33 : Kencan Sore Lapangan Tenis

50 10 0
                                    

Setelah malam itu, hubungan Saka dan Aira kembali normal. Mereka jadi lebih sering berkomunikasi via telepon, sebab Saka masih menjadi anak yang tidak betah lama-lama berada di sekolah. Mungkin masuk pagi, pulang di jam istirahat pertama, atau istirahat ke-dua. Atau bahkan tidak masuk sama sekali.

“Buset, sampe hafal gue sama pola absennya Saka,” gumam Aira, menyapu keringatnya dan duduk di pinggir lapangan tenis.

Ia baru saja menyelesaikan latihan tenisnya yang terhitung sebagai ekstrakurikuler. Dia duduk dan memperhatikan siswa lain, sampai pemandangan itu menjadi jenuh sebab otaknya berpikir begitu.

“Huh, gimana mau ngajak berangkat bareng kalau masuk sekolah aja masih seminggu dua kali?” ujarnya dengan nada ketus, menyindir perkataan Saka yang sempat menawarkan diri untuk menjemput Aira berangkat sekolah. “Pasti enak, deh, kalau punya bonyok kayak bonyok-nya Saka. Mau absen sesuka hati aja nggak ada yang marah, bahkan yang punya sekolah pun lapang dada aja punya murid serampangan kayak dia. Dipikir-pikir, di luar najla juga tuh anak.”

Aira menghela napas, lelah mengoceh. Dia bertopang dagu pada kedua lututnya yang ditekuk, menatap ke lapangan yang cukup ramai sore itu, sampai sebuah suara membuyarkan fokusnya.

“Kalau habis olahraga, kakinya jangan ditekuk, nanti kena varises!”

Rasanya seperti tersengat listrik saat mendengar suara itu, suara yang sudah tidak didengar lagi sejak lima hari yang lalu. Kepalanya langsung tegak, menyapa presensi Saka dengan raut tak menyangka.

“Saka?”

“Iya, ini gue.” Pemuda itu duduk dengan santai di samping Aira, dengan celana selutut dan kaos lengan pendek bergaris hijau-putih yang menandakan jika dia datang dari rumahnya.

“Elo ke sini?” Saka juga saking santainya, sampai tidak peka dengan Aira yang cukup terkejut melihat kehadirannya. Sedekat ini, setelah lima hari berlalu.

Saka menoleh, tersenyum dan berkata, “Iya. Gue baru inget kalau gue punya pacar.”

Jawaban yang aneh dan ambigu, Aira tak tahan untuk mengernyitkan dahi. “Padahal normal aja kalau lupa, orang pacar bohongan juga.”

“Jangan ngomong begitu di sini, dong. Ini ‘kan lapangan, nanti ada yang denger!”

“Nggak ada siapa-siapa di deket kita!”

“Tapi tetep aja.”

Aira sedikit heran; sebenarnya siapa di sini yang minta pacaran pura-pura?

Aira kembali bersikap biasa, tapi disadarinya jika beberapa pasang mata mulai melirik ke arahnya. Tentu saja itu karena kehadiran Saka Sagara yang bak muncul dari portal dimensi itu. Aira lupa jika yang dia pacari itu selebriti sekolah.

“Aduh, mulai, deh …,” gumam Aira, didengar Saka.

“Kenapa, Ai?”

“Orang-orang … pada ngeliatin, pasti gue lagi diomongin.”

Saka memperhatikan orang-orang yang Aira maksud, dan memang benar yang gadis itu katakan; beberapa pasang mata menyorot mereka, ada yang hanya menjadikannya tontonan sekilas, ada yang menjadikannya topik pembicaraan.

Apakah jika Saka ada di dekat Aira, menjadi suatu hal yang menghebohkan? Membuat mereka tidak nyaman? Saka terkadang tidak mengerti dengan bagaimana cara seseorang memandang yang lainnya.

“Lo liat geng-nya kak Lexa?” tanya Aira, sambil berusaha bersikap biasa agar tidak terlihat sedang membicarakan orang lain dengan Saka.

“Mana? Nggak keliatan.”

“Deket lapangan basket! Itu ‘kan temen seangkatan lo, masa lo enggak kenal wujudnya!?”

“Oh … iya, gue liat.”

“Dia ngeliat ke arah sini, kan?”

“Kayaknya iya.”

“Pasti itu. Gue bisa rasain jidat gue bisa-bisa dibolongin sama tatapan tajemnya dia.” Aira tersenyum, menahan beban saat dirinya menjadi sasaran tatapan sinis dari orang lain. Seharusnya dia sudah terbiasa, tapi dibenci orang sekelas selebriti sekolah itu akan tetap beda rasanya. “Dia pasti kesel banget.”

Saka memperhatikan, mungkin saja benar apa yang dipikirkan Aira. “Harus kita bikin lebih kesel lagi, nggak, sih?” Tapi Saka masa bodoh, dia rangkul Aira ke dalam rengkuhannya, begitu dekat dan tampak mesra hingga beberapa orang berseru untuk mereka.

Wow … Aira sekali lagi merasakan sensasi berpacaran dengan seseorang yang terkenal. Mengejutkan dan mendebarkan.

“Saka, lo ngapain?”

“Bukannya wajar kalau begini? Kita ‘kan pacaran. Nanti kalau gue diemin, orang pada ngira elo nggak bener-bener gue pacarin, nggak gue jagain—makanya bisa diserang seenaknya kayak kemaren-kemaren.”

Aira tidak menanggapi, tapi ia merasa sedikit tersentuh karena ucapan Saka. Tapi tidak bisa diteruskan seperti ini.

Aira melepaskan tangan Saka dari bahunya. “Iya, tapi nggak sedeket ini juga!” ucapnya, “walau buat pencitraan doang, tapi tetep aja bikin malu. Udah kayak suami-istri aja!”

“Oh, emang yang ngerangkul bahu cuma suami-istri aja, ya?”

“Eng-enggak juga, sih. Tapi gue malu!”

“Ya udah, deh.” Saka menerima keputusan Aira, meski itu berarti dia hanya akan duduk bertopang dagu dengan bosan setelahnya.

Aira tidak terlihat keberatan; mungkin memang dia tidak suka menunjukkan kedekatan di depan umum seperti ini. Sosoknya yang tenang dan pemalu membuat Saka kembali terpaku untuk menatap wajah cantiknya dari samping seperti saat ini.

“Minggu ada acara, nggak?” Saka tiba-tiba bertanya demikian, membuat perhatian Aira terpusat kembali padanya. “Mau ikut nonton sama yang lain?”

“Nonton? Sama yang lain?”

“Iya. Temen-temen gue, sih … tapi ada Yunan, kok, jadi kemungkinan temen lo itu juga bakal ikut.”

Maksud Saka pasti Sephia Harundani. “Mau nonton apa memangnya?” tanya Aira.

“Drakor.”

“Nonton drakor doang pake ke bioskop segala?”

“Nggak tau, deh, apaan. Tapi posternya pake huruf Korea gitu, jadi pasti drakor, kan?”

“Nggak semua film Korea disebut drakor, Saka. Dan kalau drakor, mah, nggak tayang di bioskop! Bioskop tempatnya film sekali tayang aja, maksudnya yang nggak berepisode-episode kayak drakor kebanyakan!”

Saka mencerna dan mengangguk. “Oh, begitu, ya?”

“Kayaknya, sih, gitu.”

Saka tertawa kecil. “Jadi, mau ikut, nggak?”

“Bo—” Aira tak melanjutkan kata-katanya, sejak ia mengingat jika hari minggu kali ini dia akan pergi dengan Tian. “Nggak bisa ….”

“Kenapa?”

“Gue ada janji sama temen.”

“Lah, temen lo ‘kan Sephia.”

“Emang temen gue cuma Sephia doang!?” jawab Aira, “pokoknya nggak bisa minggu ini.”

“Hm, sayang banget. Ya udah, deh, kalau gitu.” Saka tidak mempermasalahkan, bersikap santai dan menerima keputusan Aira meskipun Aira sendiri merasa sangat menyayangkan dirinya yang tidak bisa menerima ajakan Saka.

Aira menghela napas, kembali menekuk lutut dan menaruh dagu di atasnya dengan lesu. Perasaannya jadi tidak enak, padahal dia dan Saka tidak berpacaran sungguhan, tapi hanya sebatas tidak mengatakan yang sebenarnya pada Saka seperti saat ini saja sudah membuatnya merasa seperti sedang menduakan pemuda itu.

THE VIVID LINE OF YOU : Park SeonghwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang