4/4

507 56 29
                                    

9. 30 PM

Joanna sedang menangis sekarang. Tentu saja dengan Jeffrey yang masih setia di sampingnya. Menyediakan tisu dan pelukan jika wanita itu membutuhkan. Sebab sebelumnya, Joanna dan Teressa telah bertengkar.

Iya. Jeffrey yang menjadi penengah meski hasilnya sia-sia. Karena Teressa yang telah dikecewakan sebelumnya tidak ingin menerima segala bentuk alasan yang diberikan.

Sejak tadi Joanna hanya bisa menangis saja. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Apalagi Teressa telah memutus pertemanan mereka.

Ya. Joanna tahu jika Teressa akan sungguh-sungguh melakukan hal ini padanya. Karena dia kerap melakukan hal ini pada yang lainnya. Itu sebabnya hanya Joanna saja yang tinggal.

"Dia sudah kuanggap seperti saudaraku. Dia juga sudah banyak membantuku. Dia bahkan tidak akan pikir dua kali memberikan makanannya padaku, jika aku menyukai itu. Dia sangat baik padaku, Jeffrey. Aku tidak mau hubungan kita jadi seperti ini. Aku———"

Ucapan Joanna terjeda setalah menatap Jeffrey yang tiba-tiba saja mengeluarkan kotak merah dari saku celana. Pria itu mengeluarkan cincin dari dalamnya. Lalu disematkan pada jari manisnya. Tanpa mengatakan apa-apa.

"Ini apa maksudnya!?"

Tanya Joanna dengan alis bertaut. Dengan kedua mata bengkak dan suara parau. Karena hidungnya sudah buntu dan beberapa kali mengeluarkan ingus.

"Menikah denganku. Aku akan menggantikan wanita itu. Aku akan menjadi teman baikmu. Aku akan mendengarkan semua ceritamu. Memberikan makananku untukmu dan yang paling penting, aku tidak akan meninggalkanmu dan berjanji akan menuruti apapun permintaanmu."

Joanna yang mendengar itu jelas kembali menangis. Dia tidak menyangka jika Jeffrey akan melamarnya saat ini. Saat hatinya sedang merasa tidak baik.

Joanna mencintai Jeffrey sekali. Pernah membayangkan menikahi pria ini. Namun dia tidak menyangka jika akan secepat ini. Dalam keadaan yang membuatnya akan semakin dibenci oleh Teressa dan mungkin orang tuanya juga nanti.

"Aku sangat mencintaimu dan kamu tahu itu. Aku tidak mau kamu sedih berlarut-larut. Aku tahu ini salahku, untuk itu aku berusaha memperbaiki semua kerusakan itu. Jika Teressa benar-benar teman baikmu, dia tidak akan seperti itu. Dia tidak akan membuatmu merasa bersalah akan kesalahanku. Dia sedang marah sekarang, dia kecewa karena aku memutuskan perjodohan tiba-tiba. Seharusnya aku yang disalahkan, bukan kamu yang awalnya tidak tahu apa-apa. Aku yakin, suatu saat dia pasti akan bisa menerima semuanya. Kalaupun tidak, itu tidak masalah. Karena itu berarti dia yang jahat karena tidak rela kamu bahagia. Kamu sudah punya aku sekarang. Aku janji akan menjadi teman yang lebih baik dari dia!”

Tangis Joanna semakin kencang. Kali ini bukan karena merasa bersalah pada Teressa. Namun karena senang tentu saja. Sebab akhirnya, dia menemukan pria yang sangat mencintai dirinya. Pria yang mau menghabiskan sisa hidup bersamanya.

Joanna mulai memeluk Jeffrey yang sejak tadi sudah mendekatkan tubuh padanya. Pria itu tampak begitu senang. Lalu membalas pelukan dan menampilkan raut lega. Karena akhirnya, dia bisa sedikit melunturkan kesedihan Joanna. Wanita yang sebentar lagi akan menjadi istrinya.

Dua bulan kemudian.

Jeffrey dan Joanna sudah menikah pada dua hari sebelumnya. Karena menurut perhitungan, hari baik mereka untuk melangsungkan pernikahan adalah kemarin lusa. Sehingga mau tidak mau mereka harus mempersiapkan pernikahan cepat-cepat. Daripada ditunda tahun depan.

Apalagi kedua belah pihak keluarga sudah saling memberi restu juga. Dana? Tentu saja sudah ada. Sehingga pernikahan mereka dapat berlangsung lancar tanpa ada hambatan. Meski Joanna agak sedih karena tidak ada Teressa datang.

"Kamu suka?"

Tanya Jeffrey saat mobil yang dikendarai tiba di depan rumah berpagar hitam. Rumah yang sudah disiapkan sejak lama. Rumah yang akan ditinggali bersama istri dan anak-anaknya kelak.

"Ini rumah kita?"

Joanna takjub akan bangunan megah di depannya. Tidak menyangka jika akan tinggal di rumah super besar dengan tiga lantai di dalamnya. Sebab sebelumnya, Jeffrey mengatakan jika rumah yang dibangun tidak sebesar rumah orang tuanya. Karena dibangun memakai uang pribadinya.

Joanna yang mendengar itu jelas tidak masalah. Dia juga tidak banyak berharap. Karena bisa punya tempat tinggal saja sudah syukur baginya.

"Iya, tidak perlu takut begitu. Aku tahu apa yang ada di otakmu."

Jeffrey terkekeh pelan. Lalu menekan remote kecil yang baru saja diraih dari saku celana. Membuat gerbang hitam yang ada di depan langsung terbuka. Menampilkan rumah dengan halaman luas di dalamnya.

"Sudah ada tiga ART di dalam. Kamu tidak perlu takut membereskan rumah sendirian."

Joanna menahan senyum sekarang. Karena sebelumnya, dia memang memasang wajah muram. Sebab dia sudah mengatakan ingin mengurus rumah sendirian. Karena mengira jika rumah Jeffrey tidak terlalu besar seperti apa yang dia ucapkan.

"Orang tuaku pasti akan semakin memujamu jika tahu rumahmu sebesar itu."

Jeffrey terkekeh pelan. Karena ingat mertuanya yang begitu baik padanya. Menyambut dia dan keluarganya dengan tangan terbuka. Bahkan sampai menawarkan diri untuk mengisi rumah baru mereka. Sebab tidak enak mengingat seluruh biaya pernikahan pihak Jeffrey yang tanggung semua.

"Minggu depan setelah kita isi perabotan, kita undang mereka kemari."

Joanna mengangguk singkat. Lalu memeluk Jeffrey yang baru saja akan keluar dari mobil sekarang. Mengatakan terima kasih padanya. Karena terus saja dibuat bahagia.

"Terima kasih."

Jeffrey membalas pelukan istrinya. Dia tersenyum juga. Sembari mengecupi rambutnya.

Brak...

Pelukan Joanna dan Jeffrey terlepas. Karena mobil mereka ditabrak dari belakang. Oleh mobil Ariana yang sejak tadi mengekori mereka.

20 comments for next chapter!!!

Tbc...

TWO MOONS [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang