Bagian 20

2.3K 102 0
                                    

Mual langsung mendera melihat darah menggenang di lantai putih di bawah kaki ku. Perlahan tubuh wanita di hadapanku ikut meluruh ke lantai. Tergeletak dengan mata terpejam dan bibir bergetar.

"Sialan" umpatan itu keluar dari bibirnya.

Aku mengalihkan pandangan. Menatap seseorang di ambang pintu lengkap dengan senjata yang baru saja di pakainya. Tergesa wanita itu menghampiriku yang masih terpana "cepat Ri, kita tidak punya banyak waktu. Simpan semua pertanyaanmu itu nanti. Ayo" ujarnya

Kami berlari menjauh dari ruangan itu. Semakin cepat berlari saat terdengar suara mobil dari depan rumah "itu pasti Kevin" seruan Kyla membuatku semakin mempercepat lari.

Keberuntungan sedang tak berpihak padaku. Perkiraan Kyla meleset bukan Kevin yang datang tapi tiga orang laki-laki bertubuh besar dengan raut sangar. Kyla segera menarikku yang terdiam sebelum tiga laki-laki itu menyadari kehadiran kami.

"Apa yang harus kita lakukan La?" Kyla menolehkan kepalanya menarikku mendekati jendela yang terbuka "tidak ada pilihan lain" ujarnya sambil membuka jendela agar lebih lebar

"Ayo cepat Ri" aku melepaskan tangannya dengan kasar. Lompat dari lantai dua rumah ini sama saja bunuh diri.

"Gue belum mau mati La. Mati sama sekali tidak menyelesaikan masalah" ujarku membuatnya menatapku bingung

"Lo gila ya Ri gajakin gue berdebat disaat seperti ini? Kita tidak punya banyak waktu ayo cepat" katanya sedikit membentak

Aku memejamkan mata. Berdoa sekiranya Tuhan masih sudi memberiku satu nyawa lagi "cepat Ri, pegang ini dan hati-hati" Kyla berkata seiring dengan suara derap langkah beberapa orang yang terburu.

Tidak ada jalan lain. Aku mengikuti perintah Kyla dengan jantung berdebar. Setidaknya Kyla tak mengajakku untuk terjun namun turun dengan seutas tali yang di ikatnya. Hembusan napas lega keluar saat kedua kakiku menginjak tanah basah. Kyla segera mengikutiku "ayo" ajaknya lagi sambil menarikku.

Berjalan mengendap berharap tak ada yang melihat. Baru beberapa langkah sebuah suara menghentikan kami "hei, mau kemana kalian!"

Tanpa banyak bicara Kyla menarikku lagi. Berlari secepat yang kami bisa agar tak tertangkap laki-laki sangar itu "jangan menoleh, mobilku ada di ujung gang" seruan Kyla membuatku mengurungkan niatanku untuk menengok ke belakang.

Setelah masuk dan pintu mobil tertutup rapat Kyla mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh. Kepalaku menoleh ke belakang melihat beberapa laki-laki itu berbalik ke arah rumah besar itu.

"Apa sih yang kamu pikirkan sampai mau di bawa ketempat itu? Ini jauh dari keramaian Ri, sangat jauh. Mana Kevin dan sepupu sialan itu tak kunjung datang lagi. Dasar lelet"

Aku menatap sahabatku dengan ngeri, sosoknya saat ini terlihat berbeda dari sebelumnya "aku tidak tau kejadiannya akan seperti ini. Aku hanya ingin menenangkan pikiran mangkannya aku datang ke tempat itu. Aku pikir.." aku tak melanjutkan kata-kataku.

Semua terasa menyakitkan. Apa sebenarnya salahku yang membuat mereka semua memusuhi bahkan membenciku. Berniat membunuhku dengan perlahan agar lebih menyakitkan. Sungguh, aku tidak tau dimana letak kesalahan yang ku buat.

Sentuhan di bahu membuat airmata kembali merembes. Membasahi wajahku yang sudah membengkak akibat lamanya aku menangis "tidak semua membencimu Ri, aku menyayangimu dan akan berada di sampingmu."

Seminggu sudah berlalu. Hubunganku dengan ibu tidak juga membaik. Ego masih menguasai kami. Apalagi di tambah dengan ibu yang mendadak jadi pendiam semenjak laki-laki brengsek itu meninggal membuat kekesalanku semakin menjadi. Bukankah laki-laki itu pantas menuai sesuatu yang dia tanam?

Kabar yang di ceritakan Kyla sedikit membuatku terkejut. Tembakan yang di layangkan sahabatku seminggu lalu membuat Tia harus kehilangan salah satu kakinya. Pertolongan terlambat adalah alasan utama. Miris sekali.

"Sayang.." panggilan dari depan membuatku mendongakkan kepala.

Kevin dengan senyumannya menghampiriku. Dipeluknya tubuhku dari samping "sedang apa?"

Aku menyandarkan kepalaku di bahunya yang akan selalu jadi kesukaanku "apa tidak ada kerjaan lain selain mengawasiku?" Bukannya marah Kevin malah tertawa "pekerjaanku ya disini menjaga kekasih tercinta. Kamu tau aku sangat mencintaimu dan aku tidak ingin hal waktu itu terjadi lagi.

"Tapi kamu bukan penjagaku Vin."

"Tapi kamu adalah seseorang yang wajib ku jaga"

Aku hanya tersenyum mendengarnya. Kejadian seminggu lalu memang membuatnya jadi lebih berjaga-jaga.

Kevin mengambil sesuatu dari balik saku jasnya. Mulutku setengah terbuka melihat sebuah kotak beludru berwarna putih di tangannya. Kevin berjongkok di hadapanku. Membuka kotak itu sambil menatapku "aku bukan seorang yang sempurna. Aku juga bukan seorang yang pandai merangkai kata." Kevin berdehem sejenak "Rika Anastasya, will you marry me?"

"Tidak" jawabku lantang membuatnya membeku "aku tidak mau Vin sebelum semua masalah ini selesai" lanjutku yang langsung membuatnya tersenyum lega

"Aku bisa mati berdiri kalau kamu menolakku" ujarnya membuatku terkekeh pelan "aku tidak akan pernah menyiakan laki-laki sepertimu. Love you" kataku pelan.

"Love you too sweety"

Bibirku tersenyum senang. Laki-laki yang ku pikir orang asing rupanya mampu mengalihkan hatiku. Cinta yang ku kira tak bisa berpaling nyatanya berlabuh pada lain hati. Aku tidak tau sebesar apa cinta yang telah tumbuh dihati tapi yang jelas aku mencintainya melebihi rasaku pada kakak ku dulu.

Aku menghentikan Kevin yang hendak memasangkan cincin berlian cantik ke jariku " tidak sekarang Vin. Belum waktunya aku memakainya" tatapan lembut Kevin berganti dengan kekecewaan.

Tubuhnya berdiri tegak sambil menutup kotak itu lalu meletakkannya di meja dengan sedikit kasar "aku ke ruangan Aji dulu" katanya dan berbalik pergi.

Aku segera mengejarnya. Bukan seperti ini yang ku mau " tidak bukan begitu maksudku Vin.." ujarku berusaha menahannya agar tidak pergi

"Lalu apa yang kamu maksud? Kamu tidak mau memakai cincin pemberianku karena tidak rela melepaskan cincin dari laki-laki itu maksudmu? Ah, aku tidak mengira" Kevin mengusap wajahnya dengan kasar

Aku tersentak oleh ucapannya. Mataku menatap jari yang terpasang cincin dari Rio.Tidak. Bukan begitu. Bukan itu yang ku maksud. Aku ingin mengatakannya namun tenggorokanku terasa tercekat. Aku tak bisa mengatakannya. Kepalaku menggeleng kuat-kuat menyangkal ucapannya.

"Aku tidak mengira rupanya kamu masih mencintai laki-laki itu" ujarnya lagi membuatku seperti di tusuk ribuan jarum. Pikiran Kevin terlalu dangkal mengiraku begitu.

"Vin.."

"Kamu masih mengharapkannya"

"Vin.."

"Kamu tidak mencintaiku"

"Vin.."

Matanya menatapku dengan sorot kecewa "dan kamu tidak mengharapkanku"

"Kevin" sentakku membuatnya terdiam. Kesempatan ini kugunakan untuk mendekatinya lalu memeluknya erat. Hatiku kosong tak mendapat respon apapun darinya.

"Dengarkan aku dulu" pintaku lirih "aku mencintaimu Vin dan aku sudah melupakan Rio. Tapi itu saja belum cukup, aku dan kamu sama-sama memiliki masa lalu. Dan kita belum sama tau tentang masa lalu itu."

Aku terdiam. Aku tau kalimat selanjutnya yang terucap akan menyakiti perasaan laki-laki yang kucinta. Tapi aku harus mengatakannya. Aku memejamkan mata dan menarik napas sebelum bicara "dan aku ingin kamu tau tentang ku sebelum bertemu denganmu. Ak-aku masih memikirkan laki-laki yang pernah menjadi cinta pertamaku di SMA."

****

Rika's StoryHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin