Bagian 22

1.7K 80 1
                                    

Tatapanku kosong. Jiwaku direnggut paksa. Sakit yang dirasa melebihi sakit yang saat itu kurasa. Menangis meraung dan menjerit-jerit tak bisa mengembalikan semua. Tinggalah penyesalan yang semakin menusuk hati.

Aku terdiam tak menghiraukan suara-suara yang bergantian mengisi telinga. Aku belum ikhlas melepasnya. Aku belum meminta maaf. Aku banyak dosa padanya. Aku durhaka pada ibuku sendiri. Setitik air jatuh tepat mengenai punggung tanganku.

Dadaku sangat sesak melihat wanita yang kusayang telah terbungkus kain putih. Wajahnya pucat pasi dengan tubuh dingin dan kaku. Semua karenaku. Karena diriku yang tidak mampu berdamai dengan orang itu. Dengan masa lalu.

Genggaman tangan menghangatkan kulit yang terasa dingin. Mata kehijauan itu menatapku lembut penuh kasih. Memberikan setitik ketenangan pada siapapun yang menatapnya "menangislah jika itu bisa membuatmu sedikit lega"

Bibirku terkunci rapat. Tetes demi tetes air mengalir seiring dengan langkah yang menjauh. Papan nisan sudah menancap di atas tanah berwarna merah. Kevin mendekapku semakin erat tak menghiraukan tatapan orang-orang.

"Kita pulang?" Kepalaku mengangguk sebagai jawaban.

Tanganku memutar kunci di pintu. Menjatuhkan diri di atas lantai dingin kamar. Bibirku masih tertutup rapat membiarkan airmata mengalir deras menuruni pipi. Menangis dalam diam menggambarkan kesakitan yang tak sanggup aku tahan.

"Sayang buka pintunya"

Ingin aku berteriak bahwa aku ingin sendiri. Tapi rasanya aku tidak mampu. Kupejamkan mataku membiarkan kegelapan membawaku ke suatu tempat.

"Sayang kemarilah" suara itu membuatku terpaku.

Aku menolehkan kepala berharap mataku dapat melihat pemilik suara itu. Aku mengharapkannya. Aku menginginkan ibuku kembali. Kepalaku menunduk. Aku menggigit bibirku kuat-kuat meredam suara tangis yang siap meledak.

Sentuhan lembut di bahu mengejutkan. Dengan cepat aku mengangkat kepala menatap seseorang di belakang yang tersenyum padaku.

"Ibu.." lirihku

Ibu mendekat. Menangkup kedua pipiku dengan tangannya yang terasa sangat lembut. Senyum indah terukir di wajahnya "tidak seharusnya kamu disini nak. Pergilah ikuti cahaya di depanmu" bibirku terkunci rapat. Bagaikan di lem tak bisa terbuka walau sekuat tenaga berusaha.

"Sayang, tidak ada waktu lagi. Pergilah seseorang menunggumu disana. Ingat, berdamailah dengan keadaan. Ibu menyayangimu nak"

Secepat kilat ibu menghilang terbawa asap putih. Seseorang menungguku? Dengan sendirinya kakiku melangkah mengikuti cahaya di depanku. Kali ini aku tidak akan membantah perintah ibu. Aku akan mengikutinya untuk menebus rasa penyesalan ini.

Senyuman manis menyambut ketika mataku terbuka. Kevin mengecup lembut keningku mengungkapkan rasa bahagianya melihat mata ini kembali menatapnya.

"Vin, dia butuh air bukan ciumanmu" Kevin mendelik. Menatap tajam Via yang terkekeh sambil menyodorkan segelas air.

"Setidaknya itu bisa membuatnya lebih tenang" sahut Kevin.

Aku berusaha bangkit dengan di bantu Kevin. Menerima gelas itu lalu meletakkannya setelah isinya kosong.

"Kalian sedang apa berkumpul disini?" Tanyaku menatap heran satu persatu mereka.

"Menjaga si putri tidur" jawab mereka bersamaan "putri tidur?" Tanyaku lagi

"iya. Tapi sekarang si putri tidur sudah bangun dan kami meminta ijin pada pangeran untuk beristirahat sejenak" perkataan pak Aji disambut dengan dengusan Kevin.

"maaf sudah merepotkan" ucapku tak enak hati melihat wajah-wajah lelah di depanku.

"that's not problem, babe. Mereka sangat baik mau membantu" Kevin mengusap punggung tanganku dengan lembut.

Kyla menghampiri. Merangkak ke ranjang lalu duduk di sampingku. Wajahnya menyiratkan kekesalan yang memuncak "kamu memang merepotkan, menyebalkan dan hampir membuat kita semua jantungan"

"Kyla" teguran dari Rio diabaikannya "aku akan membencimu kalau kamu berniat pergi sekali lagi. Aku menyayangimu ri. Kamu saudaraku. Sahabatku. Jangan pernah begitu lagi"

Tak kuasa aku menahan airmata. Aku dan Kyla berpelukan. Sama-sama menangis menumpahkan rasa yang kami punya.

Suasana mellow berganti komedi saat tangis sahabatku semakin kencang mengundang tawa dari makhluk yang duduk di sudut kamar. Kyla melepaskan pelukan lalu menatap Rio dengan jengkel.

"haha tangisan lo lebih mirip babi kentut" aku dan yang lainnya berusaha kuat menahan tawa. Dengan cepat sahabatku meraih bantal dan melemparkannya pada Rio yang tak berhenti tertawa.

"Rio sialan. Awas lo!" Kyla mengejar Rio yang sudah dulu berlari dan pecahlah tawa yang sudah kami tahan.

"yasudah. Kita pulang dulu. Kalau ada apa-apa langsung telpon saja" aku mengangguk sedangkan Kevin beranjak mengantar mereka ke depan "sebentar ya" ujarnya sebelum berlalu.

Hari yang cerah dengan hati yang berbunga adalah perpaduan yang pas. Kesedihan itu masih ada. Namun aku tak mau memperlihatkannya dan mendapat tatapan iba dari orang-orang. Aku tak ingin seperti itu.

Tanganku bergerak menuntun pensil diatas kertas. Membentuk desain-desain yang sudah sejak tadi terbayang. Ketukan pintu mengintrupsi kegiatanku. Pintu terbuka sebelum bibirku bicara.

Tanganku mengepal melihat kakakku menggandeng seorang wanita. Mulutku terkunci rapat tak membalas sapaan mereka.

"kakak bawa makanan kesukaan kamu nih dek. Kamu belum makan siang kan?" mau tak mau aku bangkit berjalan menghampiri Rio dan menerima bungkusannya.

Kami duduk disofa yang berseberangan. Tatapan sepasang mata hitam tak ku hiraukan. Luka yang ditorehkan Belum sembuh sepenuhnya.

"Kevin belum datang?" aku hanya mengangguk tak berniat untuk bicara. Memfokuskan diri pada sepiring ketoprak yang sangat menggoda.

Aku tersenyum lebar mendapati Kevin tengah membuka pintu. Berjalan menghampiri dengan seulas senyum yang selalu kusuka.

Aku tidak bisa marah dengan pengakuan Kevin waktu lalu. Aku justru merasa terharu dan bahagia karena dia masih memepertahankan cintanya untukku meskipun sudah bertahun-tahun terpisah. Aku sangat bahagia. Merasa di miliki dan di inginkan.

"baru datang bro?" perkataan Rio tidak seperti biasanya. Nada suaranya terdengar sedang menahan emosi dan raut wajahnyapun menunjukkan hal sama.

Kevin tersenyum tipis kemudian duduk disampingku setelah mengecup pipi "iya, tadi ada urusan sebentar jadi baru bisa datang."

"aku pikir kamu belum makan siang" aku menyengir lebar "udah lapar banget jadi ya aku makan aja. Kamu sudah makan belum?" tanyaku

Kevin mengangguk pelan. Perhatian kami beralih pada pasangan yang duduk di depanku "kakak mau kemana?" tanyaku melihat Rio dan Sandra berdiri

"Sandra ada pemotretan sebentar lagi jadi kami harus pergi." aku menatap malas Sandra yang tersenyum kaku.

"yasudah"

"gue duluan Vin. Ingat jaga adek gue" Kevin tersenyum tipis menyambut uluran tangan Rio "pasti"

"aku bukan anak kecil lagi kak" gerutuku

Rio mengacak rambutku dengan gemas "kakak tau tapi kamu tetap harus dijaga supaya kejadian waktu itu tidak terulang lagi" ucapan Rio membuatku menunduk.

Memutar kembali ingatan beberapa waktu lalu. Keras kepala dan kecerobohanku selama ini memang selalu membawaku pada akhir yang kurang baik.

Sebuah pelukan menyadarkanku "sudahlah. Pintu rumah kami selalu terbuka untukmu. Papa dan mama pun menunggu" bisik Rio kemudian melepaskan pelukannya dan berlalu bersama tunangannya.

Kevin merangkul bahuku dan mengusapnya lembut mengalirkan ketenangan diri "tidak perlu terburu-buru. Pikirkanlah jangan sampai membuatmu jadi tidak tenang"

Aku menganguk. Menyandarkan kepalaku di bahunya. Aku sedang berusaha untuk menerima kehadiran mereka sesuai dengan permintaan ibu. Tapi kalau untuk tinggal bersama aku belum yakin.

***

Rika's StoryWhere stories live. Discover now