Part 42 - 'Hanya'

1.2K 258 23
                                    

Jalanan lengang malam ini, Tari menatap Agam di sebelahnya yang sedang berkendara. "Pak Maja belum masuk?" tanyanya.

"Belum."

"Kok perasaanku nggak enak ya udah dua hari ini. Ada kabar nggak?"

"Pak Yusri ditanya juga nggak jawab apa-apa. Entah nggak tahu atau nggak mau ngomong."

"Kamu nggak telpon Pak Maja?"

Agam terkekeh kecil. "Kamu pikir aku sahabatan sama Pak Maja yang tinggalnya di atas langit sana. Pak Maja itu bos aku Tarii. Bukan temen."

"Ya tahu. Tapi kan nelpon bos itu biasa. Tanya aja, kok nggak masuk Pak? Apa Bapak sakit?" balas Tari kesal karena penasaran. "Apa kamu nggak ngerasa aneh? Habis Pak Maja pesen bunga buat pergi ke makam orangtua Mba Daya, tiba-tiba Pak Maja menghilang. Merinding kan aku jadinya."

"Aku yakin Pak Maja bisa jaga diri. Mungkin aja beliau mau istirahat dulu karena terus-terusan ingat Mba Daya. Jadi perlu menyendiri. Atau kemungkinan bagus lainnya, beliau ketemu Mba Daya dan mereka akhirnya baikan. Sekarang lagi mau berduaan dulu."

"Kemungkinan kedua itu nggak mungkin kejadian. Aku lihat sendiri Pak Maja sedih banget gitu waktu aku anter bunga ke apartemennya. Terus beliau itu rapih banget kayak mau pergi ke kantor. Aku nggak liat ada koper atau pertanda apapun kalau Pak Maja mau bepergian. Jadi ini tetep aneh."

Agam diam lagi, fokus berkendara. Tari yang melihat itu gemas karena dia menyangka bahwa Agam memikirkan hal yang lain. "Agam, dengerin nggak siy?"

"Iya, denger. Kamu laper nggak?" Agam mengalihkan pembicaraan.

"Tapi Pak Maja kemana? Aku masih cemas ini."

"Bikin sup yuk," kendaraan sudah memasuki basement apartemen Tari. "Ada stock sup instan nggak di apartemen kamu?"

"Agaaam...kalau Mba Daya nggak balik dan Pak Maja hilang, Digicom bisa tutup."

Mobil sudah selesai diparkirkan. Agam masih tidak mau meneruskan pembicaraan tentang Admaja. "Silahkan turun, Nyonya. Aku laper nih. Kamu diajak makan di luar nggak mau, jadi tanggung jawab ya."

Tari yang kesal tetap duduk di tempat hingga Agam membukakannya pintu kendaraan.

"Tari, ayok dong."

"Aku serius cemas, Gam."

"Aku serius lapar."

Tari diam saja karena saat Agam menggandeng tangannya untuk keluar dari mobil dan menuju lift. Tanpa sadar mereka diikuti oleh seseorang.

"Aku juga khawatir sama Pak Maja. Tapi aku yakin beliau nggak kemana-mana. Karena selama ini Pak Maja kuat dengan segalanya," ujar Agam saat mereka di dalam lift. "Jangan over thinking, Tari. Berdoa biar Pak Maja dan Mba Daya baik-baik aja. Nah, kita kerja yang bener biar perusahaan nggak sampai tutup."

Jentikkan praduga membuat dia menoleh pada Agam. "Ah, kamu tahu sesuatu ya? Iya kan? Aku denger dari Fina kalau Pak Janadi juga nggak ada kabar. Bener nggak?"

"Habis makan kamu boleh bahas lagi sepuasnya. Sekarang aku laper dan kamu urusin aku dulu, okey?" tegas Agam.

Dia diam lagi kemudian senyum kecilnya mengembang. "Kamu cemburu sama Pak Maja?" matanya mengerling.

"Iya," jawab Agam lalu melangkah ke luar lift sambil terus menggandeng tangan Tari.

"Serius cemburu?"

"Enggak, nggak serius. Aku bilang iya biar cepet selesai semua pembicaraan 'bukan-makanan' ini."

Karena kesal dia memukul bahu Agam. "Dasar nyebelin."

The Marriage TrapWhere stories live. Discover now