Bagian 26

2K 86 3
                                    

Matahari masih tampak malu-malu saat aku terbangun. Aku tersenyum, ini adalah tidurku yang paling nyenyak selama beberapa hari belakangan ini. Kubuka jendela yang terbuat dari kayu ini dan melihat betapa indahnya air laut yang bercahaya terkena pancaran sinar matahari.

Sosok kecil sedang berjongkok menarik perhatian. Aku melangkahkan kakiku keluar setelah mencuci wajah serta menggosok gigi. Kevin masih tertidur disofa saat aku melewatinya. Kasihan sebenarnya melihat Kevin tidur di sofa. Tapi mau bagaimana lagi, tidak mungkin aku memintanya tidur di ranjang yang sama denganku.

Sosok kecil itu masih bertahan dalam posisi jongkoknya. Ku tepuk bahu anak laki-laki itu pelan "hei, sedang apa?" Sapaku membuatnya mengangkat kepala.

Aku sedikit terkejut mendapati ternyata anak ini tengah menangis. Memberikan senyum terbaikku tanganku mengusap rambutnya yang ikal "nama kamu siapa? Kenapa kamu nangis?" Tanyaku

Mendapati matanya menatapku penuh antipati aku segera bicara "tenang saja. Tante tidak akan menyakiti kamu. Nama tante Rika. Nama kamu siapa?"

"Sandi" cicitnya membuatku tersenyum "nama yang bagus. Kenapa kamu nangis?"

Airmata kembali mengalir dipipinya yang gembil "ma..ma..pa..pa.."

Aku mencoba mendengarkan dengan baik "mama papa?"

Kepalanya mengangguk pelan disela tangisan "me..reka bertengkar lagi. Papa membawa mama baru buat Sandi" ucapannya sontak membuatku terkejut.

"Sandi sedih karena papa membawa mama baru untuk Sandi?" Tanyaku dengan perasaan tak menentu.

Kepalanya yang mengangguk di sertai tangisan yang semakin kencang membuat hatiku ikut tersayat. Kesedihan yang dialami anak kecil ini menyadarkanku harus segera menghapus rasaku untuk ayah Syifa.

Ayah Syifa.

Kekuatan dari mana sampai aku bisa menyebutnya seperti itu.

Aku memeluk tubuh kecil Sandi "orang dewasa memang sulit di mengerti ya tan? Aku tidak mau jadi dewasa"

"Jadi dewasa itu enak loh, roda terus berputar San dan kehidupan terus berjalan. Suatu saat nanti kamu akan mengerti dengan permasalahan orang dewasa." Kataku menerbitkan senyum indah di bibir merahnya "Nah, sekarang kita main yuk. Kalau sedih terus nanti bisa cepat tua. Sandi tidak mau punya keriput di wajah kan?" Tanyaku sontak membuatnya tertawa

"Sandi tidak mau tan. Yuk, main. Buat istana pasir tante bisa tidak?"

"Bisa dong"

Aku ikut cemberut menatap Sandi yang terus menertawakanku. Ku jatuhkan tubuhku di atas pasir putih dan melipat tanganku di depan dada. Istana pasir yang kuanggap sangat mudah membuatnya ternyata sangat sulit.

Tanganku memang ahli mendesain tapi tidak untuk membuat istana pasir yang di inginkan bocah ini.

"Sudah deh. Jangan tertawakan tante terus" rajukku yang sontak membuat tawa Sandi mengeras.

Beberapa menit tertawa akhirnya Sandi menghentikan tawanya. Berjalan mendekat lalu mencolek pipiku dengan telunjuknya yang di penuhi pasir.

"Sandi kok nyebelin sih?" jeritku sambil mengusap pipiku yang kotor.

Bocah itu malah menunjuk wajahku sambil tertawa "haha tante lucu seperti anak kecil"

Mau tak mau aku juga ikut tertawa melihatnya sesenang ini. Aku mengacak rambutnya gemas "tante senang lihat kamu tertawa seperti ini. Manis sekali"

Kini wajah senang Sandi berganti cemberut "tante ih, rambut sandi kotorr"

Aku tertawa lalu berlari menjauhinya "satu sama" aku menjulurkan lidahku membuat bibirnya semakin maju "tante rese" teriaknya lalu berlari mengejarku yang masih tertawa melihat bagaimana lucunya ekspressi anak itu.

Menggemaskan.

Merasa tak lagi dikejar akupun menolehkan kepalaku kebelakang. Seorang laki-laki tinggi tampak sedang memarahi Sandi. Terlihat jelas karena wajah Sandi yang ketakutan. Aku berjalan menghampiri mereka. Menatap marah laki-laki yang tengah memarahi Sandi.

"Hei, jaga sikap anda. Pengecut sekali sih berani nya sama anak kecil" teriakanku membuat laki-laki itu membalikkan badan.

Senyum sinis terukir di wajahnya "wanita brengsek lagi rupanya" ujarnya tajam

Aku menatapnya emosi mengacungkan telunjukku tepat di hidungnya yang seperti paruh burung "tidak sepantasnya anda bicara seperti itu di depan anak-anak. Dengar tuan pengecut, apapun masalah anda dengan Sandi jangan memarahi dia seperti itu."

"Singkirkan tanganmu dari wajahku" perintahnya yang langsung ku turuti dengan enggan "anda siapa berani bicara seperti itu? Dia anakku jadi terserahku mau berbuat apa padanya" wajahku yang terkejut mengundang senyum sinis yang tadi sempat hilang.

Tanganku bersidekap menatapnya remeh "jadi anda ayah nya Sandi? Ayah yang katanya suka menyakitinya dan ibunya? Oh, pantas saja." Sindirku membuat wajahnya memerah menahan emosi.

Wajahnya mendekat ke arahku sehingga mau tak mau membuatku mundur "dengar nona, jangan pernah ikut campur urusan ku kalau tidak aku tidak akan segan menyakitimu" tubuhku meremang mendengar suaranya yang dalam di telinga.

"Pergilah sekarang" lanjutnya lagi namun aku tak beranjak sedikitpun. Tak mengindahkan ucapannya aku berjalan menghampiri Sandi yang menangis tanpa mengeluarkan suara. Menariknya untuk ikut denganku. Siapapun laki-laki itu, dia tidak berhak menyakiti Sandi.

"Tante mau bawa Sandi kemana?"

Aku menoleh sebentar "ketempat dimana laki-laki itu tak menemukan mu." Tarikan kuat membuatku hampir terjengkang.

Laki-laki itu berdiri tepat di hadapanku. Melepaskan genggaman tanganku pada anaknya dengan kasar "berani nya kamu" mataku terpejam menantikan pukulan di pipi.

Suara pukulan demi pukulan memekakan telinga. Mataku terbuka dan hampir menjerit mendapati Kevin tengah memukul laki-laki itu dengan membabi buta.

Ditengah kesadaran aku segera meraih Sandi kedalam pelukanku. Menyembunyikan wajahnya di perutku. Sekejam apapun kelakuan orang tua, anak tetap akan merasa sakit saat orang tuanya di sakiti.

Kevin terus memukuli laki-laki itu tanpa mengindahkan keadaan sekitar. Orang-orang bahkan sudah berkerumun membentuk lingkaran.

"Vin sudah" teriakku seiring dengan airmata yang kembali mengalir.

"Aku tidak akan membiarkan si brengsek ini menyakitimu. Tidak akan" emosi sudah membutakan matanya. Kulepaskan rangkulanku pada Sandi. Mendorongnya agar menjauh sedikit.

Kini berganti kupeluk tubuh Kevin yang gemetar di atas laki-laki yang sudah tak berdaya itu "hentikan Vin, kumohon hentikan" pintaku tanpa melepaskan rangkulanku di perutnya membuatnya sontak menghentikan pukulannya.

Aku menangis di punggungnya. Memeluk erat tubuhnya yang masih bergetar membelakangiku "aku memang marah padamu tapi bukan berarti aku mau kehilanganmu lagi. Aku tidak mau. Aku tidak mau kamu di penjara karena membunuh laki-laki itu Vin. Aku tidak mau." Lirihku.

Aku mengendurkan pelukanku saat Kevin membalikkan badan. Tak ku sangka, wajah Kevin tak menunjukkan emosi sedikitpun. Senyum terukir di bibirnya yang ku tau maksudnya. Wajahku langsung merona menyadari apa yang baru saja kuucapkan.

"Ma..maksud ku-" aku tergagap tak tau apa yang akan ku ucapkan. Senyum masih menghiasi wajahnya membuatku semakin bingung harus melakukan apa. Terlebih kami menjadi tontonan gratis pengunjung pantai.

Akhirnya aku memilih menundukkan kepala. Menyembunyikan semburat merah yang menjalar ke telinga setelah mendengar sorakan bercampur tepuk tangan. Pelukan erat langsung kurasa bahkan terasa mencekik. Menyesakkan namun juga membahagiakan.

"Aku mencintaimu. Jangan pernah ragukan itu. Aku benar-benar mencintaimu dan tak ingin kehilanganmu lagi" ujarnya mendebarkan jantung.

Apa ini saatnya aku memaafkan dan menerimanya kembali? Atau aku membiarkannya membina rumah tangga dengan Friska dan memintanya melupakanku?

Seandainya iya, apa aku sanggup melupakannya?

***
Mendekati Ending nih. Jadi galon ending nya mau di bawa kmana? (Ngawur)

Sad ending atau happy ending?

Please comment.

Rika's Storyحيث تعيش القصص. اكتشف الآن