Tendangan Maut!!

344 31 4
                                    

Keluarga Danura sangat percaya akan ramalan dan juga sihir. Bagaimana tidak? Gunta Danura, ayah Arum adalah seorang dukun santet istana. Di kerajaan ini, hukuman untuk koruptor adalah disantet. Namun Gunta tidak bisa bertahan lama, saat Arum berusia 10 tahun, Gunta meninggal dunia, katanya Gunta mati karena santet juga.

Arya melirik ke arah kamar tiga cucunya. Seperti biasa, di kamar yang diterangi lampu sempor itu ketiga cucunya tidak akan bisa tidur sebelum mereka kehabisan tenaga. Sekarang di dalam sana mereka rebutan kain untuk selimut. Ya, malam ini mereka tidak jadi menginap di rumah Shen Hong.

"Haruskah aku menuruti saran aki Jara?"

Ia ingat saat aki Jara mewanti-wanti tentang putranya, ia tidak menanggapi dengan begitu serius, beranggapan Gunta bisa melawan santet, mengingat Gunta adalah dukun santet istana yang hebat. Pada akhirnya apa? Ramalan tersebut benar-benar terjadi.

"Ish Raka Subara lepas selimutnya!" Arum menarik selimut, sedang Subara menggulungkan diri ke dalam selimut, seperti dadar gulung.

Respati juga menarik selimut Subara, namun bukan untuk Arum, melainkan untuk dirinya sendiri. "Tidak. Kalian harus mengalah pada yang tua."

Subara tertawa, merasa seru terombang ambing di dalam selimut.

"Raka! Kalau Raka tidak mau lepas selimutnya aku tidak segan-segan lagi." Jujur Arum sedang mengantuk, ia tidak ingin bercanda lebih lama. Di tambah lagi entah mengapa ramalan aki Jara mengusik pikirannya yang biasanya tidak pernah berpikir.

Subara menulikan telinga. Toh tenaganya lebih kuat, tidak perlu takut pada ancaman-

Bugh!

"Owgh!" Selimut membulat karena Subara menekuk lututnya.

"Aw ...." Respati menyengir ngilu. Tangannya segera melepas selimut, tidak ingin lagi ikut-ikutan.

"Aruuuuuum! Huaaaaa!" Beberapa detik kemudian Subara berguling-guling sehingga selimutnya lepas.

Mendengar Subara berteriak, Arya yang sedang duduk di ruang tamu menunggu kantuk segera bergegas ke kamar. Tidak biasanya Subara berteriak. Dia harus memeriksa apa lagi perbuatan Arum pada kakaknya kali ini.

"Kenapa?" tanya Arya begitu masuk.

Respati dan Arum menoleh bersama. Arum menunjukkan wajah bodoh, sedang Respati masih menyengir. "Anunya Subara ditendang Arum."

Arya berdecak sambil melototi Arum. "Masih kurang? Bunuh sekalian." Arya kesal sekali. Kali ini apa yang dilakukan Arum sangat fatal, bisa mencelakakan Subara.

Arya berjongkok, meraih bahu Subara untuk menahannya. "Sini biar eyang lihat."

Tidak malu dan tidak ada batasan, Arya melorotkan celana Subara di hadapan Arum. Subara sama sekali tidak peduli miliknya jadi tontonan, dia hanya bisa menangis. Arum juga terlihat biasa saja, seperti sedang melihat apakah ada telur ayam yang pecah di sarangnya.

Melihat kondisi milik Subara, Arya melirik ke belakang. "Seberapa kuat kamu menendangnya sampai pecah begini?"

"Sakerekebeuk," jawab Arum jujur. (Mengeluarkan tenaga sekuat-kuatnya hingga tidak ada yang tersisa.)

Respati meringis. Tanpa sadar ia mengurung miliknya dengan tangan. Untung masih aman. Tidak akan lagi ia menjahili adiknya ini.

"Respati, ayo bawa Subara ke tabib!" Arya menarik ke atas lagi celana Subara.

Sambil berpindah posisi, Arya menatap Arum lagi. "Jangan diulangi lagi. Bagi laki-laki, itu adalah hidup dan mati. Awas kamu kalau sekali-kali lagi. Eyang gantung kamu di pohon aren." Mereka pun pergi membawa Subara.

Akibat dari tendangan maut Arum, milik Subara harus diperban menggunakan daun ramuan. Pulangnya Subara tidak bisa memakai celana, terpaksa dipakaikan kain jarik milik tabib.

Baik Respati dan Arya, keduanya terus memarahi Arum sepanjang perjalanan pulang. Sedang Subara dia tidak berbicara, merajuk pada Arum. Tidak tahu saja mungkin kebersamaan mereka hanya tersisa sebentar lagi.

* * * *

Mungkin orang lain akan berkata bahwa ia sangat menyedihkan karena menyendiri. Mungkin orang akan mengira ia merasa kesepian dalam hidupnya yang gelap seperti tanpa tujuan, akan tetapi ia tidak pernah merasa demikian. Ia, Chen Zhang Zou, sesosok iblis naga hitam, ia tidak memiliki perasaan seperti itu.

Contohnya seperti sekarang, ia menikmati kesendirian di ruang kerjanya yang sunyi, minim cahaya, yang mana kata orang ruang kerjanya ini lebih menyeramkan dari pada penjara bahwa tanah.

Sedang membaca laporan dari para menteri, ketukan di pintu sempat mengalihkan fokusnya. Tidak perlu mengatakan apapun dan tidak perlu bertindak apapun, cukup melirik ke arah pintu, pintu tersebut terbuka dengan sendirinya.

Siapa yang datang? Sudahlah pasti Huang Shong, tangan kanannya. Huang Shong memang tidak memiliki posisi resmi, namun yang jelas ia memberikan kedudukan tertinggi yang setara dengan Kasim.

Di luar, Huang Shong tidak langsung masuk, berdiri sejenak seperti sedang menarik nafas. Hal itu sudah seperti ritual Huang Shong sebelum masuk ke dalam ruangannya. Tidak apalah, ia memakluminya.

Langkah tegas Huang Shong menjadi satu-satunya suara. Begitu kaki Huang Shong menginjak lantai berwarna coklat tua, ia menutup pintu lagi menggunakan sihirnya.

Huang Shong membungkuk. "Hormat, Yang Mulia. Hamba membawa kabar tentang pria tua tempo hari."

Raja Zhang tidak melirik sekali pun, mata gelapnya tetap berfokus pada tulisan di kertas laporan. Sesekali ia membolak-balik kertas laporan guna menyesuaikan laporan satu dengan laporan lainnya.

"Hm." Walaupun penasaran, namun Raja Zhang tidak pernah bersikap antusias akan sesuatu.

"Orang tersebut adalah mantan prajurit istana Banfai. Dia bekerja di istana belakang pada 16 tahun lalu dan menjadi saksi mata tentang Anda yang pergi ke istana belakang lalu tidak pernah keluar dari sana. Saat dia bersaksi di hadapan penyidik istana, dia malah diancam dibunuh, dan akhirnya dia melarikan diri ke Luzong." Huang Shong menjelaskan apa yang ia ketahui.

"Sekarang sudah tidak penting. Yang terpenting dia sudah lenyap."

Huang Shong membungkuk. "Izinkan hamba mengutarakan apa yang mengganggu pikiran hamba, Yang Mulia."

Raja Zhang tetap diam, dilihat dari ekspresi wajahnya yang tenang, Raja Zhang mempersilahkan.

"Mengapa penyidik istana malah mengancam akan membunuh saksi mata itu dari pada menyelidiki? Bukankah sudah seharusnya penyidik istana mencurigai siapapun tanpa terkecuali?" Akhirnya Huang Shong memberanikan diri untuk bertanya.

"Mereka adalah antek-antek guruku," jawab Raja Zhang singkat.

Huang Shong mengangguk mengerti. Kalau begitu semua masuk akal. Guru Raja Zhang, yakni Tao Fang, pria itu akan selalu melindungi Raja Zhang bagaimanapun caranya.

Huang Shong membungkuk. "Hanya itu yang hamba sampaikan, Yang Mulia. Hamba izin undur diri."

Sebelum Huang Shong mundur, Raja Zhang berucap, "Pergilah ke perbatasan Barat. Aku dengar ada mata-mata di sana. Jangan kembali sebelum kau membunuh mata-mata tersebut."

Huang Shong membungkuk lagi. "Siap laksanakan, Yang Mulia."

Tidak aneh lagi, sudah menjadi tugas utama Huang Shong untuk menghabisi mata-mata yang masuk ke kerajaan Luzong. Tiga tahun lalu kerajaan Luzong sering dimasuki oleh mata-mata, baik untuk mencari kelemahan Luzong, atau mencari tahu siapa itu Raja Zhang.

Namun, setiap kali ada mata-mata masuk, mereka tidak akan bisa keluar lagi. Mereka hilang bak ditelan bumi. Sudah ratusan mata-mata yang hilang tanpa kabar, oleh sebab itu musuh pun berpikir dua kali untuk mengirim mata-mata lagi. Begitu juga orang yang ditugaskan untuk memata-matai kerajaan Luzong, mereka memilih kabur dari pada harus dilempar ke lubang kematian.

Dan kini, entah siapa yang berani datang untuk memata-matai kerajaan Luzong. Sudah tiga tahun lamanya kerajaan Luzong bersih dari penyusup. Namun Raja Zhang tidak peduli dari mana dan untuk apa mata-mata itu, tidak harus ditangkap hidup-hidup, orang itu harus langsung bersih tanpa jejak. Ia tidak suka basa-basi.

Duh Arum, kurang kenceng tuh nendangnya. Kata eyang aja, bunuh sekalian 😁

Queen Of King Zhang's Heart Onde histórias criam vida. Descubra agora