Bagian 9

2.2K 112 0
                                    

Pusing masih sedikit terasa saat mataku terbuka. Niko yang berada tak jauh dari ranjang tempatku berbaring dengan cepat berjalan mendekat. Kekhawatiran terlihat jelas dari wajahnya.

"Kepalanya masih sakit?" Tanyanya sambil mengelus kepalaku yang ku jawab dengan anggukan.

"Yasudah, kakak panggil dokter dulu ya"

Setelah punggung Niko tak lagi terlihat aku baru menyadari kalau aku sendirian. Aku tak tahu kemana mereka semua pergi. Ingatanku hanya berputar pada kejadian beberapa jam yang lalu. Aku masih mengingat dengan jelas tatapan tajam sepasang mata berwarna hijau terang itu. Akupun tak mengerti mengapa wanita paruh baya itu memandangku seperti itu. Yang aku tahu kami belum pernah bertemu sebelumnya.

Suara langkah kaki membuatku menoleh. Niko datang bersama seorang dokter. Dokter muda yang kutebak usianya masih sekitar tiga puluh tahunan itu tak banyak bicara. Hanya memintaku untuk tak banyak berpikir dan istirahat total. Banyak pertanyaan menghantuiku hingga tanpa sadar aku menyuarakan isi kepalaku.

"Apa aku pernah hilang ingatan kak?"

Niko menatapku sedikit terkejut namun perlahan melembut "ingat kata dokter tadi jangan terlalu memikirkan sesuatu"

"Aku hanya bertanya" balasku sedikit emosi

"Tidak sekarang Rika. Kamu butuh istirahat, sekarang tidurlah. Kakak pulang dulu sebentar lagi mama dan papa datang"

Akhirnya kututup mulutku rapat-rapat memilih menuruti perintahnya. Benar katanya lebih baik aku istirahat daripada terus terjaga dan memikirkan hal itu yang membuat kepalaku sedikit berdenyut.

"Tidurlah. Besok kamu sudah boleh pulang dan kembali ke Jakarta"

Mataku terbuka kembali mendengar Niko yang kembali bersuara "jakarta?" Tanyaku memastikan bahwa indra pendengarku masih berjalan baik.

Niko mengangguk "iya, bukankah kamu sudah merindukan kekasihmu itu" katanya seringan kapas membuat mataku melebar.

"Aku tidak merindukannya" aku membuang pandanganku

"Hei, tidak perlu malu. Sudah sewajarnya kamu merindukan laki-laki itu"

aku memejamkan mataku rapat-rapat. Tak ku indahkan Niko yang masih setia bicara tentang laki-laki yang ku akui sebagai kekasihku. Aku berdoa semoga saja Niko tidak akan bertemu dengan Kevin.

Beberapa jam kemudian orang-orang yang sudah ku tunggu pun datang. Mama dan papa bergantian memelukku sambil mengucapkan maaf karena baru bisa melihatku. Sedangkan istri Niko hanya tersenyum padaku yang kubalas dengan senang hati. Aku bersyukur rupanya dia mempercayai kata-kataku.

Aku senang melihat kondisi papa yang semakin membaik. Berita bahagia bertubi-tubi menghampiri. Mulai dari papa yang sudah di perbolehkan pulang serta berita kehamilan kak Rana yang baru enam minggu.

Sisa hari kuhabiskan dengan menonton tv bersama kak Rana. Niko sedang mengantarkan orang tuanya kerumah.

"Maaf ya.."

Keningku berkerut mendengar kata maaf meluncur dari bibir kak Rana.

"Maaf selama ini aku membencimu, maaf atas sikapku selama ini, maafkan aku." Ulangnya dengan kepala menunduk

Aku bergerak menuruni ranjang dengan hati-hati kupeluk tubuhnya yang sedikit bergetar.

"lupakan saja kak. Aku sudah memaafkan kakak. Aku juga minta maaf selama ini memilih menghindar"

Kak Rana melepaskan pelukan kepalanya menggeleng "kamu tidak salah. Niko sudah menceritakannya tapi bodohnya aku malah mempercayai laki-laki tua itu hingga membuat Niko murka."

Mau tak mau aku juga terikut kesal mengingat kelakuan om Rizal. Entah salah apa yang ku perbuat sampai laki-laki itu begitu membenci ku.

"Hei."

Teguran dari belakang mengejutkan ku. Niko dengan santai memeluk istrinya setelah menaruh keranjang buah di atas meja. Tak tanggung-tanggung mereka berciuman di hadapanku yang segera memalingkan wajah. Pasangan ini tak tahu tempat sama sekali.

Pipiku tiba-tiba memanas mengingat saat di rumah sakit tempo hari aku juga melakukan hal yang sama. Lagi, diam-diam rasa rindu menyelemuti.

Rika's StoryWhere stories live. Discover now