13/13

354 48 21
                                    

5. 30 PM

Jeffrey baru saja keluar kamar. Karena perutnya sudah merasa lapar meski jam makan malam baru akan dimulai dalam setengah jam yang akan datang. Membuatnya lekas menuju lantai dasar guna melangsungkan makan malam lebih awal.

Di bawah, Jeffrey melihat Teressa yang sedang duduk di kursi makan. Dia menonton youtube dari iPad dan sesekali menyesap es susu coklat. Sebab dia memang tengah lapar juga. Namun makanan belum matang.

"Di mana Joanna?"

Tanya Jeffrey pada semua orang yang ada di sana. Pada Asih dan Teressa yang sedang fokus menatap tontonan. Sebab dia memang sedang cuti kuliah. Karena dia malas kembali ke Australia. Mengingat dia sudah memiliki suami kaya dan tidak lagi perlu mengejar karir unyuk mendapat banyak uang.

"Keluar, Pak. Bersama Ibu Liana dan Pak Rendy juga."

Jeffrey mengernyitkan alisnya. Sebab dia tidak tahu jika mertuanya datang. Karena jika tahu, dia pasti tidak akan tidur siang.

"Kapan? Kok tidak ada yang bangunkan?"

"Tidak tahu, Pak. Mungkin karena Bapak dan Ibu Liana hanya datang sebentar."

Jeffrey menarik nafas panjang. Lalu mengutak-atik ponsel yang sudah ada dalam genggaman. Berniat memeriksa kotak pesan, berharap Joanna telah meminta izin di sana.

Namun sayang, Joanna tidak mengirim apa-apa. Padahal sejak awal, mereka sudah sepakat untuk saling memberi kabar jika berpergian. Agar tidak saling mencari dan kebingungan.

Jeffrey mulai mendekatkan ponsel pada telinga. Guna menelepon istrinya. Namun sayang, panggilannya tidak kunjung diangkat padahal tersambung sekarang.

Jeffrey tampak marah. Rasa lapar yang sejak tadi dirasa langsung hilang. Membuatnya lekas keluar rumah dan berniat menunggu di teras.

Hingga matahari tenggelam namun Joanna tidak kunjung pulang. Membuat Jeffrey khawatir dan kesal. Karena tidak kunjung diberi kabar. Sebab Joanna memang tidak pernah seperti ini sebelumnya.

Jeffrey mulai bangkit dari kursi, meminta supir untuk mengantar dirinya ke rumah mertuanya saat ini. Rumah yang berjarak sekitar satu jam dari sini.

"Saya ganti baju sebentar. Kamu sudah makan? Kalau belum, makan dulu di dalam. Tapi cepat, ya? 10 menit lagi kita jalan."

"Baik, Pak!"

Jeffrey melewati meja makan. Karena rasa laparnya benar-benar telah hilang. Sebab Joanna tidak kunjung pulang.

Takut. Jeffrey takut Joanna pulang ke rumah orang tuanya karena diabaikan semalam. Sebab ini adalah kali pertama dirinya marah dan mendiami istrinya.

"Tidak makan? Mau cari Joanna? Dia sedang bertemu mantan gebetannya. Makanya tidak bisa dihubungi, kan? Kasihan."

Jeffrey yang akan menaiki tangga mulai menolehkan kepala. Menatap Teressa yang baru saja selesai makan. Sembari tersenyum senang. Karena telah berhasil menemukan celah Joanna.

"Apa maksudnya, hah!?"

Teressa mulai mendekatkan iPad pada Jeffrey. Dia menunjukkan foto Joanna yang sedang berada di rumah sakit. Di samping pria yang kaki kanannya memakai gips.

"Kamu pasti kenal dia, kan? Jordan, mantan bosnya. Joanna pernah naksir dia, tapi sayang tidak pernah berlayar sampai sekarang."

Jeffrey mulai mengeraskan rahang. Dia jelas cemburu sekarang. Sebab dia memang kenal Jordan. Pernah beberapa kali bertemu dengannya saat mengantar jemput Joanna kerja.

"Di rumah sakit mana mereka!?"

"Mana kutahu!"

Teressa menarik kembali iPadnya. Lalu menatap Jeffrey dengan senyum masam. Sebab dia memang sudah berencana membangun image buruk untuk Joanna.

"Kamu pasti tidak tahu kalau mereka hampir pacaran, kan? Joanna bahkan pernah membawakan bekal untuk Jordan. So sweet sekali, kan?"

Wajah Jeffrey mulai merah padam. Dia langsung berlari keluar rumah. Membuat senyum Teressa memudar. Sebab dia jelas merasa cemburu juga. Karena cinta Jeffrey begitu besar pada Joanna.

Di tempat lain, Joanna tengah menaiki taksi. Lalu memeriksa ponsel yang sejak tadi dikantongi. Ada beberapa panggilan tidak terjawab dari suaminya di sana. Membuatnya lekas mengirim pesan jika dia akan pulang sekarang.

"Pasti suamimu, ya?"

Tanya Clara, wanita berambut panjang yang merupakan salah satu rekan kerja Joanna saat masih kerja. Karena rumah mereka searah dan mereka baru saja menjenguk Jordan, si bos kesayangan yang baru saja mengalami kecelakaan.

"Iya, nih. Aku lupa tidak memberi kabar tadi."

"Kamu masih mau bertahan dengannya? Apa kamu tidak mau bercerai saja? Aku sudah dengar kalau suamimu sudah menikah lagi, dengan temanmu, kan? Pak Jordan dan anak-anak lain sudah tahu juga sebenarnya. Tapi mereka lebih memilih bungkam dan tidak mau membahasnya. Karena takut kamu tidak nyaman."

Joanna tampak tersenyum saja. Dia bingung ingin menjawab apa. Dia merasa agak dibodohi juga. Karena Jordan dan teman-teman kerjanya tadi bersikap biasa saja.

"Pak Jordan pernah tanya padaku, akan alasan kenapa kamu mau dimadu. Aku jawab tidak tahu, karena kamu memang tidak pernah cerita masalah ini padaku. Aku juga tidak mau bertanya langsung karena takut mengganggu privasimu. Karena kita memang tidak sedekat itu."

Joanna masih tersenyum saja. Dia benar-benar merasa malu sekarang. Itu sebabnya dia lebih suka mengurung diri di rumah dan jarang keluar bertemu teman-temannya. Karena takut ditanya-tanya dan dikasihani mereka. Atau lebih parahnya, dikatai bodoh dan lain sebagainya.

Kalau saja tidak dipaksa orang tuanya, Joanna mungkin tidak akan ikut menjenguk Jordan bersama beberapa mantan rekan kerjanya. Karena Liana memang sempat bertemu Clara saat mengisi bahan bakar.

Clara yang pernah bertemu orang tua Joanna jelas langsung menyapa dan berbasa basi sebentar. Hingga dia mengatakan jika Jordan kecelakaan dan orang-orang kantor berencana menjenguknya sekarang.

"Sepertinya dia masih suka kamu."

"Sejak kapan Pak Jordan suka aku?"

"Sejak dulu! Kamu saja yang terus denial karena takut dia main-main denganmu."

Joanna diam saja. Karena kembali mengingat masa-masa saat masih kerja. Saat dia kerap dibantu Jordan selaku atasan. Padahal, pria ini bisa saja meminta orang lain untuk melakukan. Namun Jordan mau repot-repot untuk langsung turun tangan.

Sebenarnya Jordan seperti ini bukan pada Joanna saja. Namun pada yang lain juga. Itu yang membuat Jordan begitu disukai para karyawan. Tetapi hal itu juga yang membuat Joanna terus menghindar saat pria itu ingin semakin mendekat. Karena takut hanya dipermainkan. Mengingat Jordan sangat populer di tempat kerja sedangkan Joanna sebaliknya.

"Kamu tidak mau kerja lagi? Posisimu belum ada yang mengisi. Oh iya, suamimu kaya. Kamu jelas tidak butuh gaji recehan di perusahaan kita."

Joanna lagi-lagi hanya tersenyum saja. Hingga taksi berhenti di depan rumah. Membuat Clara berdecak kagum dan penasaran isinya. Dia ingin ikut turun saat Joanna menawarkan untuk mampir sebentar. Namun dia harus menolak saat melihat Jeffrey sudah memasang wajah garang di depan gerbang.

"Ayo mampir sebentar! Nanti pulangnya bisa diantar supir suamiku dari rumah."

"Tidak, ah. Kapan-kapan saja. Suamimu sudah menunggu di gerbang! Marah sepertinya."

Joanna mulai menatap depan. Dia langsung pamit pada Clara dan turun dari taksi dengan tergesa. Lalu menghadap suaminya yang sudah mengeraskan rahang dan berkacak pinggang.

50 comments for next chapter!!!

Tbc...

TWO MOONS [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang