuat Aira berpikir, dirinya tidak akan jatuh selama Saka ada di belakangnya.

Aira sedikit terkejut, ia melirik Saka sekilas dan pemuda itu sibuk dengan urusannya entah apa. Aira bisa sedikit melegakan napasnya, hatinya menghangat melihat sikap kecil yang Saka berikan, tapi segera gadis itu menahan diri untuk tak jatuh pada pesona yang tak seberapa itu, lalu tiba-tiba Saka berteriak.

"Minimarket depan, ya!" serunya, dan mobil berhenti tepat di depan minimarket yang Saka maksudkan.

"Wih ... mau ganti taksi, lo?" tanya kernet bus itu dengan tatapan mengejek.

"Gue haus," jawab Saka singkat, lalu ia berbicara pada Aira, "tolong susu stroberinya, gak boleh absen, ya?" ujarnya, tersenyum manis sambil memberi perintah pada Aira.

Gadis itu menatap dengan alis mengerut tajam, tak mengerti dan tak habis pikir Saka bisa menyuruh bus berhenti hanya agar Aira dapat membelikannya sebuah susu stroberi.

Tetapi tak bisa protes dirinya, dan akhirnya dengan raut sebal ia keluar bus untuk pergi ke minimarket dan membeli apa yang Saka inginkan.

Entah mengapa hanya karena dirinya meminta bantuan Saka, rasanya seperti ia membayar pemuda itu dengan pengabdian. Tidak, itu bukan perjanjian, tetapi Aira sendiri memang merasa demikian ... mungkin itu adalah bentuk segan dari dirinya, sebab ia masih tahu diri dan mengingat jelas siapa yang memulai masalah ini.

Aira sudah membayar susunya, dan buru-buru keluar agar tak membuat penumpang lain menunggu lama. Tapi ketika ia keluar, yang didapatinya hanya jalanan ramai tanpa keberadaan bus yang semula ia naiki. Dengan kata lain, Aira ditinggal.

"Erghhh, SAKA ...!" pekik Aira dengan sangat kesal, tak tahan lagi dirinya untuk bersikap seperti pembantu yang tak bisa melawan. Tega sekali Saka melakukan ini padanya ... Aira sangat kecewa dan sampai terbesit dalam benaknya; kalau ia bertemu Saka, ia pasti akan benar-benar memukul pemuda itu, tidak peduli status hubungan antara keduanya-Aira pasti akan memukul Saka!

Namun, tak berlangsung lama, datanglah sebuah taksi putih di depan Aira. Pintu jendela taksi terbuka dan memperlihatkan sopirnya dengan senyum ramah, menyapa Aira. "Sore, Mbak. Dengan Mbak Aira?" tanya taksi itu, membuat Aira bingung dan agak takut.

"Iya, saya Aira."

"Mbak, saya dapat orderan atas nama Saka untuk mengantar Mbak pulang ke rumah. Ayo masuk, Mbak ...."

Aira mengernyitkan dahi. "Saka ...?"

"Iya, Mbak. Kenalannya, kan?"

"I-iya ...."

Aira tertegun lama, membiarkan sopir berjalan untuk membukakan pintu untuknya.

Kening gadis itu masih mengerut bingung; tidak mengerti akan apa yang Saka lakukan.

Dia sengaja menyuruh Aira keluar bus bukan untuk meninggalkannya? Melainkan agar Aira bisa keluar dan naik taksi yang lebih nyaman untuknya? Tapi kapan Saka memesan taksi? Cepat sekali ....

Dan ... tidak bisakah dia mengatakannya dulu? Saka harusnya bisa memberi tahu Aira lebih dulu dan tidak membuat Aira salah paham. Kalau tahu begini, Aira jadi merasa bersalah karena sudah berpikir untuk memukul Saka kuat-kuat.

Aira mendesah berat, meluruhkan sedikit kekacauan terjadi padanya sore ini. Ia harap dirinya bisa lebih tenang esok hari, tapi siapa yang bisa menduga dari mana masalah akan datang?

Bersambung.

THE VIVID LINE OF YOU : Park SeonghwaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora