bagian 4

5.9K 261 0
                                    

Sekali lagi, mataku melirik jam di dinding. Pukul delapan lebih limabelas menit. Itu artinya sudah lewat limabelas menit dari waktu yang di janjika. Aku menghembuskan napas perlahan. Mungkin mereka akan datang sebentar lagi, yakinku.

Ingatanku melayang pada kejadian malam tadi. Betapa masih kesalnya aku dengan laki-laki bule KW itu. Dengan seenaknya saja dia memaksaku. Walau harus ku akui, aku patut berterimakasih padanya.

Ketukan pintu membuyarkan lamunan. Akhirnya datang juga. Langkahku terhenti. Aku memfokuskan pandangan. Berharap yang kulihat saat ini hanya khayalan.

Bersikap professional, bibirku membentuk senyum ala kadarnya. Meski rasanya sakit melihatnya.

"Kenapa hanya berdiri di pintu pak, silahkan masuk" ucapku setenang mungkin.

Bibirnya membentuk garis tipis yang amat kentara dan matanya hanya menatapku tajam. Aku membalas tatapannya dengan lembut, walau tidak ada ekspresi di wajahnya tapi tubuhnya beranjak.

Kami duduk berhadapan. Mata hitamnya masih terus menatapku. Senyum sopan pun masih tercetak di wajahku. Dalam hati ingin rasanya aku menangis, berteriak memintanya melepaskan wanita itu.

"Kemana saja selama ini?" Suara yang sangat ku rindukan akhirnya kembali ku dengar.

"Saya tidak mengerti ucapan bapak" jawabku pura-pura tidak mengerti.

Matanya menyipit "tidak perlu memanggilku dengan sebutan itu jika kamu sedang marah"

"Maaf pak, ada tujuan apa tiba-tiba bapak datang keruangan saya. Bukankah biasanya ba-"

"Tolonglah Rika, jangan mempersulit posisiku. Aku kesini untuk meluruskan semuanya. Aku tahu aku salah..."

Emosiku terpancing, tahu kemana arah pembicaraannya " kamu memang salah. Dengar tuan Febrio yang terhormat, ini di kantor jadi tidak diwajibkan masalah pribadi di bahas disini"

Matanya menatapku sendu, emosi yang tadi melandanya kini menguap di gantikan dengan rasa bersalah.

"Maafkan aku Ri.." desahnya lirih.

Aku menatapnya tajam "apa dengan  kata maaf semuanya bisa kembali seperti semula? Apa dengan kata maaf kamu akan meninggalkannya dan kembali padaku? Apa dengan kata maaf kamu bisa mencintaiku lagi?" Ujarku berapiapi.

Emosi kembali terpancar di bola matanya. Tatapannya semakin menajam "tidak" ucapnya membuat pertahananku goyah.

Air mata mengaliri pipi. Entah sudah berapa banyak air mata yang ku keluarkan karena dirinya. Tak tahu sudah sebesar apa luka dan rasa sakit yang ku rasakan karena sikapnya. Aku hanya ingin merasakan bahagia bersamanya untuk saat ini, esok dan seterusnya. Hanya dengannya.

Kurasakan sofa di sebelahku bergerak. Sepasang lengan yang dulu selalu sigap merangkulku kini kembali. Aku semakin terisak di pelukannya. Bayangan dirinya yang dulu lembut padaku kini terlintas. Yang aku inginkan adalah saat-saat seperti ini. Ketika aku menangis dia selalu ada, ketika aku senang saat dirinya mengatakan cinta begitu pula sebaliknya.

CINTA. Mengapa kata itu justru semakin menambah perih.

Dunia nyata memang tak seindah dunia khayal. Tapi bukankah aku berhak bahagia? Tidakkah aku berhak menggapai semuanya?

Aku melepaskan pelukan nya dengan kasar. Sungguh, aku masih merindukannya, namun aku tahu posisiku sudah tak berada di hatinya walau hanya secuil. Kakiku melangkah menjauhi nya.

"Pergilah" ujarku pelan. Hatiku sakit. Bibirku berkata tanpa perintah otakku. Tolong katakan, bahwa aku ingin dia terus berada di sini. Bersamaku.

"Sekali lagi aku minta maaf.."

"Aku memaafkanmu. Kamu berhak memilih dan mendapatkannya" dan aku juga berhak mendapatkanmu.

"Pergilah, tunggu apalagi.." ucapku menyentaknya

Dia berdiri dari duduknya. Bisa kurasakan saat ini dia tengah memandangku.

"Mmm...bisakah kita berteman? Seperti dulu. " pintanya penuh harap.

Perlahan aku menghapus airmata du pipi. Pikiranku berkelana, apa dengan jalan ini kami dapat bersatu lagi. Tidak dapat di pungkiri, sebagian hatiku bersorak sorai mendengar permintaannya. Sangat sederhana namun banyak makna untukku. Mungkin saja dengan ini aku dapat memenangkan hatinya, lagi. Maafkan aku Sa...

Aku tersenyum padanya "kita berteman. Seperti dulu.."

Bibirnya membentuk senyum. Senyum yang dulu banyak menjanjikan kenyamanan untukku. Kedua lengannya terbuka, memberiku ruang untuk memeluknya. Aku berharap seterusnya akan seperti ini.

Suara pintu terbuka membuat kami menoleh bersamaan. Aku terpaku melihat sepasang mata berwarna hijau sedang menatapku. Rio dengan cepat melepaskan pelukan yang hampir saja membuatku terjungkal jika saja tidak ada yang menahan tubuhku. Aku mendesah lega. Menatap balik sepasang mata teduh di hadapanku. Wajahku rasanya terbakar berada sedekat ini dengan laki-laki yang baru ku kenal semalam.

Kuputar bola mataku kesegala arah sampai fokusku melihat seorang wanita cantik sedang berdiri kaku di tengah pintu. Oh tidak, masalah apalagi ini. Haruskah masalah datang bertubi-tubi menimpaku?
Oh..hilangkan saja aku dari tempat ini.

******

Haaii
I come back.
Jujur, sbnarnya aku rada ga pede buat publish part ini. Tapi gpp lah ya?

Semoga ada yang suka.

Salam sayang,

Upinipin98

Rika's StoryWhere stories live. Discover now