34. Demam

1.8K 97 18
                                    

Pukul sembilan malam dan kediaman utama keluarga Mahardika harus dibuat panik atas keadaan Langit yang tiba-tiba saja drop. Tubuhnya melemas dan seolah tidak memiliki tenaga sama sekali sehingga Rudi yang merupakan supir pribadi Edwin sampai harus menggendongnya ke kamar Kinar.

Kebetulan sekali Dokter Faizal sedang melakukan diklat dan tugas dinas luar kota sehingga Langit tidak bisa langsung diperiksa oleh dokternya tersebut.

"Dipasang pad EKG saja, Pi. Kinar bisa pasangnya yang bukan manual. Kemarin diajarin perawat sama Dokter Faizal buat kondisi darurat."

Edwin bersidekap dan sedikit menjauh untuk memberi ruang agar Kinar dapat memasangkan alat pendeteksi ritme jantung tersebut pada Langit. Karena meski tidak mengeluh, Langit terus saja menekan dan meremas bagian dada kirinya.

Pasti disanalah sumber kesakitannya.

"Mas, tahan sebentar ya?" Kinar mengelus kening Langit yang banjir keringat. "Dibuka dulu bajunya biar Kinar pasang gel nya."

Langit mengerang dan menatap Kinar dengan pandangan tersiksa. Sementara ketika tubuhnya digerakan langsung memicu rasa sakit yang hebat hingga otot perutnya menegang. "Hengg!!"

Kinar hampir menangis menyaksikannya. "Apa bawa ke rumah sakit lagi saja?"

Ivana menggeleng dengan raut kaku, "lakukan itu nanti. Sekarang bantu Mami buat lepas baju Langit."

Oleh karena Langit yang mengenakan kaus sehingga sulit untuk dilepaskan, Ivana meminta pelayan rumah mengambilkan gunting. Mereka memilih bertindak efisien dengan menggunting kaus yang Langit kenakan.

"Pasangkan sekarang," Ivana berujar tegas.

Langit terengah-engah dengan napas menderu. Otot lehernya menegang akibat terus menahan rasa sakit dan wajahnya yang pucat semakin berkeringat banyak. "Sssshhh....kit..."

"Iya, sebentar Mas. Tahan dulu sebentar." Kinar mengingat dengan baik-baik urutan dalam memasang alat tersebut. Pertama mengolesi gel pada bagian dada Langit lalu menempelkan empat pad Electroda yang terhubung pada kabel kecil berikut alat nomometer yang menampilkan rekam jantung.

Angkanya hampir mencapai maksimal batas tertinggi takikardia. Ini jelas gejala aritmia yang serius. Tubuh Langit hampir kaku dan kejang karenanya. Meski sedikit gemrtar, Kinar meraih kotak obat.

"Kinar," Ivana menggantung kalimatnya. Berusaha mengingatkan agar putrinya tidak mengambil resiko apapun yang mungkin dapat membahayakan Langit.

"Aku tahu, Mi." Tangan Kinar membuka tabung obat dengan tablet berwarna kuning di dalamnya. "Dokter Faizal bilang yang tabung satu untuk kondisi lowtrack dan yang tabung dua kalau jumlah detakannya kembali meninggi."

Dan yang saat ini ada di tangan Kinar adalah tabung bening dengan nomor romawi dua. Kinar mengeluarkan dua tablet lalu merengkuh bahu Langit agar sedikit terangkat.

"Aaaaghh-hngg...." Langit lagsung mengerang keras. Tubuhnya kembali kaku dan mengejang karena rasa sakitnya.

"Shhhhh... Mas, ini Kinar. Ini Kinar." Lalu Ivana mendekatkan segelas air. "Buka mulutnya sedikit,"

Langit menggeleng tidak kuat. Lehernya kejang dan bibirnya terkatup rapat sementara bunyi gemelatuk giginya terdengar. Bukannya tidak mau, tapi Langit tidak bisa membuka mulutnya.

"Aku tahu pasti sakit sekali, tapi..." lalu tatapan Kinar melirik pada kedua orangtuanya. "Mi, Pi... tolong jangan lihat."

Ivana langsung mengangguk memahaminya dan mendekatkan gelas air putih di nakas. Sementara Edwin berbalik dan beranjak menjauh. Perlahan Kinar mendekatkan wajah hingga deru napas Langit berhembus diwajahnya.

Istri Untuk Mas Langit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang