37. Detak Jantung

1.7K 95 24
                                    

Dua mobil sudah terparkir di depan teras pintu utama. Sementara bingkisan dalam nampan dan beberapa kotak kue dikemas untuk dibawa serta. Hari ini kediaman Mahardika sibuk sekali, termasuk Ivana sebagai nyonya rumah.

"Sudah dimasukan semuanya?"

Beberapa pelayan yang membantu memeriksa kembali dan baru mengkonfirmasi. Berkali-kali Ivana mondar mandir dan baru menyadari keberadaan Langit yang masih meringkuk nyaman di sofabed ruang tengah.

"Loh, masih disini?" Ivana bergerak mendekat dan memeriksa Langit yang pulas ditempatnya. "Bukannya sudah diminta pindah?"

"Kenapa, Iv?" Hartini mendekat sudah dengan penampilan rapih dan siap berangkat. "Loh, Langit masih disini? Belum jadi pindah ke kamar tadi?"

Padahal sudah diminta pindah sejak selesai dipijat pukul sepuluh tadi. Dan sekarang sudah pukul duabelas siang, artinya sudah sekitar dua jam Langit tertidur disana tanpa benar-benar diperhatikan.

"Yaampun sampai lupa mantu kesayangan tidur disini," Ivana bergerak mendekat dan mengelus bahu Langit pelan. "Nak, ayo bangun dulu. Pindah ke kamar ya tidurnya biar lebih nyaman."

Usapan-usapan di lengannya membuat Langit menggeliat pelan. Wajahnya ketara sekali sangat mengantuk dan Ivana menjadi tidak tega untuk membangunkan. Tapi, kasihan juga kalau Langit tetap dibiarkan tidur di sofa dan dalam posisi meringkuk seperti ini.

"Ngh... Ma?" Langit mengerjap pelan.

"Iya, ini Mama. Bangun yuk." Ivana lembut sekali meminta Langit. Tahu untuk tidak membuat gerakan mengagetkan atau terkesan menekan. "Mama sama Budhe Harti mau ada acara di rumah calonnya Mas Galih. Di rumah nggak ada orang, cuma pelayan. Kamu pindah ke kamar aja ya tidurnya."

Sepertinya kesadaran Langit masih belum sepenuhnya kembali. Setelah merasakan pijatan Mbok Inah yang membuat tubuhnya lebih relax tersebut entah kenapa membuat Langit menjadi mudah sekali mengantuk.

"Kinar belum pulang Ma?"

Mendengar pertanyaan Langit tersebut, Ivana langsung berdecak sebal. "Sudah nggak perlu kamu pikirin istri nakal kamu itu. Tadi juga perginya asal nyelonong nggak pamitan atau bilang apa-apa. Biar nanti pulang Mama yang marahi dia."

"Jangan Ma," gumam Langit yang berusaha menumpu siku dan bangkit duduk. "Jangan dimarahi Kinarnya. Mungkin urusannya... memang mendesak."

"Mendesak apa? Palingan juga kumpul sama teman-teman kuliahannya dulu itu. Memang dasarnya saja bandel." Ivana memulai sesi ceramahnya. "Sudah tahu suaminya masih sakit, bukannya ditemani malah ditinggal kelayapan."

Karena lemas diseluruh tubuhnya, Langit menyandarkan punggung dengan kelopak mata sayup-sayup memejam. "Nggak apa-apa, Ma..."

"Hush! Sudah... jangan marah-marah terus. Ini kita bisa terlanbat kalau nggak berangkat sekarang." Hartini menatap Langit yang menyandar, "Langit ditinggal dulu nggak apa-apa ya? Kasihan Mas Galih nanti disana kelamaan nunggunya."

"Iya Budhe... nggak apa-apa—uhukk..."

Tangan Ivana menyapu kening Langit. "Sudah nggak panas kamu, tapi batuknya masih ya?"

Senyum lemas Langit terlihat, "nanti juga sembuh sendiri Ma."

Padahal siapapun tahu kalau Langit itu termasuk mudah terserang sakit tapi susah sekali sembuhnya atau kalaupun sembuh itu memakan waktu yang cukup lama.

"Mama pergi dulu, kamu istirahat saja dirumah jangan kemana-mana. Nanti minta apa-apa panggil Mbon Asih atau pelayan yang ada." Ivana mengelus kening Langit sekilas sebelum menenteng tas tangannya.

Keduanya beranjak pergi dan meninggalkan Langit yang separuh mengantuk dengan selimut menggantung di pangkuan. Tangannya menyibak pelan dan sedikit bergeser untuk meraih gelas berisi air putih miliknya diatas meja.

Istri Untuk Mas Langit [END]Where stories live. Discover now