Seperti Yang Dirumorkan

206 31 1
                                    

"Waah, ini sangat indah, mewah, dan megah."

Arum berputar di tengah-tengah kamar, memandangi seluruh isi kamar tanpa ada yang terlewat. Tempat tidur yang luas, tirai-tirai sutra emas, dan semua barang-barang di dalam kamar ini tidak lepas dari emas dan berlian.

Raja Zhang yang baru masuk ke kamar hanya menatap Arum sekilas kemudian pergi duduk di atas alas bulu yang lembut. Ia duduk menghadap tempat tidur, yang mana sekarang Arum tengah berdiri di samping tempat tidur.

"Yang Mulia, mengapa Yang Mulia tidak memindahkan aku ke kamar yang seperti ini? Kan Yang Mulia sudah berjanji tidak akan membunuhku, jadi mengapa aku harus terus tinggal di kamar penumbalan itu?" Arum berbicara tanpa memandang Raja Zhang.

Raja Zhang melirik Arum yang berdiri membelakanginya. "Jika kau lupa, aku ingatkan kembali. Aku menikahimu bukan untuk aku jadikan istri sungguhan."

Mata Arum yang berbinar memandangi isi kamar langsung berhenti bergerak. Ia berbalik lalu menatap tajam pada Raja Zhang. "Jika memang demikian, mengapa Yang Mulia menciumku waktu itu? Jika aku dinikahi bukan untuk dijadikan istri sungguhan, Yang Mulia tidak berhak menyentuh hamba."

"Aku punya hak," ucap Raja Zhang ringan.

Arum berkacak pinggang. "Tidak bisa! Yang Mulia tidak ada hak karena hamba bukan istri yang sesungguhnya."

Raja Zhang tersenyum miring. "Tidak ada yang bisa melarangku."

Geram bukan main, Raja Zhang benar-benar menyebalkan. Pria itu selalu berbuat semaunya, tidak pernah memikirkan perasaan orang lain.

"Dasar hati batu." Arum menghentakkan kakinya lalu duduk di atas tempat tidur.

Baru beberapa menit duduk di dalam kamar, Huang Shong datang mengetuk pintu. "Yang Mulia, ini hamba."

Raja Zhang melirik. "Hm."

Pintu dibuka oleh Huang Shong. Begitu pintu dibuka, Huang Shong membungkuk hormat. "Yang Mulia, Kaisar Wei mengundang Anda ke paviliun."

Raja Zhang terdiam beberapa detik. Sampai akhirnya Raja Zhang mengangguk. "Aku berangkat sekarang."

Raja Zhang bangkit berdiri. Sebelum pergi, Raja Zhang menoleh ke belakang. "Kau tunggu di sini. Jangan keluar dari kamar ini satu langkahpun. Jika kau melanggar, kakimu aku patahkan."

Arum mencebikkan bibir. "Ye ye."

Sring.

Arum langsung menunduk. Tatapan Raja Zhang seperti pedang yang siap merobek bibirnya.

* * * *

Kaisar Wei telah duduk bersila, menunggu Raja Zhang di paviliun, dia mengundang Raja Zhang untuk minum bersama. Sambil menunggu, Kaisar Wei menatap danau yang indah di depan paviliun. Di dalam danau tumbuh bunga teratai merah muda yang sangat indah.

"Hormat hamba, Yang Mulia."

Ia mendengar suara Chao Han di belakang. Ia pun menoleh. "Hm. Apakah Raja Zhang akan datang?"

Chao Han membungkuk. "Hamba melihat Raja Zhang sedang dalam perjalanan."

"Baguslah. Kau bisa pergi."

Akan tetapi bukannya segera pergi, Chao Han masih tetap berdiri. Ekspresi wajahnya tampak ragu. "Tapi, Yang Mulia. Raja Zhang ...."

Ia tahu apa yang dikhawatirkan oleh pemuda yang telah ia angkat sebagai pengawal pribadinya. "Tidak apa-apa. Dia tidak mungkin membuat onar di sini. Lagi pula kami sudah berdamai, kau tidak perlu khawatir."

Chao Han membungkuk. "Maaf Yang Mulia, hamba sudah berpikir berlebihan. Hanya saja tadi saat hamba menghadap Raja Zhang, dia benar-benar seperti apa yang dirumorkan."

Ia tetap memasang senyum. Inilah yang orang lain sukai dari dirinya. Dengar-dengar, semua orang menghormatinya selain karena tegas dan kepemimpinannya, mereka juga menghormati dirinya karena keramahan dan juga kebaikan hatinya. "Aku memang belum pernah bertemu langsung dengannya. Namun aku yakin, dia tidak seburuk apa yang dirumorkan."

Tidak lama setelah itu, ia melihat seorang pria muda, tampan nan gagah sedang berjalan ke arah paviliun.

Tidak lama kemudian, dari kejauhan matanya melihat seorang pria muda, tampan nan gagah dan penuh karisma sedang berjalan ke arah paviliun. Di belakang pria itu ada Huang Shong, yang mana ia telah mengenal pria 32 tahun itu sebagai pengawal pribadi Raja Zhang. Ia yakin pria yang tampan luar biasa itu adalah Raja Zhang.

Ia tersenyum begitu Raja Zhang melangkahkan kaki menapaki anak tangga menuju paviliun. Begitu sampai di depan nya, Raja Zhang sedikit membungkuk. Sedang di belakang Raja Zhang, Huang Shong membungkuk dalam. “Hormat hamba, Yang Mulia Kaisar Wei.”

Ah, sekarang ia percaya pada dua rumor yang tersebar tentang Raja Luzong. Pertama tentang Raja Zhang yang sangat tampan, dan kedua tentang Raja Zhang yang sombong dan arogan. Terbukti, sekarang Raja Zhang tidak memberikan ucapan penghormatan. Tapi biarlah, ia memaklumi.

“Terima kasih sudah mau memenuhi undanganku, Raja Zhang.” Ia tetap tersenyum. “Silahkan duduk.”

Sebelum duduk, terlihat Raja Zhang melirik pada Huang Shong. Huang Shong langsung tahu arti lirikan Raja Zhang. Pria itu segera membungkuk pada Raja Zhang dan juga pada dirinya. “Hamba undur diri, Yang Mulia, Yang Mulia Kaisar.”

Setelah Huang Shong berjalan pergi dan turun, barulah Raja Zhang duduk bersila di depannya. Di antara mereka ada meja teh berwarna merah. “Aku banyak mendengar rumor tentang dirimu, Raja Zhang. Tidak ku sangka semuanya benar adanya. Kau sangat tampan, muda, dan berkarisma.”

Raja Zhang mengalihkan tatapannya dari meja ke arah dirinya. Cara Raja Zhang menggerakkan mata sangat berbeda dari orang yang pernah ia temui. Sungguh cara Raja Zhang memandang bisa dibilang menyeramkan. Pantas saja banyak yang takut akan sosok Raja Zhang.

Ia pikir Raja Zhang akan membalas ucapannya, tidak disangka Raja Zhang hanya terdiam menatapnya.
Ia pun tersenyum kembali. “Dan aku pikir kali ini akan sama dengan sebelum sebelumnya, kau mengirim Huang Shong untuk menggantikanmu atas undangan apapun. Sungguh aku terkejut saat mendapat kabar kau datang ke istana. Aku berterima kasih atas perhatianmu akan undangan peringatan hari ulang tahunku.”

“Aku hanya sedang ingin.”

Suara itu sungguh dingin. Namun sejujurnya, sejak tadi ia ingin memperhatikan Raja Zhang dengan seksama. Ia merasa tidak asing, namun ia memang tidak pernah bertemu dengan Raja Zhang sebelumnya. Mungkin karena mata gelap itu mengingatkan dirinya pada putranya yang telah hilang 18 tahun lalu, yakni Chen Zhang Zou.

Ia tertawa kecil. “Kau sungguh orang yang sangat berterus terang.” Ia meraih teko guci putih berisi teh. Ia tuangkan dengan perlahan ke dalam cangkir kecil. “Oh ya, aku juga telah mendengar pernikahanmu. Selamat atas pernikahanmu, Raja Zhang. Tapi mengapa kau tidak mengundang kerajaan lain? Mengapa tidak menggelar acara dan mengapa mendadak pula?”

Tatapan Raja Zhang padanya masih sama. “Tidak ada alasan. Aku hanya ingin.”

Jika yang di depannya adalah Raja lain, mungkin ia akan langsung mencabut pedang dari sarungnya. Akan tetapi entah mengapa dengan Raja Zhang ia tidak marah sama sekali. Seolah-olah ia sedang memaklumi anak sendiri. Hal lain yang ia pertimbangkan mungkin karena Raja Zhang adalah Raja yang tangguh. Jangan lupakan tentang pertempuran sengit yang terjadi antara Banfai dan Luzong. Raja Zhang tidak bisa dianggap remeh.

Ia menyodorkan teh yang telah ia isi. “Baiklah jika kau tidak ingin mendapatkan pertanyaan dariku. Aku hanya ingin mengucapkan selamat. Aku telah menyiapkan hadiah untuk kau dan juga Ratu.”

Raja Zhang menerima gelas yang ia sodorkan. Namun baru mengangkat gelas, suara Pangeran Gu Thong membuat gerak tangan Raja Zhang terhenti.

“Ah, Raja Zhang. Sudah lama tidak bertemu.”

Nah, Pangeran Gu Thong datang mau buat perkara apa nih?

Queen Of King Zhang's Heart Where stories live. Discover now