10. Jangan Menangis

1.6K 97 5
                                    

"Kin, jangan minum lagi!"

Sudah yang kesekian kalinya, tapi Kinar tidak juga mendengarkan. Matanya memerah dan sedikit bengkak. "Aku mau minum sampai puas pokoknya malam ini!"

"Buset! Woi lah..."

Mikrofon diangkat dan saat intro lagu selanjutnya terdengar, Kinan sudah dengan santainya melempar kaleng minuman rasa yang sisa separuh ditangannya. Cipratan sodanya mengotori meja dan Kinar justru bersorak karenanya.

"Astaga! Mabok nih bocah."

Suara Kinar itu aslinya tidak buruk-buruk sekali, tapi dalam keadaan seperti ini rasanya mustahil bisa mendengar Kinar menyanyi dengan nada yang benar. Suaranya keras dan cengkoknya menyanyi pun terdengar asal-asalan. Lebih dominan berteriak.

"Oi! Mas Langit lo nih, telepon."

Untuk sesaat Kinar menoleh, hanya untuk menyengir lebar lalu melemparkan mikrofon di tangannya begitu saja. Bunyi ngiing panjang akibat dari aksi anarkis Kinar tersebut membuatnya segera di dorong menepi. Dua orang teman Kinar yang lain mengambil alih untuk bernyanyi dan hentakan musik memelan seiring dengan pemilihan genre musik yang berubah.

Sementara Kinar menekan sebelah telinga dengan telinga lainnya menerima telepon, "halo Mas—"

"Dimana kamu?"

Seharusnya Kinar menyadari perbedaan nada suara Langit dalam membalasnya. Tetapi suara musik yang menjadi latar belakang terlalu keras sehingga Kinar tidak menyadarinya. "Di karauke, Mas. Kenapa?"

"Tetap disitu dan jangan kemana-mana. Jangan matikan teleponnya."

Lalu—tut. Panggilan diakhiri begitu saja. Kinar sampai menatap layar ponselnya beberapa kali untuk memastikan bahwa panggilan teleponnya benar-benar sudah berakhir. Mengernyit bingung dengan sikap Langit yang menurutnya aneh.

"Apaan sih," decaknya lalu mengantongi ponsel miliknya.

Dirinya bergerak untuk merebut mikrofon dari temannya dan merusuhi untuk kembali mengubah jenis musik. Tahu kalau Kinar memang sedang dalam suasana hati yang tidak baik, kedua temannya mengalah.

"Setan emang ni anak!"

"Lagi patah hati dia. Maklumin aja. Ditinggal kawin sama si—buset!" Temannya memekik saat mendapatkan lemparan bantal sofa dari Kinar yang melotot.

"Gue nggak patah hati ya! Najis banget gamon sama modelan Rega." Wajahnya bahkan sudah bersungut-sungut siap berkelahi. "Lo nggak tahu aja kalo nggak hamil duluan, mana mungkin Rega mau lepasin gue. Secara cantikan gue kemana-mana!"

"Iye... percaya dah!"

Kinar mengusap matanya yang perih, "si Vala itu tuh nggak ada cantik-cantiknya. Sekolah juga cuma lulusan S-1. Skil minimalis tapi matrealistis!"

"Elo juga lulusan S-1," dan temannya langsung menghindar saat Kinar melemparkan bantal selanjutnya. "Oke, gue diem."

"Gue batal aply S-2 juga gara-gara siapa? Rega sialan itu yang larang, kan? Dia segala alesan kalau bakalan minder gue S-2 dan dia cuma S-1. Kurang sabar apa gue?!"

"Itu sih lo nya aja yang kelewat bego! Udah tahu cowok lo emang brengsek, masih aja mau diajak kawin."

Benar, sejak awal memang dirinya yang bodoh. Kinar meraih kaleng soda di meja dan siap melemparkannya pada layar plasma disisi kirinya saat teman-temannya berteriak. Tapi terlambat. Layar plasma 32 inc itu sudah retak dan perlahan meredup lalu mati.

"Ya setan... ini harus diganti juga, bego emang nih si Kinan abis putus otaknya enggak jalan."

Air mata Kinan luruh dan dirinya mulai menangis saat pintu partisi pembatas dibuka. Langit masuk dengan wajah kaku diantarkan oleh petugas pemandu dan setelah menggumamkan terima kasih langsung bergerak masuk.

Istri Untuk Mas Langit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang