Bagian 19

2.1K 106 0
                                    

Langit gelap menyambut saat tanganku menyibak kain yang menutupi jendela besar diruangan ini. Pepohonan tampak bergoyang di terpa angin. Daun-daun berguguran. Beterbangan di antara rimbunnya batang pohon disana.

Aku menghela napas. Menangis berjam-jam membuatku lelah lalu jatuh tertidur. Tapi setidaknya perasaanku sedikit lega setelah bercerita pada wanita yang membawaku kemari.

Ibu. Aku kembali teringat padanya. Pada tamparan serta tatapan kecewanya terhadapku. Aku durhaka. Tapi aku juga tidak salah berucap bahwa itu memang karma untuk laki-laki itu. Tapi, seharusnya aku tidak sekasar itu pada ibu. Dirinya pasti khawatir saat ini.

Pintu terbuka menampilkan sosok Friska yang tengah kerepotan membawa nampan di tangannya dengan sebelah kaki mendorong pintu agar terbuka lebar "nih makan dulu Ri, aku yakin pasti kamu belum makan dari pagi kan" ujarnya sambil meletakkan nampan itu di meja.

Aku menatap makanan itu sebentar "aku tidak lapar" kataku kemudian. Masalah yang bertubi datang mengurangi nafsu makanku. Makanan lezat yang di bawakan Friska pun sama sekali tak membuatku lapar.

Friska menghampiriku, menepuk bahuku "aku tau itu berat tapi setidaknya kamu makan dulu. Wajah kamu pucat Ri, kamu bukan robot kamu juga butuh energi agar bisa menyelesaikan masalah ini"

Kuhela napas sejenak "aku capek Fris. Semua orang di dunia seakan tak ingin melihatku bahagia"

"Rika coba kamu lihat ke depan" dengan bingung aku mengikuti ucapannya "jika manusia tertawa melihatmu bersedih coba kamu lihat alam sekitarmu. Melihatmu bersedih alam pun menangis" sambungnya dan perlahan tetes-tetes air hujan mulai turun.

"Tidak lucu Fris, manusia yang memiliki perasaan pun tak ingin ikut bersedih denganku apalagi alam." Aku tertawa sumbang. Tak mengerti dengan jalan pikiran temanku ini.

"Sudahlah, habiskan makananmu. Aku di lantai atas kalau kamu mencariku"

Friska pergi begitu saja. Meninggalkanku dengan perasaan yang kembali berkecamuk. Friska memang benar, aku butuh energi untuk menyelesaikan masalah ini.

Aku sedikit terlonjak mengingat sesuatu yang terlupa. Segera aku mencari keberadaan ponselku yang entah dimana. Mungkin tertinggal di mobil, pikirku.

Niatanku untuk menaruh piring di dapur ku urungkan saat telingaku menangkap suara tawa dari lantai atas. Keningku berkerut, Friska tertawa dengan siapa? Dirumah ini hanya ada aku dan dia.

Perlahan aku melangkah. Menaiki satu persatu anak tangga dengan pelan. Suara derasnya hujan semakin menyamarkan derap langkahku. Jantungku berdegup kencang mendengar Friska menyebut nama seseorang.

"Bagaimana? Tawaran yang bagus bukan?" Tawaran apa yang dia maksud? Dan mengapa aura wanita itu mendadak menyeramkan?

"Haha sudah ku duga. Kamu masih Kevin yang dulu, tetap mencintai wanita sialan itu" wanita sialan? Siapa? Langkahku semakin dekat. Kulihat Friska berdiri menghadap jendela dengan ponsel di telinganya.

"DIA MEMANG WANITA SIALAN! Dia merebutmu dariku. Dengar Vin, dia bersamaku. Aku bisa melakukan apapun yang aku mau termasuk melenyapkannya"

Friska membalikkan tubuhnya dan terkejut mendapati ku yang berdiri di ambang pintu dengan bingung. Matanya berubah tajam menatapku dengan kilat kebenciam.

"Sudah mendengar semuanya, heh?" Sindirnya sambil berjalan mendekat.

Aku menatap tangannya yang menggenggam ponselku "tidak. Ponselku kenapa ada padamu?" Tanyaku

Tawa sinis terdengar. Friska melempar ponsel ke arah kakiku dengan kasar "apa yang kamu lakukan?" Tanyaku memandang ponsel kesayanganku sudah terpecah belah.

"Bukan hanya sebuah ponsel yang ku singkirkan. Tunggu giliranmu Riri"

"Siapa kamu sebenarnya?"

"Lupa padaku, heh?" Tanyanya balik. Friska berjalan melewatiku membuatku membalikkan tubuhku. Mengikuti langkahnya ke ujung lorong.

Friska membuka sebuah pintu besar yang terlihat kokoh. Ukiran-ukiran klasik menjadi daya tarik pintu itu. Tak jauh berbeda, keadaan di dalam ruangan lebih terlihat menarik. Sebagian besar lemari kaca berisi buku-buku ukuran tebal. Meskipun ragu namun aku mengikuti Friska, duduk bersebrangan dengannya yang sedang mencari-cari sesuatu di laci meja.

Keningku berkerut saat Friska menyodorkan amplop berwarna coklat "apa ini ?" Tanyaku

"Lihat saja"

Jantungku berhenti berdetak. Mataku menatap wajah wanita di depanku dengan seksama. Pikiranku mulai berkelana, mencoba mengingat kembali sesuatu yang pernah terlupa.

Aku memejamkan mata saat bayangan hitam serta sakit di kepala mulai terasa. Aku berharap aku bisa mengingatnya. Mengingat kejadian beberapa tahun lalu agar aku tau siapa wanita ini sebenarnya.

***

Merasakan cinta. Merasa di cinta dan mencinta adalah satu hal yang sulit bahkan tak bisa di pisahkan dalam kehidupan. Begitupun yang tengah dirasakan gadis berambut panjang itu.

Hatinya berbunga. Teramat bahagia rupanya seorang laki-laki yang di cintainya juga memiliki perasaan yang sama. Bom cinta itu meledak-ledak dalam dada saat laki-laki itu bersimpuh di depannya, memintanya untuk menjadi kekasih laki-laki itu.

Jelas tak akan ada penolakan. Gadis itu menerimanya dengan senang hati. Menjalani hari-harinya dengan laki-laki itu. Tertawa bersama. Sampai suatu hari tawa itu lenyap saat matanya menangkap bayangan kekasihnya berciuman dengan gadis lain.

Membuat darahnya mendidih. Hatinya tercabik. Terpecah dan semua pun tau bahwa kaca yang sudah pecah akan sangat sulit untuk di perbaiki. Namun yang membuat hatinya bertambah sakit adalah dia amat sangat mengenali gadis itu. Bukan kenal tapi gadis itu adalah sahabatnya.

Dia tak menduga. Tak mengira sahabat yang disayanginya bisa melakukan hal ini padanya. Dengan derai airmata dia meninggalkan tempat itu. Menaiki taksi yang tak hanya kebetulan lewat. Tangis yang tak kunjung berhenti membuatnya tak sadar bahwa taksi yang ditumpanginya telah berhenti di atas jalan berbukit. Tak menyadari sang sopir yang keluar mobil lalu mendorong mobil itu dengan perlahan.

Dan mobil itu pun bergerak tanpa di kendarai dengan gadis itu di dalamnya. Dan tak berapa lama suara teriakan serta benturan keras terdengar. Sebelum kedua mata itu terpejam masih dapat melihat bayangan seseorang yang tersenyum puas kearahnya.

***

"Ka-kamu.." tak dapat melanjutkan kata aku menatapnya tajam. Ditengah rasa pusing dan kepala berputar aku masih dapat melihat seringai liciknya.

Tarikan kuat di rambut membuat ku mendongak "sudah ingat padaku Riri?" Tanyanya

Pusing semakin menjadi membuat pandanganku mengabur. Penglihatanku seperti berputar-putar. Bergoyang membuatku segera memejamkan mata.

"Apa yang kamu mau dariku Tia?" Tanyaku membuatnya tertawa keras.

Tubuhku menegang saat sebuah benda dingin menyentuh pipi. Aku menatapnya tak percaya "ka-kamu mau apa Ti?" Tanyaku lagi.

bayangan buruk mulai melintas. Bagaimana jika aku berakhir disini? Ikatan di tangan terasa perih. Tapi hatiku jauh lebih perih. Wanita yang ku kira benar menganggapku teman ternyata malah sebaliknya.

Tia. Aku sudah mengingatnya. Mengingat masa dulu persahabatan kami bertiga di masa SMA. Dan mengingat penghianatannya waktu lalu.

Tapi satu hal yang tak bisa ku ingat. Siapa laki-laki yang berciuman dengan Friska? posisinya yang membelakangi membuatku tak bisa melihat wajahnya.

Benda tajam itu menekan pipiku semakin membuatku memejamkan mata "siap untuk menyusul ayahmu?"

Secepat kilat mataku terbuka "apa maksudmu?!" Tanyaku setengah berteriak.

Tawanya terdengar "kamu akan bertemu dengan ayahmu di neraka"

***

Gak tau nulis apaan

Banyak pikiran. Buka wattpad dan tarrraaaa.. beginilah hasilnya.

Semoga masih ada yang mau baca.

Rika's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang