Bagian 15

2.3K 105 0
                                    

Aku meletekkan sendok yang kupegang. Memandang mereka sebentar sebelum beranjak untuk mengangkat ponsel yang berdering. Perasaan cemas langsung menyelimuti saat mataku membaca nama pemanggil.

"Halo nak Rika, kamu dimana? Cepat pulang ya, ibu kamu jatuh sakit" informasi yang disampaikan bu Hani membuat tubuhku lemas. Ibu jatuh sakit pasti karena kejadian semalam.

"Iya makasih bu, ini Rika segera pulang" ujarku lalu menutup telepon dan kembali menghampiri mereka bertiga yang tampak memperhatikanku.

"Ada apa Ri? Wajah kamu terlihat pucat" tanya Rio penasaran.

"Iya, maaf kak aku harus pulang sekarang" ujarku sambil mengambil tas di sofa.

"Kakak antar bagaimana?" Aku menatap mereka bergantian "tidak perlu, dua wanita ini lebih membutuhkan kakak. Permisi" pamitku lalu bergegas meninggalkan mereka yang terdiam.

Kekesalanku pada dua wanita itu belum cukup hilang. Tapi saat ini hal itu tak penting. Keadaan wanita yang melahirkan ku jauh lebih penting sekarang. Bagaimana pun ibu jatuh sakit karena tindakanku juga yang langsung pergi meninggalkannya semalam.

Keberuntungan tengah berpihak padaku. Taksi datang di waktu yang tepat. Sampai dirumah aku segera berlari mencari sosok wanita yang kusayang. Wajahnya pucat dengan sepotong kain di kening. Bibirnya terus bergetar mengucapkan sesuatu yang tak ku dengar. Perasaan bersalah perlahan menyusup. Seharusnya aku tetap tinggal menemaninya.

"Ibu.." panggilku membuat bu Hani menoleh lalu tersenyum. Memintaku untuk mendekat.

"Kasihan ibu kamu. Dari semalam dia terus memanggil namamu Ri" tuturnya

Tanganku terangkat mengusap lembut rambut ibu yang sedikit memutih. Entah seberapa banyak beban yang dipikulnya selama ini. Memendam semua sendiri tanpa berani mengungkapkan.

"Maaf ya bu, tidak seharusnya Rika meninggalkan ibu"

"Rika.." matanya mengejap pelan lalu perlahan terbuka. Air mata kembali mengalir dari sudut matanya.

"Maafkan ibu nak.." lirih ibu

Aku menghapus cairan bening itu dengan lembut "ibu istirahat ya, jangan banyak pikiran. Rika disini kok" ujarku berusaha menghapus penyesalan di bola matanya.

Beberapa menit akhirnya ibu kembali tertidur. Bola mataku beralih menatap bu Hani yang masih setia menemani "makasih ya bu sudah menjaga ibu saya. Maaf sudah merepotkan"

"Tidak apa Ri,  namanya tetangga jadi harus saling menolong"

Aku mengangguk saat bu Hani pamit pulang. Mengucapkan terimakasih sekali lagi karena sudah mau menjaga ibu.

Ketukan pintu memaksaku untuk bangkit. Sosoknya yang hampir dua minggu tak terlihat muncul kembali. Kekesalan karena dirinya yang baru menampakkan diri naik ke permukaan melihat dirinya yang tampak biasa saja. Tanpa ada beban.

"Ada apa?" Tanyaku tanpa menatapnya.

"Rika.." panggilnya yang ku jawab dengan gumaman pelan "hey, tatap aku" pintanya membuatku mendongak. Menatap matanya yang selalu bisa menyejukkan hati.

Senyumnya merekah. Menarikku kedalam pelukannya yang kurindukan "aku merindukanmu.." bisiknya

Bibirku mengerucut sebal "bohong"

Kevin merenggangkan pelukannya menatap mataku dengan kesungguhan "aku tidak berbohong. Aku benar-benar merindukanmu"

Senyum tak lagi ku sembunyikan "aku juga" sahutku malu. Kevin terkekeh melihat rona merah di pipiku. Menarikku kembali kedalam dekapan hangatnya.

Suara batuk dari belakang membuatku melepaskan diri. Ibu berdiri sambil menatap kami dengan senyumnya "suruh masuk dong Ri, tidak capek apa berdiri terus" 

Cengiran lebar ku perlihatkan pada keduanya "lupa.."

Kugeser tubuhku memberikan jalan masuk untuk Kevin. Menghampiri ibu yang terlihat lebih baik dari tadi siang "ibu mau ngambil apa? Rika ambilkan ya" tanyaku saat ibu hendak kembali berjalan.

Ibu tersenyum "tidak usah Ri, ibu sudah mendingan. Tuh kasihan Kevin berdiri terus"

Aku menatap Kevin aneh "kamu kenapa masih disitu? Tidak mau masuk?" Tanyaku

Kevin mengangkat bahunya "kamu tidak menyuruhku masuk" jawabnya membuatku berdecak sebal

"Biasanya tanpa disuruh pun kamu masuk sendiri" kataku lagi mengingat waktu itu.

"Ini kan lain" aku menghela napas menarik tangannya membuatnya tertawa kecil "ini yang ku mau"

"Menyebalkan" gerutuku yang semakin membuatnya tertawa.

Berguling-guling di tempat tidur tak tentu arah. Memejamkan mata berharap membuatku tertidur. Kantuk sepertinya enggan menghampiri. Ku bangkitkan tubuh, berjalan gontai ke kamar ibu. Berharap di pelukannya bisa membuatku memejamkan mata.

"Ibu belum tidur?" Tanyaku saat melihat ibu masih duduk bersandar di kepala ranjang.

Kepalanya menggeleng memintaku untuk mendekat. Ku peluk tubuhnya yang sedikit terlihat lebih berisi dari kemarin. Tawa kecil tak bisa ku sembunyikan membuat kerutan di dahi wanita yang kusayang "ada apa?"

Aku menggeleng "tidak ada apa-apa bu. Ibu sudah sehat kan? Oh iya, besok mau di masakkan apa?"

"Ibu bisa memasak sendiri Ri, lagipula bukannya kamu sedang sibuk." Sahut ibu sambil mengusap lenganku.

"Tapi ibu yang terpenting buat Rika" kataku yang disambut dengan kecupan lembut di kepala "ibu tau.."

Kepalaku mendongak menatap wajah ibu dengan penasaran "menurut ibu Kevin bagaimana?"

"Ibu...." rengekku mendapati ibu yang hanya memainkan kedua alisnya dengan mata menggoda tanpa sepatah kata terucap dari bibirnya.

"Ibu senang dengannya, dan apapun pilihanmu ibu akan merestuinya" aku kembali memeluk erat wanita yang kusayang. Yang sudah memberikan sebagian hidupnya untukku. Yang mau menerima serta menjagaku tanpa mendengar cibiran serta gunjingan orang lain.

"Umur kamu sudah cukup matang untuk menikah nak. Ibu juga sudah sangat ingin menggendong cucu. Kapan keluarga kekasihmu akan datang?"

Aku terdiam. Sama sekali tak mengira ibu akan membahas hal ini. Menikah. Aku belum cukup yakin akan hal itu.

Rika's StoryWhere stories live. Discover now