Bagian 21

1.9K 86 0
                                    

"dan aku ingin kamu tau tentangku sebelum bertemu denganmu. Ak-aku masih memikirkan laki-laki yang pernah menjadi cinta pertamaku di SMA"

Tubuh Kevin menegang membuatku semakin mengeratkan pelukan. Aku berharap Kevin tak meninggalkanku.

"Apa kamu masih mencintainya?" Pertanyaan Kevin yang membingungkan. Jawaban seperti apa yang harus ku lontarkan.

"Maafkan aku. Entahlah, memikirkannya membuatku berdebar."

Lingkaran tangan di pinggang membuatku mendongak. Menatap mata hijau yang kembali memancarkan kelembutan. Senyum tulus mengembang di bibirnya yang kemerahan.

"Aku juga ingin kamu tau bahwa akulah laki-laki yang menjadi cinta pertamamu di SMA" penjelasannya membuatku diam tak berkutik. Tanganku yang tadi melingkari pinggangnya mengendur perlahan.

Tangan Kevinpun terlepas dari pinggangku. Tubuhku mundur perlahan saat bayangan buram disertai sakit kepala kembali menghampiri. Mataku tetap memandang Kevin walaupun kini bayangannya dimataku ada dua dan tak begitu jelas.

"Rika kamu kenapa?" Kevin mendekat menuntunku untuk duduk di sofa.

Matanya menatapku lekat menampilkan raut bersalah "maafkan aku" ujarnya

Tanganku terangkat menangkup pipinya dengan senyum tulus yang ku perlihatkan "aku yang seharusnya minta maaf. Aku tidak bisa mengingatmu, mengingat hari-hari itu"

"Jangan dipaksakan. Aku takut itu akan menyakitimu. Maaf karena aku membuatmu melupakan kita"

Kepalaku mengangguk menatap matanya yang kehijauan yang takkan pernah bosan kulakukan "satu hal yang bisa kuingat.." kataku menarik perhatiannya "matamu dan tatapan cinta yang hanya ditujukan padaku" senyum lebar menghiasi wajah tampannya.

Kevin mendekatkan wajahnya. Membisikkan sebuah kalimat yang takkan bosan ku dengar "aku mencintaimu Rika Anastasya, sangat"

Jariku mengusap cincin yang terselip di jari manis yang baru dua jam lalu di sematkan calon suamiku. Menyebutnya sebagai calon suami membuat darahku berdesir hebat. Tak pernah sekalipun aku bermimpi akan di lamar seorang Kevin Marku. Laki-laki hebat dengan segudang prestasi yang diraih. Dan aku yakin sebentar lagi para penggemarnya akan menguburku hidup-hidup saat tahu kami akan menikah.

Aku menghela napas terlupa akan sosok kedua orangtuanya. Kegugupan melanda setelah Kevin mengatakan akan secepatnya mengenalkanku pada orangtuanya. Sungguh, aku tidak percaya diri berhadapan dengan mereka yang semua orangpun tau keluarga Marku adalah orang terpandang. Disegani semua orang.

Berbanding terbalik dengan keluargaku yang sudah hancur. Dengan asal usulku yang hanya seorang anak selingkuhan.

Ketukan pintu terdengar bersamaan dengan helaan napasku yang entah sudah keberapa "masuk saja" ujarku

Pintu terbuka menampilkan sosok wanita cantik yang harusnya sudah kuperkirakan akan kesini. Dengan senyum malaikatnya Via menghampiriku yang hanya bisa menahan napas. Dadaku sesak karena rasa bersalah yang menumpuk.

"Boleh aku duduk?" Suara lembutnya mengejutkan. Dengan kaku aku menganggukkan kepala.

Masih dengan senyum tersungging Via memandangku "apa kabar? Maaf waktu itu aku sedang di London jadi aku tidak tahu kalau-"

"Tidak, tidak apa-apa. Itu bukan masalah" selaku cepat

Kami terdiam cukup lama. Suasana canggung menguasai membuatku bingung untuk membuka percakapan.

"Ri.."

"Ya?"

"Sebenarnya aku kesini untuk memberikan ini" Via memberikan sebuah undangan berwarna merah maroon yang sepertinya undangan pernikahan.

Tawa kecil terdengar dari depanku "kamu sangat lucu. Pantas saja Kevin tidak bisa berpaling" keterkejutanku berubah menjadi malu. Semburat merah menghiasi pipi membuat Via semakin tertawa.

Aku meletakkan undangan yang membuatku terkejut itu di meja. Menatap Via dengan penasaran "bagaimana bisa? Bukankah kalian itu saudara? Paman dan keponakan?" Tanyaku

"Ceritanya cukup rumit. Tapi yang jelas om-mas Aji bukan paman kandungku" jelasnya "oh, jadi mas nih.." godaku yang membuat pipinya memerah.

"Em Vi.." panggilku pelan

"Ya?"

Aku menatapnya dengan perasaan bersalah. Aku begitu bodoh mengira malaikat di depanku adalah iblis "maaf ya, aku sudah menuduhmu macam-macam."

Via menggenggam tanganku masih dengan senyum yang terukir "it's oke, itu tidak masalah" ujarnya yang malah membuat rasa bersalah semakin menjadi.

"Hey, Ri look at me. Jangan menangis dong, aku tidak apa-apa. Lagipula itu cuma salah paham. Aku tahu kok, kamu bilang begitu karena rasa marah. Cemburu melihatku berciuman dengan Kevin waktu di lift"

Aku mendongak cepat "bu-bukan begitu" sergahku yang malah membuatnya tertawa. Tawa menyebalkan yang baru kali ini kudengar darinya.

Bibirku mengerucut sebal "bagaimana aku tidak cemburu melihat kalian berciuman? Sebelum itu laki-laki menyebalkan itu sudah menciumku. Aku kesal padanya. Memainkan hati wanita saja"

"Tapi pilihannya hanya kamu. Haha.. aku minta maaf oke? Waktu itu hanya akting. Aku memaksanya agar si laki-laki tua itu cemburu"

"Siapa itu laki-laki tua?"

Terkejut kami menoleh kearah pintu bersamaan. Via meringis memandangku dengan penuh permohonan.

"Siapa yang?" Tanya pak Aji sekali lagi.

Aku menyembunyikan senyum dengan menundukkan kepala. Tidak salah sebenarnya Via mengatakan pak Aji tua. Karena itu kenyataan. Haha

"Saya permisi dulu" kataku yang mendapat anggukan dari pak Aji "selamat menikmati waktu bersama laki-laki tua Via" bisikku di telinga Via yang rupanya juga di dengar orang di sebelahnya.

"Rika" tawaku pecah seiring dengan langkahku yang semakin cepat. Pasangan serasi. Menggeram pun bersamaan.

Keningku berkerut melihat beberapa orang berlarian kearah jalan. Rasa penasaran membawa langkahku keluar. Tanganku menepuk punggung salah satu karyawan yang ikut berdesakan "ada apa?" Tanyaku

"Kecelakaan bu. Seorang ibu-ibu tadi di tabrak. Sepertinya sengaja" perasaanku mendadak tak tenang. Teringat ibu dirumah.

Aku meminta beberapa orang untuk sedikit bergeser. Memberikan celah untukku melihat pemandangan yang ku sesali seumur hidup.

"Ibu.."

***

Rika's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang