Part 35 - It's Killing me slowly

1.2K 260 49
                                    

Masih harus menyiapkan tisu.

***

Ketika Daya dia jemput di salah satu coffee shop, wajah Daya pucat, bibir Daya bergetar hebat dan tatapan matanya kosong. Sungguh beruntung dia tidak terlambat karena Daya bisa saja diperalat oleh siapapun orang yang melihat. Mereka tiba di tempat peristirahatannya saat hari sudah sore. Daya diam, terlalu diam. Diam yang membuat dia bergidik juga. Karena dia bisa melihat guncangan jiwa hebat yang sedang Daya perangi sendiri. Ya, temannya ini berusaha berdiri dan sadar. Seluruh anggota Mamba dibekali dengan sedikit ilmu psikologi. Untuk persuasi, untuk mempengaruhi seseorang atau memanipulasi. Tapi bukan untuk menangani orang dengan guncangan jiwa hebat seperti ini.

"Duduk dulu, Ya." Satu kalimat dan itu membuat Daya berteriak sambil menjerit lalu berlari ke arah balkon. Persis seperti dulu di panti. Dia menahan tubuh Daya karena Daya ingin melompat dari balkon. Seluruh pintu dia kunci lalu Daya dia paksa untuk masuk ke dalam salah satu kamar. Ya, dia harus menarik tubuh Daya dengan seluruh tenaga yang dia punya karena Daya terus meronta.

"Dasar pembohong, mereka pembohong. Pembohong!!" jerit Daya.

Biarkan emosi Daya keluar, tapi jaga agar dia tidak menyakiti dirinya sendiri. Kata-kata Ibu Mulyani terngiang lagi. Jadi dia melepaskan tubuh Daya yang langsung Daya pukuli sendiri. Dia membiarkan Daya menghancurkan isi dalam kamar, membanting seluruh perabot, mematahkan setiap kaki kursi, meluapkan emosi yang sedari tadi Daya pendam. Dia berdiri menyaksikan dan menjaga Daya agar wanita ini tidak menyakiti dirinya sendiri. Air matanya jatuh satu-satu. Entah kenapa rasa sakit Daya bisa dia rasakan juga, menusuk dalam.

Dia sudah tahu tentang kenyataan kecelakaan keluarga Daya yang berhubungan dengan kejahatan Benny serta kaitannya dengan Janadi Hadijaya. Dia tahu karena dia membaca seluruh file itu. Bahkan dia membobol data kepolisian dan mencari rekam kasus kecelakaan Daya. Janadi Hadijaya datang dan mengaku segalanya pada polisi, itu pun dia baca catatannya. Tapi saat itu orangtua Daya sudah meninggal dunia. Pengakuan Janadi tidak bisa mengubah kenyataan pahit yang terlanjur terjadi. Kemudian Janadi yang merasa bersalah mulai membantu Daya, hingga pada hal-hal terkecil. Janadi seolah ingin memastikan Daya hidup bahagia.

Pikirannya kembali saat Daya ingin membuka jendela. Dia melangkah cepat untuk menangkap tubuh Daya. Mereka bergulat di lantai karena amukan Daya. Beruntung kemampuan fisik anggota Mamba termasuk dia di atas rata-rata. Jadi tubuh Daya sudah dia kunci di bawahnya. Mata hitam Daya menyorot penuh emosi. Bagus, bagus, setidaknya api itu belum padam. Jangan sampai padam. Karena jika padam jiwa Daya mati.

"Segalanya ini milik mereka. Termasuk apa yang gue makan, termasuk Digicom, termasuk Admaja," rintih Daya perih. "Gue mau buang semua. Semuanya."

Air matanya yang jatuh berbaur dengan air mata di wajah Daya. "Lo mau balas? Gue balaskan. Apa yang pertama ingin lo hancurkan?" dia harus menjaga agar api di mata Daya tidak padam. Dia harus menyelamatkan Daya dari ambang kegilaan. Dendam dan amarah adalah salah satu cara. "Bilang sama gue, siapa yang pertama harus gue hancurkan, Daya? Gue akan hancurkan."

Tangis dan rintihan Daya makin menjadi. Mata itu memancarkan ketidakberdayaan. Ya, dia tahu Daya mencintai Admaja Hadijaya. Mungkin lebih hebat dari semua cinta yang Daya pernah miliki. Dia juga tahu bagaimana Daya dekat dengan Ferina dan Adeline Hadijaya. Daya mencintai mereka semua. Jadi dia mengerti bahwa saat ini yang Daya mau adalah mati. Mati karena emosi dan dendam, juga cinta yang sangat dalam. Semua ini bisa membunuh Daya perlahan, pelan-pelan. Dia harus menemukan cara agar sahabatnya hidup lagi. Apapun caranya.

***

Akhirnya Admaja berhasil menemukan satu foto lama dari salah satu album foto di ruangan Ibu Mulyani. Ibu panti ini benar-benar seorang yang apik dan rapih, karena pada setiap foto ada nama siapa saja yang ada di dalam foto. Wajah Daya belia datar dan tidak tersenyum, seperti tidak suka difoto. Galak. Rambut Daya yang panjang dikuncir satu tinggi. Lalu mata Daya tidak menatap kamera. Daya diapit empat anak perempuan lain. Deretan tulisan nama di bawah foto adalah Fitri, Sukma, Daya, Riri, Gina. Foto itu dia amati sambil menahan hatinya yang berderak remuk redam. Dia merindukan Daya hingga tanpa sadar air matanya menetes satu. Cepat-cepat air mata itu dia hapus lalu dia berdiri dan pamit untuk pergi ke ADS, menyerahkan foto ini pada Niko. Setelah satu jam berkendara, dia tiba di ADS dan segera pergi ke ruangan Niko Pratama yang sudah menunggunya.

The Marriage TrapWhere stories live. Discover now