33. Aritmia

1.6K 99 20
                                    

Tes tes.

Apakah part di kalian acak babnya?
Ini usaha terakhir yaa... kalau masih nggak bisa di up juga semuanya aku unpub :(

.
.
.

Dug... dug... dug...

"Tiga puluh empat, tiga puluh lima..." Kinar meneruskan hitungannya sampai angka limapuluh sesuai dengan instruksi dari Dokter Faizal.

Sudah sepagian ini dan Langit menjadi tahanan Kinar di dalam kamarnya. Sebenarnya juga bukan hal baru bagi mereka berdua untuk berbagi banyak hal termasuk tempat tidur bersama. Tentu saja hanya sebatas tidur saja karena bahkan meski sudah berubah status menjadi suami istri, tidak banyak diantara mereka yang berubah.

"Kelebihan," gumam Kinar dengan wajah merengut. "Lebih banyak..." adunya yang kali ini menatap Langit.

Senyum tipis Langit terlihat. "Mas nggak kesakitan kok, kenapa mukanya sedih begitu?"

Tangan besar Langit mengelus pipi Kinar. Tujuannya untuk menghibur dan menenangkannya yang sejak dirinya keluar dari rumah sakit terlihat lebih protektif juga terus saja mengkhawatirkannya.

"Akutuh takut..." dan begitu saja Kinar menyusupkan diri dalam pelukan Langit. Semenanya menggeser komputer tablet di tangan Langit dan meminta pelukan berbalas.

"Mas sehat, kamu sendiri yang pastikan setiap hari." Gumam Langit yang menyamankan diri dengan menekan dagu di puncak kepala Kinar. "Jadi, berhenti khawatirnya ya cantik."

Kinar mengusakan kepala di dada Langit. Sengaja menekan-nekan hidungnya disana. Dua kakinya menjejak dan yang kemudian terdengar adalah gelak kekeh Langit saat tubuhnya dipaksa rebah oleh gerakan Kinar dalam menggulingkannya.

"Astaha Tuhan... Mama panggil-panggil daritadi pantas nggak dengar. Sedang apa kalian masih pagi begini, ha?"

"Kelonan dong," tentu saja Kinar yang menjawab dengan jawaban nyeleneh tersebut. "Memangnya Mama nggak senang kalau anak sama menantunya akur begini?"

Ivana langsung geleng-geleng kepala. "Lagit, Nak... kesambet setan dimana itu istri kamu? Pagi-pagi begini bukannya bantuin Mama bikin sarapan malah melantur begitu."

"Maaf, Ma. Ini—" dan mulut Langit dibekap oleh telapak tangan Kinar.

"Mas Langit diam. Ini tuh urusan aku sama Mama. Jangan ikut-ikutan." Itu adalah jenis ketegasan yang sepertinya sia-sia. Karena sejurus kemudian Ivana sudah menariknya agae bangun dari atas tubuh Langit. "Ack! Ma... sakit."

"Makanya bangun. Kamu itu berat, nanti kalau Langit sesak napasnya gimana?"

Sejujurnya memang sedikit sesak. Tapi mana mungkin juga Langit mengakuinya. "Enggak kok Ma, nggak apa-apa. Kinar nggak berat."

"Tuh... dengar kan, Mama?" Dan Kinar melengos. Sengaja menghindari tepukan Ivana di lengannya dengan menyembunyikan diri disisi Langit. Jelas sekali meminta perlindungan. "Jangan pukul lagi atau nanti Mas Langit marah!"

"Mama pukul kamu kenapa Langit yang jadinya marah?" Ivana melotot dan berkacak pinggang galak.

"Soalnya aku kesayangannya Mas Langit," Kinar memeluk Langit dari sisi tubuhnya dan sengaja merebahkan kepala di bahu. "Iya kan, Mas?"

Sebelum Ivana semakin dibuat pusing kepala oleh sikap sengaja putrinya sendiri ini, lebih baik dirinya segera keluar. Tujuan awalnya datang sebenarnya karena khawatir mengingat kondisi kesehatan Langit dan keduanya belum juga satupun yang turun ke lantai satu atau bahkan keluar dari kamar.

Membantu membuat sarapan tentu hanya alasan saja. Lagipula, sejak dulu Kinar memang tidak pernah bisa bangun pagi. Boro-boro membantu membuat sarapan, bangun dibawah jam delapan saja bisa dihitung dengan menggunakan jari.

Istri Untuk Mas Langit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang