bagian 5

5.2K 178 13
                                    

Bola mataku melirik segala arah. Tak tahu sikap apa yang mesti ku tunjukkan pada wanita yang sedang berjalan dengan raut tak terbaca. Ingin rasanya aku menghilang saja. Mataku dengan sendirinya melirik kekasih wanita itu yang masih betah berdiri disampingku. Bahasa tubuhnya sama sekali tidak menunjukkan ketegangan malah terlihat santai. Aku seperti wanita iblis di lingkaran ini. Ah otakku, selalu saja berpikir terlalu jauh.

Menurut cerita yang aku dengar dari Sandra, Via adalah wanita yang posesif dan akan sangat marah jika miliknya disentuh orang lain. Yaa bisa di simpulkan wajah malaikat bisa menipu siapa saja. Via semakin mendekat, perlahan bibirnya membentuk senyum. Sedikit terkejut  sebenarnya karena wanita ini tak mencabik wajahku atau setidaknya memakiku dengan kata-kata pedas.

"Aku senang ternyata Rika yang di maksud om Aji adalah kamu. Rika yang ku kenal"  kata-katanya memecah kebisuan. Suaranya terkesan lembut dan ramah tanpa dibuat-buat. Sekarang aku jadi meragukan cerita Sandra tentang wanita ini.

Aku membalas senyumnya dengan canggung "iya. Jadi kamu adalah tamu penting itu sekaligus keponakannya pak Aji?"

Via menganggukan kepalanya "hehe...iya. Om Aji adik dari ibuku"

Keningku semakin berkerut mendengar jawaban Via. Bukankah keluarga Adinata tidak ada yang menikah dengan orang luar kecuali wanita ini. Hmm sudahlah bukan urusanku juga.

Tatapan Via beralih pada laki-laki disampingku. Keningnya berkerut bingung "bukannya tadi kamu bilang mau balik lagi ke kantor"

"Kebetulan aku ada urusan dengan Rika.." tukas Rio cepat.

"Rika?" Tanyanya lagi seolah meyakinkankan diri

Rio berdehem sejenak "iya Rika. Mana mungkin aku memanggilnya dengan sebutan mbak apalagi bu" ucap Rio

Aku hampir tartawa mendengar ucapan Rio yang lebih mirip disebut candaan. Selama aku bekerja di peruasahaan ini laki-laki yang masih ada dihatiku itu tak pernah sekalipun memanggilku dengan embel-embel mbak ataupun bu.

Aku berdehem cukup keras untuk mengalihkan perhatian mereka yang masih berputar tentang Rio dan sahabatku. Itu membuatku terasa terbakar "apa kalian tidak capek berdiri terus? Lebih baik duduk dulu sambil minum teh atau kopi mungkin.." ujarku memandang mereka satu persatu. Kakiku juga terasa pegal tak sabar menunggu mereka selesai bicara.

Rio secara cepat menatapku "aku tidak bisa Ri, aku harus menjemput Sandra" ujarnya dengan raut bersalah.

Aku mencoba tersenyum. Meski aku ingin dia berada disini namun aku tak berhak melarangnya. Siapalah aku baginya "tidak apa. Sampaikan salamku pada Sandra."

Kepalanya mengangguk. Bibirnya hampir saja menyentuh keningku kalau saja tidak ada deheman yang mengganggu. Rio tampak biasa saja lain halnya denganku yang tampak sebaliknya. Bagaimana tidak, sepeninggal mantan kekasihku pasangan yang sebentar lagi akan menikah ini menatapku dengan tajam.

"Kenapa?" Tanyaku sok polos.

Kevin mengalihkan tatapannya sedangkan kekasihnya masih saja menatapku membuatku semakin risih.

"Aku heran. Bukannya tadi malam kalian terlihat seperti orang yang tidak saling mengenal dan tadi aku melihat kalian begitu akrab?" Ujarnya menyerupai pertnyaan

"SudahlahVi, lagipula itu bukan urusan kita" kata-kata yang di ucapkan Kevin sedikit membuatku lebih tenang menghadapi kekasihnya yang masih saja mencurigaiku.

Hampir tiga jam lamanya kami membahas masalah gaun yang akan dikenakan Via pada acara pernikahan nanti. Cukup banyak maunya. Kekasihnya sesekali menegurnya jika terlalu berlebihan. Di detik-detik akhir saat semuanya hampir rampung di bicarakan mata Via tak sengaja menatap sebuah kertas yang ku letakkan asal di meja. Wanita itu merengek meminta bahkan akan membeli desain gaun yang ku kerjakan beberapa hari lalu dengan harga yang fantastis. Aku menolak tawarannya dengan tegas. Namun kalimat yang di bisikkannya ke telingaku saat kekasihnya sedang tak ada membuatku harus dengan ikhlas memberikannya. Aku menghela napas berat. Semua bertambah rumit.

Rika's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang