20. Tidak Berbalas

1.3K 96 25
                                    

Kinar Mahardika: Jangan terlalu di forsir buat kerja. Nanti habis fiting baju sama Mama aku ke kantor.

Langit memandang layar ponsel miliknya yang menampilkan room chat milik Kinar dan tersenyum kecil. Perhatian-perhatian kecil seperti ini sebelumnya dirinya kira akan sediki mengganggu dan membuat tidak nyaman. Saat seseorang mengetahui kondisi kesehatannya, yang ada di kepala Langit hanya betapa tidak inginnya dirinya dikasihani.

Tapi ternyata tidak seburuk itu. Kinar masih bersikap manja dan senang merengek kepadanya. Hanya bedanya, gadis kecilnya itu menjadi lebih cerewet saja terutama jika itu menyangkut kesehatannya.

Langit Dirgama: Iya. Kamu juga—

Belum selesai jarinya mengetikan balasan saat pintu ruangannya lebih dulu dibuka. Ada Anjani yang merupakan staf sekretaris menyertai langkah Atiana memasuki ruangan dengan tergesa.

"Maaf Pak, saya sudah mengatakan kalau ini sudah masuk waktu istirahat Bapak tapi Bu Atiana mengatakan sudah memiliki janji sebelumnya."

"Aku mau masuk tapi dihalang-halangi," Atiana mengadukannya dengan wajah protes. "Aku juga sudah telepon Lingga tapi nggak diangkat."

Akhirnya Langit meminta staf sekrerarisnya itu untuk keluar. Dalam waktu dekat memang Langit berencana menemui Atiana. Jadi sekalian saja. "Lingga ada dinas luar hari ini."

"Akhir-akhir ini dia keseringan menghindar," keluh Atiana. "Oh iya, pulang dari Jerman kamu ada jadwal medical check up?"

"Sementara ini belum. Baru dua hari lalu Papa Edwin yang atur untuk pemeriksaannya."

Atiana tersenyum senang, "syukurlah kalau begitu. Oh iya, mau lunch bareng?"

Langit menggeleng, "aku ada langganan bekal khusus sekarang, jadi nggak makan diluar lagi." Ada senyum kecil yang Langit tunjukan dan itu sedikit membuat Atiana penasaran.

"Ohya? Dimana itu? Lingga sudah pastikan menunya kan? Ingat loh, kamu ini nggak boleh makan yang sembarangan. Semuanya harus bahan khusus biar tensi dan leukosit kamu nggak naik."

Mengingat bagaimana effort yang Kinar tunjukan hanya dalam satu menu masakan, rasanya Langit perlu untuk mengajaknya berbalanja sebagai hadiah. "Dia bahkan memastikan semua bahan dan sayurannya organik."

"Wah... itu bagus. Kalau kamu rekomendasikan, aku juga bisa berlangganan disana." Atiana meletakan tas tangannya diatas meja set sofa yang memang ada di ruangan Langit. Biasanya untuk menerima tamu atau berdiskusi dengan para staf. "Jadwalku di rumah sakit juga sekarang lagi lumayan longgar. Awalnya aku pikir mau sekalian masuk tim satu yang urus medical check up kamu, tapi kalau memang Pak Edwin yang sampai mengurusnya itu juga bagus."

Sebenarnya semua ini adalah permintaan Kinar dan Langit juga tidak bisa menolaknya. Sejak dulu, memang Langit paling tidak tegaan kepada Kinar dan itu jelas dimanfaatkannya dengan baik. Langit bahkan secara sadar selalu menurutinya. Termasuk soal pembatasan jadwal juga aktivitasnya belakangan ini.

Layar ponsel Langit menyala-nyala. Piip-piip dan itu adalah alarm khusus yang Kinar atur untuk mengingatkannya waktunya istirahat. Persis seperti anak sekolah dan Langit harus mematuhinya kalau tidak mau mendapat amukan dari Kinar naninya.

Lagi-lagi, Langit mengekeh pelan. Kinar dan Lingga memang sangat kompak sekarang dalam hal mengatur dan membatasi jadwal juga pekerjaannya. Seperti sekarang ini, pukul 12.15 dan Langit sudah harus menutup komputer juga dokumen pekerjaannya.

"Itu tadi bunyi hp kamu? Kok aneh..."

Langit beranjak dari kursi kerjanya setelah mematikan komputer. "Alarm. Kinar yang mengaturnya. Jadi aku sudah seperti siswa SMA yang memiliki jadwal istirahat."

Istri Untuk Mas Langit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang