bagian 2

9.5K 385 1
                                    

Melangkahkan kaki sejauh mungkin. Meninggalkan seseorang yang memang harus aku lupakan. Tak tahu sampai kapan akan bersembunyi dan lari dari kenyataan. Aku memang pecundang. Hanya mampu berkata 'aku mampu melupakanmu' tanpa berniat benar-benar melupakan. Walau bibir berkata mampu tapi hati sungguh tak sanggup. Sangat sakit rasanya. Aku bukan wanita tangguh. Aku tidak bisa seperti ibu yang bisa mengikhlaskan ayah pada wanita lain. Aku tidak seperti itu.

Suara ketukan terdengar disusul dengan suara seorang wanita yang beberapa hari ini menemaniku "Rika, makan dulu yuk. Dari semalam kamu belum makan. Jangan mengabaikan kesehatan Ri"

Ingin aku berteriak memaki dan mengusirnya dari sini. Aku ingin sendiri. Aku hanya butuh waktu untuk menenangkan hati dan pikiran. Melupakan semua yang terjadi belakangan ini. Aku tidak sanggup jika...

"Ayolah Riri...kita sudah lama tidak bertemu. Apa kamu tak merindukan sahabatmu yang lama hilang ini?"

Riri. Bahkan dirinya masih memanggilku dengan sebutan itu. Dadaku kembali terhimpit, sesak rasanya mendengar dia masih menganggapku sahabat.

Oh, tolong jangan mengalir lagi. Tidak pantas aku menangisi mereka yang telah berhianat.

Senyum iblis tercetak jelas di wajahku. Tidak, ini bukan balas dendam. Ini hanya sedikit pelajaran untuk mereka agar merasa apa yang kurasa. Welcom back my 'Friend'.

******

"Kenapa kamu mengurung diri terus di kamar? Ada banyak hal yang ingin aku ceritakan padamu.." Ada binar keceriaan saat dia mengucapkan kalimat terakhir. Dadaku semakin sesak, tentang laki-laki itu kah?.

Dengan terpaksa aku mengulas senyum lalu memeluknya dari samping "aku merindukanmu Sasa. Kangen nyinyirnya bibir kamu saat bicara" ujarku pelan.

Bila di perhatikan Sandra yang sekarang sangat cantik. Memiliki wajah oriental khas orang asia di tunjang dengan kulit putihnya juga bentuk tubuh bak model papan atas. Tubuh yang ku peluklah yang selama duapuluh tahun lebih menemaniku. Aku menyayanginya layaknya saudaraku sendiri. Tapi rasa benci saat ini lebih mendominasi.

Aku melepaskan pelukan dan menatapnya "kemana saja 'sahabatku' ini? Tiga tahun lamanya menghilang dan tiga hari lalu tiba-tiba muncul di depan rumah".

Mataku mendelik melihatnya akan bicara. Aku tahu pasti kalimat apa yang akan di ucapkannya "aku tidak menerima kata maaf" ujarku ketus.

Bibir merahnya mengerucut. Hal yang akan dia lakukan tanpa sadar jika sedang kesal. See, bahkan aku masih ingat kebiasaan 'sahabatku' itu.

Tubuh rampingnya berbalik tanpa menatapku lagi, kakinya melangkah menjauhi tempatku berdiri. Penasaran, aku mengikutinya. Dari balik sofa bisa kulihat bahunya yang bergetar. Apa kata-kataku sebegitu menyakitinya? Lalu apa kabar kelakuannya yang begitu menyakitiku? Bukan hanya hati tapi juga tubuhku.

Perlahan aku mendekat, suara seraknya masih dapat terdengar dalam jarak dua meter. Hatiku terenyuh. Udara di sekitarku seperti menghilang entah kemana. Tak menyangka dengan apa yang di katakannya.

"...maaf. Aku memang bukan sahabat yang baik. Aku pergi tiba-tiba karena papa terserang penyakit jantung. Kamu tahu kan? Aku anak mereka satu-satunya. Jadi aku harus mengurus perusahaan disana. Dan dua tahun lalu papa meninggal..hiks.." ada jeda sebelum sandra melanjutkan ucapannya "dan kamu tahu Ri? Sejak itu aku berusaha mati-matian tanpa kenal lelah untuk belajar dan mengembangkan perusahaan...hiks..aku kesini untuk bertemu kamu Ri. Aku kangen sahabatku. Sahabat yang aku tinggalkan begiu saja. Maaf Ri..hiks..jangan marah lagi padaku.."

Langkahku terasa berat. Lidahku kelu, tak tahu akan bicara apa. Banyak pertnyaan yang ingin aku lontarkan. Banyak cacian dan makian yang ingin aku teriakan. Tapi semua itu harus ku telan kembali. Air mata membasahi pipi. Tidak tega rasanya membiarkan dia menangis pilu seperti ini.

"Harusnya aku yang meminta maaf. Maafkan aku karena aku tidak tahu musibah yang kamu alami. Aku tidak menyangka om Herman akan pergi secepat itu. Aku tidak tahu. Aku minta maaf Sa.." ujarku lirih.

Sandra tersenyum disela tangisnya "kita bersahabat lagi?" Tanyanya masih dengan suara serak.

Aku mengangguk, menautkan jari kelingkingku dengan miliknya "kita bersahabat, lagi"

"Lili, janji ya kalau cudah becal nanti kita buat pecta belcama?"

"Janji. Pakai baju putli telus cama pangelan"

Kami tertawa keras setelah melakukan percakapan masa kecil dulu.

******

Hari berikutnya hubungan kami semakin membaik. Berjalan-jalan dan belanja pun kami lakukan. Entahlah, rasa benci itu kemana hilangnya. Aku menikmati hari yang kami lalui dengan canda tawa. Jujur saja aku merindukan saat-saat seperti sekarang. Aku begitu merasa kehilangan sosok sahabat yang sangat kusayang ketika dia pergi begitu saja. Tanpa memberitahuku dan tiba-tiba muncul kembali. Aku memaafkannya karena begitu menyayanginya. Sampai aku melupakan satu fakta kalau....

"Besok malam aku ada janji bertemu teman. Temani aku ya? Please..." pintanya penuh harap.

Perasaan tidak enak menggelayuti setelah aku mengiyakan ajakannya. Ingin membatalkan tapi takut membuatnya kecewa. Hmm...andai aku seorang peramal.

******

Terimakasih buat yang udah mau baca ceritaku.

Salam sayang,

Upinipin98

Rika's StoryWhere stories live. Discover now