19. Surat Izin Menikah

1.4K 98 22
                                    

Langit terbiasa bangun tidur dalam keadaan lelah dan lemas. Entah karena hanya tertidur satu atau dua jam sebelum terbangun karena gelisah dan ketakutan akan mimpi buruk yang seringnya memaksanya untuk terjaga atau lebih buruk karena konsumsi obat tidur yang menahannya lebih lama terlelap.

Tapi kali ini berbeda. Harum lembut dan pelukan Kinar terbukti lebih ampuh membuatnya pulas hingga tiga jam kemudian pesawat mereka landing di Soetta.

"Jangan dilepas maskernya. Dipakai nanti sampai di rumah, ya?"

Langit mengangguk. Membiarkan saja saat Kinar merapihkan helai rambutnya di kening lalu juga menata bagian yang berantakan tersebut agar kembali rapih.

"Kalau engap atau sesak langsung bilang," kembali Kinar mengingatkannya. "Pokoknya sekarang apa-apa harus bilang aku."

"Iya.."

Selesai dengan semua ultimatumnya, baru Kinar menggandeng Langit untuk keluar. Lingga sendiri sudah lebih dulu keluar dan Kinar hanya bisa meringis canggung saat menemukan kedua orangtuanya yang juga datang menjemput.

"Padahal nggak perlu sampai di jemput segala," gumamnya yang hanya bisa di dengar oleh Langit. Pegangannya di lengan Langit menguat. "Bukan aku loh Mas yang minta dijemput."

Langit juga sepertinya tahu dan bukannya tidak menduganya. "Kamu bilang Mama soal Mas yang di rawat di Jerman?"

Untuk yang satu ini, Kinar tidak bisa berbohong dan memang berniat secara terbuka menunjukan rasa pedulinya. "Mama telepon terus soalnya aku lama. Jangan marah,"

Langit tersenyum tipis lalu mengelus puncak kepala Kinar dan membawanya kepada Ivana juga Edwin yang menunggu. "Ma, Pa..." Langit menyalaminya dan diikuti oleh Kinar.

"Kenapa pakai masker? Memangnya masih sakit?" Ivana terlihat sekali mengkhawatirkan Langit.

"Sudah sembuh Ma, ini tindakan preventif aja. Biar nggak langsung kena udara luar." Langit menjawab kalem.

"Kinar yang suruh Mas Langit pakai. Biar lebih safety aja. Polusi disini kan juga bisa aja buat Mas Langit batuk."

Ivana ganti menatap sang putri, "Mama mau bicara sama kamu ya, nanti."

Dan Kinar tahu tidak lagi bisa menghindar. "Sekalian bahas venue ya? Pelita ada beberapa kasih rekomendasi yang bagus soalnya."

Berbeda dengan Ivana yang bersikap cerewet seperti biasanya, Edwin juastru terus memasang sikap diam dan Kinar menyadarinya bahwa papa nya tersebut masih perlu untuk dibujuk dan diyakinkan. Ivana juga diam-diam mengedik kearah sang suami dan mengkode Kinar.

"Kalian disana nggak aneh-aneh kan, tapi? Di rumah sakitnya lama? Ada banyak perawat juga, kan? Nggak cuma berdua?"

Kinar menghela napas panjang, sesekali melirik kearah Edwin. "Aman Ma, disana ada Lingga juga yang selalu tunggui Mas Langit. Kinar cuma beberapa hari menginap di rumah sakitnya, terus sama Mas Langit di check in in hotel di sebelah bangsal. Nggak berdua-duaan yang aneh-aneh kok,"

Meski tidak mengatakan apapun tapi Kinar tahu bahwa diam-diam papanya menghembuskan napas lega setelah mendengar keterangannya. Setelah ini, dirinya hanya perlu membujuk sedikit dan karena kondisi Langit juga sudah membaik maka pernikahan mereka juga bukannya tidak mungkin untuk dilangsungkan secepatnya.

Mereka kembali dengan mobil yang sama, Edwin bahkan sengaja menyetir sendiri karena permintaan Ivana sebelumnya. Meskipun terlihat baik-baik saja tetapi Langit langsung terlelap tidak lama setelah mobil meningggalkan area bandara.

"Langit tidur beneran?"

Kinar yang menyamankan posisi Langit untuk bersandar ke bahunya mengangguk, "kecapekan dia Ma. Tadi selama penerbangan juga tidur sebenarnya, tapi memang gampang capek Mas Langitnya."

Istri Untuk Mas Langit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang