7. Sebuah Kejujuran

1.7K 103 10
                                    

"Masih berani teleponan padahal saturasi kamu serendah ini dan hampir collapse lagi?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Masih berani teleponan padahal saturasi kamu serendah ini dan hampir collapse lagi?"

Langit berusaha menutupi bagian speaker ponselnya saat tiba-tiba saja sudah ada Atiana yang datang dengan menenteng snelinya. Tatapannya melirik sekilas dan jelas meminta agar sahabatnya tersebut tidak berbicara yang macam-macam.

"Biar aja Kinar tahu kalau Mas Langit tersayangnya ini bandel sekali dan senang menyiksa dirinya sendiri." Atiana jelas semakin sengaja. Tahu kalau orang di seberang panggilan tidak lain adalah Kinar.

Tepat sekali. Panggilan diakhiri Langit dengan cepat. Khawatir kalau justru Kinar mendengar hal yang tidak-tidak dan memutuskan nekat kembali ke rumah sakit padahal sudah susah payah dirinya bujuk untuk pulang dan beristirahat di rumah dibandingkan tinggal menjaganya di rumah sakit.

"Aku sudah nggak apa-apa, jangan berlebihan." Langit menyimpan ponselnya diatas nakas disisi brankar.

Atiana hanya bisa menghela napas panjang dan geleng kepala atas sikap Langit yang selalu mengentengkan kondisi kesehatannya tersebut. "Kamu lama-lama buat aku stress tahu nggak!"

Langit hanya tersenyum tipis, kali ini dengan sukarela merebahkan diri agar Atiana yang sehsrian ini snewen terus menjadi lebih leluasa memeriksa kondisinya. Stetoskop ditekan di dada dan samar, Langit masih bisa merasakan sesak di dada saat diminta menarik napas panjang juga menahannya beberapa saat.

"Masih mau alasan apalagi? Masih keras kepala bilang kalau sudah baik-baik aja?" Atiana memandang galak pada Langit yang terkekeh.

"Sesaknya sudah nggak separah sebelumnya, ini juga masih bisa aku tahan. Please... aku cuma nggak mau dia terlalu khawatir."

Atiana berdecih, "khawatir apanya? Kalau memang dia itu khawatir seharusnya dia disini dan nggak pulang."

"Aku yang minta dia pulang."

Sebagai seorang sahabat yang sudah mengenal Langit selama bertahun-tahun, tentu saja Atiana tidak terima atas sikap yang Langit ini tunjukan. "Kamu ini bodoh atau bagaimana sih? Sampai kapan mau berpura-pura baik-baik saja? Disaat seperti ini kamu paling butuh dukungan dari keluarga."

Langit sudah terlalu sering mendengarnya. Tidak merasa heran atau tertekan juga atas nasihat Atiana yang diucapkan dengan nada keras tersebut. "Kamu dan Lingga kan ada."

"Cih, terus saja kamu beralasan." Atiana menarik stetoskop dan mengatur selang oksigen. Mengabaikan tatapan protes dari Langit dan tetap memaksanya untuk mengenakan masker oksigen agar saturasinya membaik.

"Selangnya saja, tolong."

Atiana menarik napas panjang dan jelas kesal dengan Langit yang masih sempatnya menego kepadanya. "Kamu sebenarnya sadar enggak seberapa serius kondisi kamu ini? Hasil cek darah kamu jelas menunjukan gejala infeksi, nggak tahu apa saja yang kamu makan selama beberapa hari ini!"

Istri Untuk Mas Langit [END]Where stories live. Discover now