39 : Mampir Sebentar

30 6 2
                                    


"Hah?" 

Saat Aira sadari, Saka sudah bergerak semakin dekat padanya sampai membuat Aira tersudut. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya tapi berlagak seperti apa yang akan terjadi maka terjadilah, dan menutup mata rapat ketika dia merasakan topinya dilepas oleh Saka.

"Berantakan banget rambutnya. Besok lagi gue bawa helm dua, deh."

Aira semakin sadar jika dia memang memalukan dengan sekelebat pikirannya barusan.

"Gue panggil kakak gue dulu, ya, kali aja dia bisa periksa kaki lo," ucap Saka.

"Kakak lo dokter?"

"Bukan, dia manajer. Tapi juga tukang urut keluarga. Kaki lo kesleo, kan?"

Aira cukup tercengang, tapi dia tetap menjawab. "Iya."

"Kalo diurut, gak apa-apa?"

"Gak apa-apa. Memang rencananya mau gue bawa ke tukang urut tapi belum sempet."

"Tenang aja, kakak gue bisa tau kalo kesleo-nya parah atau enggak. Kalo parah, dia gak berani ngurut, kok. Nanti gue panggilin dokter."

"Panggilin dokter ...." Aira tidak menyangka Saka bisa mengatakan itu seakan yang dia panggil adalah anak tetangganya.

Sampai Aira mengetahuinya sendiri beberapa menit kemudian.

"Jadi tetangga lo ada yang dokter, ya ...."

Aira sudah duduk di kasur kamar tamu, dia juga sudah sangat bersih setelah pembantu Saka membantunya untuk membersihkan diri.

"Iya. Bang Theo dokter bedah, sih, tapi sejak dia dokter gue pikir dia bisa ngerti segala macem penyakit."

"Mana ada begitu? Dia 'kan dokter spesialis, bukan dokter umum."

"Ya siapa tau, kan? Meski dokter spesialis, seenggaknya dia punya ilmu dasar di bidang lain. Ilmu yang dia punya harus sepadan sama se-fantastis apa biaya sekolahnya." Aira hanya tertawa kecil sambil memperhatikan Saka yang mengisi penuh meja di samping kasur dengan makanan manis seperti kue, coklat dan camilan manis lainnya. "Jadi dokter itu susah, tapi entah kenapa banyak banget orang pengen jadi dokter."

"Karena itu pekerjaan yang mulia? Mereka 'kan menyelamatkan banyak orang. Gue juga pengen jadi dokter."

Trang!

Aira cukup kaget saat mendengar suara piring yang ditaruh dengan keras, seakan suaranya merupakan gejolak yang disebabkan oleh ucapan Aira barusan.

"Elo pengen jadi dokter?" tanya Saka, terdengar serius tanpa menatap Aira. Sejenak itu membuat Aira menyesali ucapannya, entah kenapa.

"Iya, tapi itu dulu banget pas gue masih kecil. Kalo sekarang mah enggak, soalnya ya, kayak yang elo bilang; sekolahnya mahal, tapi yang lebih parah dari itu, sekolahnya susah."

"Syukur deh kalo gitu." Saka memandang Aira dengan senyum lega. "Elo jadi apa aja boleh, tapi jangan jadi dokter."

"Kenapa?"

"Gue gak mau elo ngobatin banyak laki-laki lain."

Lagi-lagi serangan kalimat manis yang diucap tanpa memikirkan efek samping. Aira mengalihkan wajahnya dengan malu dan mencari hal baru untuk diucapkan.

"Ngomong-ngomong, banyak banget manisannya."

"Gue udah bilang, gue bakal buat ini jadi penculikan yang manis."

Cukup mencengangkan, tidak disangka itu akan jadi jawaban pertanyaan iseng Aira.

"Oh ... jadi ini maksudnya."

THE VIVID LINE OF YOU : Park SeonghwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang