1. Langit Dirgama

4.1K 185 2
                                    

Yuhuuu....

Ada yang nungguin?

Untuk yg tanya work Lakhsya di KaryaKarsa, sabar ya... sedang on proses termasuk Extra Partnya hehe.

Selamat membaca.

.
.
.


"Mah, Kinar mana? Belum mau turun?"

Ivana yang baru saja selesai menuangkan teh hangat lemon ke cangkir milik Edwin. Kedua orangtua Kinar tersebut untuk kali pertam setelah tiga hari berlalu dengan tekana  disana sini terutama keluarga besar Ivana terkait batalnya pernikahan Kinar akhirnya bisa duduk dengan suasana yang lebih santai.

Tidak santai juga, tapi lebih kepada tenang. Dan Ivana menjadi yang pertama membuka kesinisan. "Bukannya belum mau, tapi memang bebal dia. Berhari-hari ngurung diri di kamar memangnya biar apa? Biar kurus kering nggak makan? Dialem siapa? Malah tambah senang itu si Rega!"

"Loh... Papa pikir Mama serius waktu bilang nggak mau lagi nama Rega disebut di—"

"Papa stop, ya!" Potong Ivana. Wajahnya terlihat serius sekali saat memasang ekspresi tidak sennagnya dan itu mengingatkan Edwin akan ekspresi merajuk sang putri. "Jangan mancing-mancing Mama terus."

"Memangnya Papa duluan yang mancing?"

Kesal sekali pastinya menjadi Ivana. Lihat saja dari bagaimana caranya menatap sang suami yang penuh permusuhan. "Papa awas ya buat Mama kesal pagi-pagi. Ish!"

Kekhan Edwin menggema dan itu sedikit memperbaiki mood nya yang turut terbawa suasana muram di rumahnya sejak tiga hari terakhir. Ivana yang biasanya cerewet juga menjadi berkali lipat lebih cerewet. Segala apapun dikomentari dan itu jujur saja cukup mempengaruhinya.

"Yaampun, pagi-pagi begini kok ya sudah pada bengok-bengok wae... suaranya sampai kedengaran ke dapur di belakang." Hartini muncul dengan cangkir teh jahenya. Kakak kandung dari Ivana tersebut memang menjadi keluarga besar terakhir yang tinggal sementara yang lain sudah kembali ke kota masing-masing.

"Mas Edwin loh Mbak, bisa-bisanya malah ngajak bercanda soal si Rega! Kan kesal aku."

Hartini mengambil tempat duduk dan terlihat geleng kepala melihat bagaimana dua pasangan ini saling berinteraksi. "Kinar mana? Nggak ikut sarapan?"

Edwin mengedik pada Ivana yang kembali memasang wajah kesal. "Sudah nggak tahu lagi gimana membujuknya aku, Mbak. Bebal memang."

"Bukannya bebal, itu apa namanya... istilahnya anak muda kalau sedih," Hartini terlihat asing dalam pengucapannya. "Galo... ga—no? Aduh, itu yang sering dibilangin Mas Guntur..."

"Galau, Mbak." Koreksi Ivana dengan sedikit penekanan, "bukan galo apalagi gano. Ck! Lagian Mbak ini sejak kapan juga ikut-ikutan istilah-istilah lebay anak zaman sekarang? Nggak cocok."

"Dih! Itu namanya mengikuti perkembangan zaman."

"Mbak coba bujuk Kinar sana, siapa tahu kalau Mbak yang bujuk dia mau keluar. Kemarin Mbok Asih bawakan sarapan juga cuma dikasih masuk nampannya aja. Semakin merdeka dia kalau disuruh nggak makan."

"Ck! Ngikutin kamu itu. Waktu masih gadis juga kan makannya susah. Segala mau diet padahal badan sudah kurus kering. Repot kan kalau ngadepin anak sendiri begitu?"

Ivana kembali memasang wajah masam. Bukannya dibela justru dirinya yang terus saja diledek dan tidak mendapatkan dukungan sama sekali. Beruntung Edwin menariknya untuk duduk sebelum balasannya mungkin lebih nyelekit dari sebelumnya.

Ponsel miliknya yang ada diatas meja menyala dengan dering panggilan masuk. Sebuah panggilan dari nomor baru yang tidak terdftar di dalam kontak. "Nomor...."

Istri Untuk Mas Langit [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang