Bagian 17

1.9K 101 1
                                    

Aku terdiam memastikan bahwa pendengaranku masih berfungsi dengan baik. benarkah dia mencintaiku. Tetap menyayangiku apapun yang akan terjadi nanti.

"I love you.." aku segera memeluknya erat. Laki-laki ini mencintaiku. Aku tidak salah dengar. Ku benamkan wajahku di dadanya. Dalam masalah seperti ini hatiku masih dapat berbunga setelah mendengar pengakuannya.

Setelah adegan drama di pinggir jalan yang banyak di tonton orang Kevin mengantarku pulang. Beruntung ibu sedang tak ada dirumah jadi ibu tak akan melihat keadaan anaknya yang kacau ini.

Setelah membersihkan diri aku kembali menghampiri Kevin yang tengah memejamkan matanya. Ide jahil tiba-tiba terlintas. Sedikit mengendap aku mendekatinya. Namun baru beberapa langkah kelopak matanya terbuka "sudah selesai?" Tanyanya yang ku jawab dengan anggukan kikuk

"Sudah" Kevin menarikku mendekat. Ku topangkan daguku di bahunya. Menatapnya dari samping. Bibirku tersenyum. Betapa banyaknya wanita yang patah hati karna laki-laki ini memilihku "apa yang kamu pikirkan?"

"Tidak ada" sahutku. Kevin tersenyum mengusap kepalaku dengan lembut "jangan menatapku seperti itu sayang, aku hanya laki-laki biasa yang bisa tergoda jika-"

"Mesum" kataku lalu duduk dengan tegak yang membuatnya tertawa kecil. Dasar bule mesum.

"Apa?" Tanyaku jengah dengan matanya yang terus menatapku "tidak ada. Mengagumi kecantikan pacar sendiri tidak masalah bukan?" Tanyanya balik

Tawanya meluncur melihat rona merah di pipiku. Tanganku terulur mengusap pipinya "I love you.." kataku pelan membuatnya tersenyum lebar.

"I love you more.." sahutnya semakin menarikku mendekat mengecup puncak kepalaku membuatku mendesah tanpa sadar "tenang saja yang ini juga kebagian kok" katanya lalu mencium bibirku dengan lembut.

Mataku terbuka perlahan. Melihat keadaan ruang yang gelap tanganku segera meraih benda tipis di meja. Pukul tiga dinihari. Masih tergolong waktu yang enak untuk pergi bermimpi namun sebuah panggilan alam membuatku harus menunda niatan untuk tertidur lagi.

Dengan berat kulangkahkan kakiku. Mataku sedikit menyipit melihat lampu ruang depan masih menyala. Seingatku sebelum tidur tadi aku sudah mematikannya. Kuputuskan untuk membiarkannya dulu.

Setelah selesai aku berniat kembali ke kamar namun segera ku urungkan saat telingaku menangkap suara dua orang sedang bertengkar. Ku langkahkan kaki menuju asal suara. Tubuhku menegang memandang wanita yang ku sayang tengah menangis dipelukan seorang laki-laki.

Perlahan orang itu mengangkat kepalanya membuat mataku sedikit menyipit. Mengingat wajah laki-laki itu yang seperti familiar. Amarah menyeruak ketika ingat siapa laki-laki itu "lepaskan ibuku" kataku membuat mereka tersentak.

Ibu segera menghampiriku. Menghapus airmatanya dengan cepat "Rika, kamu belum tidur?" Tanya ibu

"Ibu, apa yang laki-laki ini lakukan disini?" Tanyaku lagi

Laki-laki itu mendekat menatapku dengan penyesalan "maafkan ayah-"

"Anda bukan ayahku" potongku cepat membuat ibu mendelik menatapku tak suka "Rika.." tegurnya pelan

Ku hela napas mengatur amarah yang siap meledak. Kembali menatap orang itu dengan tajam "Rika, saya ingin minta maaf. Memohon maaf atas kesalahan saya dulu pada kalian. Meminta agar kalian sudi membuka pintu maaf yang sudah tertutup lama. Saya minta maaf Rika" ujarnya

Aku mendengus sinis luka yang kurasa sudah terlalu dalam dan akan sangat sulit untuk menghapus bekasnya "karma apa yang anda dapat sampai repot datang kemari di pagi buta seperti ini?" Tanyaku tajam membuat ibu semakin menatapku penuh peringatan.

"Rika" tegurnya sekali lagi dengan lebih keras.

Kulihat laki-laki itu mendekati ibu menyentuh lengan wanita yang kusayang sambil menggelengkan kepalanya. Setelah itu matanya beralih menatapku senyum getir tercetak "kamu masih seperti dulu, pintar dan selalu tau. Dan kamu benar Rika Tuhan sudah menunjukkan kuasanya. Memberikan karma padaku lewat penyakit ini"

"Penyakit apa?" Tanya ibu

"Kanker otak.." lirih laki-laki itu

Mata ibu membulat tak percaya "katakan kalau kamu bohong mas" pinta ibu dengan suara bergetar membuat laki-laki itu segera memeluk ibu "aku tidak berbohong Ran"

Perlahan isakan ibu mulai terdengar. Rangkulannya semakin mengerat di pinggang laki-laki itu seakan tak ingin melepasnya membuatku hanya berdiam diri. Mulutku terkunci tidak bisa mengeluarkan kata-kata yang sudah tersusun dikepala.

Teriakan ibu membuatku sadar. Melihat tubuh laki-laki itu yang mulai ambruk membuat kaki ku dengan cepat bergerak "ibu tunggu disini biar Rika ambil kunci mobil dulu"

Tidak terbayang dalam benakku akan melihat wanita yang kusayang seperti ini. Menunggu dan menangisi laki-laki yang pernah menyakitinya. Bukan hanya batin tapi juga fisik. Entah terbuat dari apa hati ibu.

Kuhela napas lelah melihat ibu yang terus berjalan kesana kemari "ibu harus tenang, jangan terlalu lelah nanti ibu bisa ikut sakit"

Tanpa bicara ibu duduk di sampingku. Kepalanya terus menoleh memandang ruangan yang tadi di masuki laki-laki itu.

Keadaan kembali sunyi dan tak lama isakan wanita disampingku kembali terdengar. Jika terus seperti ini aku juga ikut sakit. Hatiku tercabik melihat sendiri bagaimana ibu masih sangat mencintai laki-laki brengsek itu.

"Rika" panggilan dari ujung lorong membuatku menoleh. Kyla berjalan tergesa menghampiri "bagaimana keadaan om.." Kyla menatapku bingung "baguslah lo tidak tau namanya. Gue juga tidak tau, masih di dalam" sahutku

"Lo tidak apa-apa kan Ri? Terus lo sudah menghubungi Kevin?" Tanyanya lagi

"Gue baik. Ponselnya tidak bisa di hubungi" sahutku sekali lagi

Pandangan Kyla beralih kesampingku "tante, aku yakin kok om akan baik-baik saja" ibu mengangkat kepalanya menatap sahabatku dengan mata sembab "itu tidak mungkin. Penyakitnya tidak akan sembuh"

"Biarlah bu. Itu karma untuknya" kataku membuat ibu menatapku tajam "jangan bicara begitu Rika" tegur ibu

"Ibu laki-laki itu pantas mendapatkan balasan. Dia pantas menerima akibat dari perbuatannya sendiri bu"

Tubuhku bangkit sebelum emosi kembali timbul "laki-laki itu juga pernah jadi ayahmu Rika" kata ibu lagi

"Dia bukan ayahku. Sampai kapanpun aku tidak akan menganggap nya sebagai ayah. Aku tidak sudi apalagi jika harus menerimanya kembali dirumah. Aku tidak sudi bu"

Pipiku terasa panas saat. Kyla sama terkejutnya denganku. Ini pertama kalinya tangan ibu melayang di pipiku. Dan untuk pertama kalinya juga aku berharap tidak akan pernah bertemu dengan ibu lagi.

"Rika tunggu" panggilan dari sahabatku pun ku abaikan. Yang kulakukan hanya berlari dan terus berlari sampai kurasakan seseorang menabrak tubuhku yang membuatku harus berhenti.

"Loh Rika? Kamu ada apa disini? Kenapa menangis?" Aku hanya menatap orang itu. Bibirku terus bergetar membuatku sulit untuk bicara.

"Yasudah, kerumahku saja bagaimana?" Tawarnya yang langsung ku setujui.

Untuk kali ini aku berharap langkah kaki yang semakin jauh bisa membuat sakitku sedikit berkurang. Bisa membuatku melupakan ingatan kejadian hari ini. Bisa membuatku tak mengingat semuanya.

Rika's StoryWhere stories live. Discover now